Senin, 31 Desember 2012

Kencan Setahun

    Malam menjelang pergantian tahun tidak begitu spesial bagiku. Jika hampir semua orang merayakannya, aku tidak. Aku tak pernah larut di dalamnya. Selain agamaku yang melarang perayaannya, aku juga tak suka jenis kegiatan di tempat yang ramai dan melibatkan banyak orang. Aku tipikal orang yang suka menyendiri, aku selalu punya kesibukan lain, misalnya di dunia Maya.
   
    Facebook menjadi salah satu jejaring sosial yang kugunakan, tempatku bertemu dengan orang-orang di seluruh penjuru dunia, teman-temanku juga menggunakannya. Kupikir cuman aku yang online malam itu, ternyata banyak juga yang lain. Aku melihat satu nama yang sangat tak asing bagiku; Fachri Algazali. Mantan pacarku. Lama aku lost contact dengannya. Mungkin tidak salah jika sekadar menyapanya.

    Silvia Johan: Hei
    Fachci Algazali: Hei. Ada apa?
    Silvia Johan: Emang ga boleh nyapa kamu?
    Fachri Algazali: Ya gapapa sih. Apa kabar?
   
    Aku merasa hatiku seperti melompat keatas kepala, menyisakan organ-organ lainnya tetap disana. Tuhan, dia menanyakan kabarku, jeritku dalam hati. Aku benar-benar bahagia dia masih menanyakan kabarku, berarti dia masih peduli padaku. Meskipun dia sudah menjadi sebuah puing masa laluku, tapi aku tahu bahwa aku tak bisa melupakannya. Semua yang sudah berlalu memang tidak akan pernah terlupakan, karena mereka tersimpan dalam memori.
   
    Silvia Johan: Buruk
    Fachri Algazali: Lho kok buruk?
   
    Pancinganku berhasil dan tepat mengenai sasarannya. Dan semakinlah aku dibuat girang olehnya. Jantungku seperti kembali pada masa-masa dulu, dimana kami masih pacaran. Aku tidak benar-benar jatuh cinta sekarang ini, aku senang, mungkin karena dalam waktu yang lama tidak ada yang memperlakukanku seperti ini; kesepian.
   
    Silvia Johan: Ya, buruk sendirian di rumah. Orang pada pergi tahun baruan semua. Bukan cuman home alone nih, jd home sick juga. Kamu apa kabar?
    Fachri Algazali: Ga jalan sama pacarmu?
    Silvia Johan: Aku ga punya pacar. Kamu kali?
   
    Tak ada respon cukup lama.
   
    Silvia Johan: Heiii!
    Silvia Johan: Ri?
    Silvia Johan: Fachri?
    Fachri Algazali: Ah, masa? Aku ga punya
   
    Sialan, lama banget balasnya, bikin panik, pekikku. Sifatnya masih sama seperti dulu, rese.
   
    Silvia Johan: Iya beneran
    Fachri Algazali: Kalo gitu aku temenin kamu aja deh ngehabisin tahun ini, hehehhe :*
   
    Emoticon KISS? Aku mengulum senyumku.
   
    Silvia Johan: Serius? Berarti kita bakal chattingan selama setahun dong :D
    Fachri Algazali: Hahaha iya juga ya.
    Silvia Johan: Tahun baru dimana sih kamu?
    Fachri Algazali: Di Bandung.
   
    Betapa shocknya aku waktu itu. Bisa-bisanya dia tidak mencoba menghubungi aku kalau dia pulang ke Bandung. Apa aku tidak penting baginya? Ya mungkin memang tidak.
   
    Silvia Johan: Oyaa? Kamu ga di Bali? Kok gak bilang sama aku kalo tahun baruan disini?
    Fachri Algazali: Aku ambil cuti libur, kangen sama Bandung. Udah lama ga pulang.
   
    Dia tidak merespon pertanyaanku yang terakhir. Dia mungkin tidak peduli. Aku jadi putus asa untuk melanjutkan chattingan ini.
   
    Fachri Algazali: Aku mau hubungin lewat mana? Lewat fb? Kamu aja jarang online.
    Silvia Johan: Iya sih hehehhe. Aku boleh minta nomor kamu?
    Fachri Algazali: Nih 089989022xxx. Miss call aja biar nomer kamu aku simpen.
    Silvia Johan: Udah?
    Fachri Algazali: Okey udah :)
    Fachri Algazali: Eh, 5 menit lagi.
    Silvia Johan: Eh iya! :D
    Fachri Algazali: Ga kerasa udah mau pergantian tahun lagi ya, perasaan kemaren kita masih pacaran.
   
    Jantungku berdebar cepat, menahan semua perasaan hati yang sudah kutampung selama ini. Sebulir air mata jatuh menyusuri pipiku, disusul berbulir-bulir airmata yang jatuh bebas. Betapa sesak hati ini. Hanya karena keegoisanku dulu aku malah melepaskan orang yang benar-benar mencintaiku, orang yang sangat sempurna, bahkan aku melakukannya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Aku terlalu kekanakan. Dan sampai sekarang, aku menyesal. Menyesali diriku sendiri. Sekarang apa? Semua hanya tinggal sebuah kenangan yang tidak akan bisa terulang sama seperti dulu lagi.
   
    Silvia Johan: Masih ngerasa kita pacaran? Maafin aku.
    Fachri Algazali: Lupain aja :)
   
    Nah! Dia mungkin sudah benar-benar melupakan. Atau dia hanya mengalihkan pembicaraan yang mengarah ke masa lalu? Sedalam itukah aku membuat guratan luka di hatinya? Jika iya, berarti akupun juga sudah menciptakan luka untuk diriku sendiri.
   
    Fachri Algazali: Belum ngantuk Sil?
    Silvia Johan: Belum, hehe. Kamu udah tepar?
    Fachri Algazali: Dikit :D.
    Fachri Algazali: Eh, udah 1 Januari 2011 nih. Be the best ya :*
   
    Ketika aku ingin membalas, ternyata dia sudah offline. Malam pergantian tahun yang benar-benar indah dan dihabiskan dengan seorang istimewa

31 Desember 2010 – 1 Januari 2011
Akan selalu kukenang sebagai sebuah “Kencan Setahun” yang selalu kurindukan; Darimu, Untukku.
Read More

Kamis, 27 Desember 2012

Ragu-ragu [END]

Cerita sebelumnya: Ragu-ragu II

    Setelah tiga hari berpikir, Popy memutuskan untuk berbicara langsung dengan Gilang. Mereka janji bertemu di sebuah kafe di bilangan kota. Popy datang lebih dulu. Lima menit kemudian Gilang datang. Suasana canggung seketika menyergapi mereka.

    Gilang masih memainkan jarinya. Popy berdeham dan menegakkan posisi tubuhnya, Ia siap berbicara, memberanikan diri memulai semuanya.

    “Lang, sebenarnya benar-benar lu kan yang punya nomor ini”, ungkap Popy sambil menyodorkan telepon selulernya. Gilang terdiam. Konflik batin dirasakannya.

    “Iya, punya gua”, ucapnya masih tak mau menatap Popy.

    “Kenapa beda? Hm, maksud gua kenapa sifat lu di nomor yang itu beda sama nomor lu yang pertama?”

    Gilang terperanjat. Ia tetap bungkam. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Mereka berdua benar-benar berbeda siang itu; serius.

    “Lang… apa lu yakin mau jadiin gua pacar lu?”, kata Popy lagi. Ia tak ingin semuanya jalan di tempat. Ia ingin semuanya maju, berjalan, dan tak ada yang terlewatkan.

    “Gua yakin”

    “Lang, lu punya dua kepribadian di setiap nomor yang berbeda”

    “Lu ga ngerti Pop”

    “Kalo gitu, buat gua ngerti!”

    “Gua suka banget sama lu. Gua berusaha nutupin semuanya dengan cara menjadi ‘rese’ sampai kita brantem mulu. Tapi sekarang perasaan itu nyiksa gua banget. Gua gak mau munafik lagi, gua mau lu jadi cewek gua”

    Popy menarik dagu Gilang dan menghadapkan ke wajahnya.

    “Lang, tolong yakinin hati lu sendiri dulu, apakah mereka sudah berhenti bertanya? Kalo lu ga nemuin lagi keraguan dan tanda tanya disana, temuin gua. Gua nunggu lu”.


                                                                                     TAMAT
Read More

Selasa, 25 Desember 2012

Ragu-ragu [II]

Cerita sebelumnya: Ragu-ragu

    Bagi Popy terlalu absurd jika Gilang (mungkin) membeli sebuah nomor baru yang digunakan khusus untuk menghubunginya. Hanya tak pernah terbayang saja, seorang Gilang akan melakukan semua ini. Entah ada maksud apa. Tapi Popy tidak mau merasa geer duluan, siapa tahu bagi Gilang ini hal yang biasa saja.
   
    Hampir setiap hari bahkan setiap jam mereka berkirim pesan via telepon seluler. Awalnya proses itu dinikmati oleh Popy, namun lama kelamaan Ia merasa ada yang janggal dan bebeda dari sifat Gilang saat menggunakan nomor ‘kedua’-nya itu.
   
    Gilang dengan nomor kedua-nya itu berbanding terbalik dengan sifatnya di nomor pertama. Dia sangat romantis, baik, lucu, tidak pernah marah, sangat manis, dan merekapun tidak pernah bertengkar saat berkirim pesan dengan nomor itu. Beda seratus delapan puluh derajatlah.
   
    Popy pernah menanyakan pada Gilang mengapa untuk menghubunginya harus dengan nomor kedua-nya itu. Gilang bilang karena nomor pertama-nya itu digunakan pada smartphone-nya yang sering dipinjam oleh teman-temannya, Ia tak nyaman jika semua pesannya dibaca oleh mereka. Jadi dikhususkanlah nomor kedua itu untuk menghubungi Popy.
   
    Popy lebih senang seperti itu, lagi pula kan itu privasi Gilang, tak pantas jika orang lain membacanya. Tapi yang masih sangat mengganjal adalah sifatnya. Sifat yang berkebalikan itu. Dalam hal ini, Gilang seperti berkepribadian ganda.
   
    Suatu hari Popy mengirim pesan ke nomor pertama Gilang, tapi seperti biasa, mereka berdua bertengkar lagi. Tapi saat mengirim pesan ke nomor kedua, Gilang malah bersikap baik dan manis. Popy di buat pusing oleh prilaku Gilang ini.
   
    Hingga suatu waktu dalam proses berkirim pesan mereka terjadi sesuatu yang tak terduga.
   
    “Eh, gua suka sama lu tau”, isi pesan yang dikirim Gilang ke Popy. Ia merasa sangat takut dan begitu degdegan. Apa yang akan Popy katakan tentangnya.
   
    “Sejak kapan? Sebenernya gua juga punya perasaan yang lebih buat lu, disbanding ke temen-temen yang lain”. Popy tersenyum puas. Hatinya seperti melambung jauh menembus atmosfer, dadanya dipenuhi ledakan. Tangannya basah karena jantungnya berpacu lebih cepat.
   
    “Sejak awal SMA ini”
   
    “Oh ya? Sama dong”. Sudut bibir Popy terangkat. Wajahnya merah. Gilang sudah meruntuhkannya.
   
    “Em, terus lu mau ga jadi cewek gua?”,  dikirimnya pesan itu dengan gereget dipenuhi ragu.
   
    Lima menit..
    Lima belas menit..
    Tiga puluh menit..
    Satu jam. Belum ada balasan dari Popy. Gilang semakin panik. Kenapa Popy tidak membalas sampai selama ini.
   
    Popy sendiri bingung dan tak habis pikir Gilang akan memintanya jadi ‘pacar’. Selama ini Popy belum pernah berpacaran. Jika harus jujur, memang Gilang-lah yang disukainya dan dinantinya untuk dijadikan seorang pacar pertama. Dan sekarang, Gilang sudah memintanya, apakah secepat ini dia akan mererima Gilang? Sementara hatinya masih menerka-nerka tentang kepribadian Gilang yang berbeda di kedua nomornya itu.


    “Beri gua waktu tiga hari buat mikir”.

                                                                   bersambung ke Ragu-ragu (END)
Read More

Minggu, 23 Desember 2012

Ragu-ragu

    Suara berat seorang Diva Indonesia, Anggun dengan Mimpi-nya memenuhi seluruh sudut ruangan dalam volume yang tak terlalu besar, tanda sebuah pesan masuk di telepon seluler Popy. Dinginnya angin dini hari menusuk hingga ke tulang membuatnya malah menarik selimutnya tinggi-tinggi hingga menutupi seluruh tubuhnya.  Rasanya begitu malas untuk bergerak mencari telepon selulernya. Semenit berlalu, kembali senyap.

    Tapi si pengirim pesan tidak kapok. Lima menit kemudian telepon seluler Popy kembali berdering. Ya, sekarang sudah dua pesan masuk. Popy mengalah. Ia menggeliat, berusaha meluruskan posisi tubuhnya. Ia mulai meraba-raba permukaan terpat tidur dengan mata terpejam, mencari suara Anggun yang membahana. Didapatkannya telepon seluler itu di bawah bonekanya. Ia membuka mata, membaca nama pengirim; Gilang, matanya membulat sempurna, bibirnya mencibir.

    “Woy, pemalas! Buku gua jangan lupa lu bawa ntar ke sekolahan, awas lu kalo lupa”

    Setengah mati Popy menahan untuk tidak berteriak. Mukanya merah dan sepertinya sebentar lagi akan muncul tanduk di kepalanya. Lagi-lagi Gilang mengajaknya ribut.

    “Kalo gua lupa mau apa lu hah?! Ngajak ribut lu ya”. Ia membalas pesan itu dengan cepat kemudian melempar asal-asalan telepon selulernya. Ia kembali menarik selimutnya.

    Baru saja Ia hendak tidur lagi, suara lantang memanggilnya. Kamarnya dibuka, selimutnya ditarik. Jendela kamar dibuka oleh Ibu, sinar mentario menerobos masuk ke dalam kamar. Menyilaukan.

    “Hei bangun pop, udah setengah delapan ini, Nak”, suara lembut Mama belum menghipnotisnya untuk beranjak. Ia malah meringkuk.
    “Popy! Lu mau bareng gua ga? Gua udah mau cabut nih”, suara teriakan Titan, kakak laki-laki Popy sangat membantu, Popy segera loncat dari tempat tidurnya, mengambil handuk dan mengikat rambutnya asal-asalan.
    “Tungguin gua, Bang!”, teriaknya dari dalam kamar mandi. Ibu yang melihatnya hanya menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan anak gadisnya itu.

    Lima belas menit kemudian Popy sudah siap. Ia berlari menuju tangga, dan meloncati tiga anak tangga sekaligus.

    “Bu, Si Abang mana?”, tanyanya dengan napas terengah-engah.
    “Baru aja pergi”, jawab Ibu tenang, masih serius mengoleskan selai coklat diatas roti tawar.
    “Hah? Terus aku naik apaan dong, Bu? Lagian juga Si Abang ga mau nunggu bentaran”, katanya kesal, bibirnya maju beberapa senti.
    “Daripada ngomel mulu, mending naik angkot aja, tuh udah jam 8, Nak”.

    Popy melirik arlojinya. Terlambat. Tanpa berpikir panjang Ia menyambar roti yang tersedia, berlari kencang ke pangkalan ojek.

    Sesampainya di sekolah, ternyata gerbang sudah ditutup. Ketika melihat penjaga tidak ada, dipanjatinya pagar sekolah setinggi 3 meter itu. Ia berhasil lolos, sekarang tinggal memikirkan bagaimana caranya masuk ke dalam kelas tanpa diketahui oleh guru.

    Ia berlari sekencang mungkin menuju kelasnya. Tiba-tiba… “BRRUUUKKKKKKK”. Ia bertabrakan dengan seseorang. Baru saja Ia hendak melarikan diri, tetapi tasnya ditahan oleh orang itu. Ketika Ia berbalik, ternyata penjaga sekolah.

    “Eh Bapak, maaf Pak, ga sengaja”, katanya sambil cengar-cengir.
    “Mau kemana kamu? Ayo ikut Bapak”, kata Penjaga Sekolah dengan muka garang.

    Popy dibawa ke Dewan Guru seperti akan disidang. Dan putusannya adalah Ia mendapat hukuman berdiri di tengah lapangan basket hingga bel istirahat. Sungguh miris.

                                                                                       ***

    Popy baru saja memasuki kelas, dan langsung menghantam kepala Gilang dengan buku tulis.

    “Makasih”, kata Popy sambil melengos pergi tak perduli dengan apa yang dikatakan Gilang padanya. Kedengarannya seperti sebuah cacian.

    Ia duduk di bangkunya dan mengorek isi sakunya bermaksud mengambil telepon selulernya, tapi tidak ada. Ia mulai mengobrak-abrik isi tasnya, tapi tak ada juga disana. Ia memutar kembali ingatannya, mencoba mencari petunjuk tentang keberadaan telepon selulernya. Ia mengingat terakhir kali melemparnya asal-asalan setelah membaca pesan Gilang. Ia berdiri, berjalan kea rah Gilang yang sedang bercakap dengan Tomy.

    “Gara-gara lo nih, gua sampe lupa bawa handphone”
    “Lho, kok gua? Kan yang punya handphone elu. Makanya, tuaan sih lu, pikun!”, Gilang menjitaknya.
    “Ya jelas lu lah, karena sms lu yang ga penting itu gua jadi ngelempar handphone gua asal-asalan”, bantahku tak mau kalah.
    “Oh lu curhat nih sama gua? HAHAHAH! Ternyata selain pikun, lu tuh ceroboh ya dan bisanya cuman nyalahin orang doang. Jelas-jelas itu salah lu sendiri. Nyadar Mbak!”
    “Siapa yang curhat sama lu, cih! Orang gua….”. Perkataan Popy terpotong saat guru fisika masuk. Segenap siswa pun langsung diam. Pelajaran berlangsung dalam hening.

                                                                                       ***

    Hari yang cukup sial untuk Popy, dan Ia menganggap semua kesialan itu dimulai dari Gilang. Mereka berdua tak pernah akur. Selalu saja bertengkar seperti Tom dan Jerry dalam serial kartun anak. Ia merasa sangat lelah hari ini, langkahnya menuju kamar sangat gontai.

    Popy langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan tarikan napas panjang. Tak lama kemudian, suara Anggun-Mimpi menggema memekik telinganya. Ia mencari sumber suara, dan menemukan telepon selulernya yang berada di bawah tempat tidur.

    Dibacanya sebuah pesan masuk dari nomor yang tak di kenalinya.


    “Siang”
    Tiada pencantuman nama atau keterangan lain dalam pesan itu. Ia penasaran, dan meladeninya.
    “Siang, tapi siapa ya?”
    “Gilang. Ini nomer gua yang lain, special buat ngehubungin lu”

    Matanya melotot membacanya. Speechless dan tidak menyangka. Gilang punya nomor lain? Spesial untuk menghubunginya?

                                                                bersambung ke Ragu-ragu II
Read More

Minggu, 16 Desember 2012

Couple Bald

    Pagi itu aku sedang berada di taman, duduk di atas kursi roda yang dengan penuh kutukan dan keterpaksaan kugunakan karena  kakiku masih terasa lemas dan belum mampu terbebani oleh berat badanku. Semilir angin pagi menyapu lembut wajahku. Aku menarik napas dalam-dalam untuk menghirup oksigen yang terkandung disana, kubuang karbondioksida yang dibutuhkan sang tanaman untuk membuat oksigen lagi. Tergambar indah layaknya simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan.

    Aku tak sendirian di taman itu, ada juga pasien-pasien lain. Ada yang di temani perawat, dan ada juga yang hanya sendirian sepertiku, duduk diatas kursi roda juga. Tapi diantara mereka, yang menjadi perhatianku adalah seorang gadis sebayaku yang sedang melukis bunga kamboja di hadapannya. Wajahnya agak pucat, tapi kecantikannya tetap terlukis lewat siluet wajahnya. Rambut panjangnya tergerai indah. Aku terus memperhatikannya.

    Beberapa menit kemudian, datang seorang pria berperawakan bidang, terlihat gagah dengan sebuket bunga di balik punggungnya. Dia menutup mata gadis-yang-sedang-melukis tadi dengan sebelah tangannya. Sang gadis meraba-raba wajah pria itu, dan seperti sudah menghafal si pemilik wajah, Ia menyebutkan namanya. Mereka berpelukan. Ah, sungguh romantis.

    Tak kusangka mereka akan berbalik ke arahku. Aku mengutuki diriku sendiri yang sedari tadi memandang mereka lekat-lekat. Aku tak tahu harus berbuat apa, aku hanya bisa tersenyum canggung. Mereka juga membalas senyumanku, tulus. Entah apa yang mereka pikirkan tentangku. Daripada semakin merasa tidak enak, aku memutuskan kembali ke kamar rawatku.

                                                                               ***

    Selama dua minggu ini aku tak pernah lagi ke taman karena baru saja menjalani operasi sinus yang ke tiga kalinya dan harus menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit. Ketika aku keluar dari kamar rawat diantarkan oleh perawat, aku melihat gadis-pelukis-yang-ada-di-taman-waktu-itu keluar dari kamar kelas 1. Rambutnya tak lagi sepanjang waktu dulu, kini guntingannya pendek se-leher dan lebih tipis dari waktu itu. Aku penasaran. Aku putuskan menyuruh perawat mengantarku ke taman, aku ingin melihat gadis itu lagi.

    Setibanya di taman, aku menyuruh perawat yang mengantarku tadi pergi. Mataku kembali memperhatikan gadis pelukis itu, Ia seperti menggenggam helaian-helaian rambut. Dia mendapatiku lagi dan melambai, aku tersenyum, beringsut mendekatinya.

    Kami kini saling tatap. Betapa kecantikannya benar-benar terpancar dengan radius dekat seperti sekarang ini. Aku mengulurkan tanganku, berkenalan. Disambutnya dengan ramah. Aku kagum, ternyata bukan hanya wajahnya yang cantik, melainkan hatinyapun cantik. Dari cara bertuturnya, tatapan matanya, dan senyumannya, aku bisa melihat jiwa pejuang besar yang terpancar dari dirinya. Ia bilang, namanya Icha.

    Aku masih penasaran, sakit apakah dia?

                                                                               ***

    Semakin lama mengenal Icha, semakin kutahu tentang gadis itu, juga penyakitnya. Kanker. Itulah penyakit yang menyebabkan Icha harus menjalani chemotherapy dan radiasi yang membuat rambutnya terus menerus rontok dan akhirnya gundul sekarang. Tapi dia tak malu harus kehilangan mahkota terindahnya itu. Baginya, bukan mengenai berharganya suatu keindahan yang kita miliki, melainkan betapa kita mensyukuri jika kita tetap terlihat indah tanpa mereka. Sungguh gadis pejuang.

    Kekagumanku bukan hanya terletak pada perjuangan Icha yang tiada henti. Tetapi juga pada kekasihnya. Kekasihnya yang sungguh sangat setia menemani Icha. Kakasih yang menerima apa adanya. Tak banyak pria seperti itu di zaman sekarang. Bayangkan saja, pria mana yang mampu menemani kekasihnya setiap saat? Dia bahkan sudah menjadi kaki saat Icha tak mampu berjalan, menjadi tangan ketika tangan Icha sudah tidak bisa bergerak, menjadi penyokong ketika Icha terjatuh dan masih banyak lagi. Kesabaran yang tiada tara. Semuanya tak pernah terlihat mudah, aku tahu itu.

    Icha pernah menceritakan padaku soal kekasihnya.  Ia bilang kekasihnya itu seperti malaikat, yang hampir tak pernah menyakiti hati Icha. Bahkan Icha bilang, dia sangat takut jika suatu saat ketika kanker itu menyerang otaknya, Ia tak bisa lagi mengingat semua kenangan mereka berdua. Kenangan yang bahkan akan Ia mengemis pada Tuhan agar tetap Ia bawa sampai mati.

    Mengapa dengan sisa umur yang lebih pendek, cinta yang mereka miliki sangat besar dibanding dengan orang sepertiku, yang bahkan masih diberi umur panjang dan bisa sembuh dari penyakit sinus? Mungkin karena mereka tahu, waktu yang mereka miliki tidak banyak untuk tetap bersama. Kita yang justru sehat bugar seperti sekarang ini malah membuang waktu yang begitu berharga.

                                                                               ***

    Suatu ketika, Icha sedang melukis di taman, aku memandanginya dari kejauhan. Objeknya air mancur kolam ikan yang Nampak berkilau terbias sinar matahari yang menghasilkan warna pelangi. Aku bisa merasakan ketakutan terbesar yang tersembunyi dibalik ketegaran itu. Bukan ketakutan untuk kembali, tapi ketakutan untuk kehilangan semuanya.

    Aku kaget setengah mati ketika melihat kekasih Icha berjalan mendekati Icha dengan penampilan berbeda. Ia menggunduli kepalanya. Kini mereka berdua terlihat sama, sama-sama tidak memiliki rambut. Rasa haru menjalariku. Aku menangis, melihat semua pengorbanan yang dilakukan kekasih Icha. Ia melakukan apa saja agar bisa merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Icha.

    Icha terguncang, betapa berharga dia bagi kekasihnya. Sangat berharga. Ia menangis, memeluk kekasihnya itu.

    Aku salut atas apa yang mereka miliki. Cinta, kesetiaan, pengorbanan, kesabaran dan perjuangan, semuanya bukan untuk dilalui sendiri, melainkan mereka lalui berdua.

Read More

Rabu, 12 Desember 2012

Orang yang Salah

“Lebih baik menunggu orang yang tepat, daripada terus bersama dengan orang yang salah”


    Dadaku tertohok. Layaknya ada batu yang mengenai hatiku dengan sekali hantaman. Napasku sesak memburu. Mataku serasa panas, tak kuasa menahan tangisku. Lututku tak mampu lagi untuk menanggung beban tubuhku, aku jatuh terduduk. Tersungkur atas ketidakkuasaan untuk bertahan. Tak pernah ingin kubayangkan kau akan mengatakan ini. Aku pikir kau tak akan pernah bisa, tapi ternyata aku salah. Kau sungguh kejam.

    Orang yang salah, sebutan untukku yang telah menemanimu selama bertahun-tahun. Mengukir segala kenangan yang kini tinggal kenangan. Dimana janji kita? Janji untuk terus bersama selamanya, dalam keadaan apapun. Mungkin memang janji itu tidak untuk direalisasikan, atau mungkin akan terealisasi hanya pada waktu yang sudah digariskan oleh Sang Pemilik Cinta Sejati? Aku tak tahu.

    Bagiku, kau mengataiku “orang yang salah” hanya karena kau yang menganggap aku adalah orang yang salah. Kau tak pernah benar-benar menerimaku. Menerima segala kekurangan dan kelebihanku. Aku tidak sempurna, aku adalah aku. Kupikir suatu hubungan akan terasa sempurna jika saling melengkapi, tapi pikiranmu berbeda. Pikiranmu labil, seperti kanak-kanak.

    Sekarang, kau memilih untuk menunggu seseorang yang tepat. Seseorang yang entah berantah ada dimana yang belum pasti dapat kau perjuangkan. Seseorang yang mungkin tidak akan menerimamu seperti aku. Seseorang yang tidak akan sama sabarnya denganku, karena dia bukan aku.

    Kini kau bertahan dengan egois sikapmu. Mengangkat kepala seolah-olah aku hanyalah sampah yang sudah kau buang. Aku malu. Aku malu karena aku tak mampu melakukan hal yang sama padamu. Aku terlalu mencintaimu. Sudah terlanjur kuberikan seluruh jiwa dan ragaku ini. Harga diriku seperti kau injak-injak sekarang. Bahkan jika kau tahu, hatiku yang telah kau hancurkan ini masih dapat bertahan dengan sisa serpihan hati yang ada.

    Tapi aku tak ingin kelihatan lemah di hadapanmu. Aku bangkit dengan sisa kekuatan yang ada, masih dengan rasa cinta yang sama tapi kini mulai beradu dengan rasa malu dan kebencianku. Cukup sudah kubiarkan kau menghancurkanku. Meskipun sulit, akan kucoba melakukannya sebaik dirimu.

    Akan selalu kuingat kau menyebutku sebagai orang yang salah.
Read More

Senin, 03 Desember 2012

Keyakinan, Sang Pemisah?



    Dia menungguku. Baru saja aku masuk ke kelas itu dan belum sempat bersuara, dia langsung mengangkat suaranya lantang, memanggilku. Aku berjalan ke arah suara yang sangat kukenal selama beberapa tahun ini. Matanya sembab, wajahnya merah-mungkin karena lama menahan amarah, air matanya masih terus mengalir. Aku masih mengingat pesan yang dikirimnya semalam. Tentang kekasihnya, tentang hubungan mereka tak baik akhir-akhir ini. Aku tahu beban yang ditanggung sahabatku ini tidak ringan. Masalah perbedaan agama yang melatarbelakangi semuanya.

    Awalnya, mereka saling bertemu dalam sebuah forum yang sama-sama mereka geluti. Rasa suka mulai timbul sejak mereka harus terus bersama-sama sebagai seorang moderator dan notulis yang tak pernah terpisahkan tugasnya. Tak lama, rasa cinta mulai timbul di hati keduanya, mereka tau bahwa mereka berbeda keyakinan, tetapi ketika cinta bertindak semua akan terjadi.

    Aku ingat betul,  dulu sahabatku pernah menunggu kekasihnya saat sholat di dalam mesjid, Ia duduk sabar bahkan juga terlihat khusyuk dalam menggenggam salibnya. Salib dan tasbih yang sama-sama meminta kepada Tuhan dalam makna dan tujuan  yang sama, meminta terus dipersatukan. Entah kesabaran macam apa yang mereka berdua miliki dalam menjalin hubungan cinta dengan perbedaan keyakinan.

    Tapi, hubungan mereka selama 4 tahun ini tak pernah begitu mulus, selalu saja ada masalah di dalamnya. Pernah suatu waktu, ketika sahabatku pergi ke gereja ditemani oleh kekasihnya,  semua orang dalam gereja kaget melihat sahabatku menggandeng seorang pria yang menggunakan baju koko dan peci. Saat itu semua orang berbisik-bisik melihat mereka berdua. Aku juga ada disana, melihat mereka, berusaha tidak memikirkan sesuatu yang dipikirkan orang-orang disana. Mimik kekasihnya tak baik saat itu, Ia pasti merasa diasingkan, akhirnya Ia memutuskan untuk menunggu sahabatku diluar gereja.

    Sejak kejadian itu, sang kekasih tak pernah menghubungi sahabatku lagi. Ia juga sepertinya sengaja menghindar saat di forum. Sahabatku tahu penyebabnya dan merasa harus menyelesaikannya, Ia tak mau terus dijauhi, hingga akhirnya Ia memutuskan untuk mendatangi kediaman kekasihnya itu.

    Setibanya di rumah sang kekasih, mereka berbincang dan meluruskan masalah itu. Dan sahabatku diperkenalkan kepada kedua orang tua kekasihnya. Orang tuanya kaget setengah mati ketika melihat sebuah salib yang menggantung di leher sahabatku. Tak tanggung-tanggung mereka langsung mengusir sahabatku dan melarang keduanya untuk berhubungan lagi.

    Satu minggu setelah itu aku dikirimi pesan oleh sahabatku, tentang berakhirnya hubungan mereka. Orang tua kekasihnya tidak menyetujui hubungan mereka. Memang sulit untuk mempersatukan dua orang yang berbeda latarbelakang keyakinannya.

    Pada akhirnya memang harus ada yang di korbankan untuk menyatu, entah itu salib atau tasbih. Sahabatku juga ingin tetap pada keyakinannya memeluk agama kristen. Kekasihnya juga tak bisa meninggalkan keyakinannya, Islam. Masing-masing masih memegang teguh keyakinannya. Mungkin jika tak bisa mempersatukan keyakinan, hubungan merekalah yang harus dikorbankan.
Read More

Kamis, 15 November 2012

Dansa Bersama Bintang


    Di atas bukit di temani ribuan bintang dalam kelabunya langit, angin berhembus menembus dimensi ruang mengajak dedaunan bernari-nari memacu asa saling beradu. Kami sedang duduk berhadapan, saling memandang dalam bungkam.
    "Dingin ya?", tanyanya.
    Aku mengangguk malu. Wajahku terasa panas. Rasanya seluruh darahku mengalir ke kepala karena jantungku yang bereaksi dan berdetak sangat cepat.
    Ia melepas jaketnya dan mengenakannya padaku. Lalu, Ia merapatkan kedua telapak tangannya, mengadunya dalam arus bolak-balik sehingga menghasilkan panas, kemudian meletakkannya di pipiku.
    "Hangat", aku tersenyum dan melapisi tangannya dengan tanganku.
    "Keenakan ya", dia mendengus dan tergelak.
    Kuhempaskan tangannya kesal dan kujitak kepalanya. Ia ngakak. Aku lari ke balik pohon, dia mengejarku, mendapatku dan menggelitik, aku menggeliat, mencoba melepaskan diri dari serangan tangan nakal yang bertubi-tubi.
    Kami tertawa keras. Dia lalu merangkulku. Aku terdiam. Aku merasakan kehangatan yang menjalari seluruh tubuhku dalam kerapatan yang terjadi.

    Kami berbaring di atas rerumputan, menengadahkan kepala, menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit malam itu.
    "Kau suka bintang?", tanyanya dan melihatku.
    "Ya, aku suka"
    "Baiklah, apa kau mau bermain?"
    "Main apa?"
    "Err, apa ya namanya? Aku tak tahu pasti. Kau ikuti sajalah"
    "Oke", aku menerima tantangannya.
    "Gini, pertama, pikirin satu orang yang paling kau cintai"
    Aku berpikir, dan menatapnya.
    "Udah belom?", tanyanya membuyarkanku.
    "Eh udah kok!", setengah panik kujawab karena tertangkap basah sedang melihatnya dalam.
    "Kedua, lihat ke bintang, trus ilustrasikan bintang-bintang itu jadi inisial orang yang kau cintai. Seperti ini", Ia menunjuk-nunjuk bintang.

    Semenit kemudian Ia memutar lagu David Cook - I Don't Wanna Miss A Thing, tak memperdulikanku dan larut dalam musiknya. Aku mendengus, lalu aku mulai menunjuk-nunjuk bintang, mengombinasikannya menjadi sebuah huruf inisial orang yang kucinta. Ilustrasi bintang-bintangnya hampir sempurna membentuk huruf R. Ray.
    "Huruf apa itu?"
    "Inisial orang yang kucintalah! Bukannya kau yang menyuruhku melakukannya?!"
    "Pasti inisial makhluk tak jelas yang ada di masa lalumu kan?", terpanya masa bodoh.
    "Apa maksudmu? Mantanku ha? Jangan ngaco deh! Negatif mulu"
    "Ya, memang seperti itu. Tak usah mengelak!"
    "Ray, kau tahu? Aku benci saat seperti ini, ketika masa lalu harus menjadi penyebab pertengkaran antara aku dan kau yang berada di dimensi ruang dan waktu yang sudah jelas berbeda dengan mereka, kita berada di masa kini, biarkan saja para mantanku itu menjadi memori masa lalu yang dijadikan pelajaran untuk menata masa kini dan masa depan", sanggahku.
    "Oh, jadi kau sudah berhasil move on ya?"
    "Tentu saja! Aku sudah move on sejak.....", kalimatku terputus. Aku tak rela mengutarakan bahwa dia-lah alasanku berhasil membuka lembaran cinta yang baru.
    "Hahahahhah!", Ray tergelak, tak peduli dengan apa yang ingin kusampaikan lagi. Setelah itu terdiam serius. Menatap bintang lagi.
    "Eh ngomong-ngomong soal bintang ya, kita lombaan aja nunjuk bintang kesukaan kita yuk!", aku mengajukan tantangan.
    "Ayo! Itu mah kecil, preeeeet!"
    "Aku hitung ya, Satu......dua.......tiga!".

    Aku menunjuk bintang yang bersinar paling terang, sedangkan telunjuk Ray tertuju pada bintang yang sinarnya redup.
    "Kau ini, mengapa kau pilih bintang yang paling terang?", ucapnya dan langsung bangun mendekat padaku.
    "Ya, karena cahayanya lebih terang, beda sama yang lain", jawabku standar.
    "Denger ya bodoh, bintang yang paling terang itu adalah bintang yang paling cepat mati"
    "Haaa? Kok bisa, mereka kan...", aku speechless, tak tahu ingin berkata apa, aku bukan pecinta astronomi sepertinya. Salah kata, aku bisa dapat siraman teori darinya. Lebih baik aku diam saja.
    "Bintang yang cahayanya paling terang itu paling cepat mati karena bintang itu arena suhunya paling tinggi dan terbakar dengan cepat. Kalau masanya sudah habis, dia akan meledak dan menjadi black hole atau lubang hitam", jelasnya padaku.
    "Oh begitu ya, makanya kau memilih bintang yang cahayanya redup?"
    "Tentu saja. Aku ingin hidup lebih lama, ingin selalu menjadi bintang yang tak pernah meninggalkan langitnya", ucapnya dengan mata berbinar.
    Aku tersenyum dan melihat bintang yang ditunjuk Ray tadi. Tiba-tiba jemariku disergapi kehangatan dari tangan lain yang kekar, Ray menggenggam tanganku.

    "Mau berdansa?", ajaknya.
    "Tentu".
    Dia meletakkan tangannya di pinggangku, dan kedua tanganku di tengkuknya. Kami bergerak mengikuti arus, seirama dengan detak jantung kami.
   
    Malam itu kami habiskan dengan berdansa.


Cerpen ini telah dibuat parodinya oleh teman saya Rahmat Syawal yaitu Dansa Di Bawah Pohon.
Read More

Selasa, 13 November 2012

TARI YAKU, KAOGE SAKU

Tari yaku, kaoge saku adalah judul dalam bahasa Wolio yang berarti Tarianku, Kebanggaanku. Cerpen ini saya ikutkan pada lomba menulis cerpen remaja tingkat SMA/MA Se-Kota Baubau. Dan alhamdulillah masuk nominasi 10 besar. Meskipun belum juara, tapi saya tidak akan putus asa untuk terus mengembangkan hobi menulis saya. Okey, berikut cerpennya.


     Suara  tabuhan  gendang  berirama  menggema  di  seluruh  sudut  ruangan.  Efa,  Hilda,  Riska,  Rahma  dan  Fira  dengan   lenggaknya  memperagakan  gerakan-gerakan  tari  Kalegoa. Alin  yang  sedang  duduk  di  atas  kursi  roda   memperhatikan  dengan  seksama.  Perlahan  rasa  bersalah  menyelimuti  hatinya.  Dilihatnya  gips  yang  kini  membungkus  kaki  kanannya.
    “Seandainya  kecelakaan  itu  tidak  perlu  menimpaku,  seandainya  aku  tidak  perlu  mengendarai  motor  sendiri,  seandainya  aku  terus  berkonsentrasi  pada  jalanan  di hadapanku,  seandainya  tidak  ada  kendaraan  lain yang  juga  ugal-ugalan.  Ah!  Sudah  terlalu  banyak   seandainya!”,  pekiknya  dalam  hati.
    Riska  yang  selesai  melakukan  gerakan  berputar,  mendapat  wajah  masam  Alin  yang  tertunduk.  Riska  tahu  pasti  Alin  sedang  memikirkan  kecelakaan  motor  dua  hari  lalu  itu  lagi.

    Riska  yang  pada  waktu  itu  juga  sedang  di  perjalanan  menuju  rumah  tiba-tiba  mendapat  sms  dari  Ibu  Alin  yang  mengatakan  bahwa   Alin  ditabrak  mobil  trek.  Riska  sangat  panik  dan  segera  menghubungi  anak  sanggar  yang  lain.  Diapun  segera  memutar  balik  mobilnya  menuju  rumah  sakit.
    Ibu  Alin  sedang  sesegukan  ketika  Riska  tiba  di  rumah  sakit.  Efa  sudah  tiba  disana  lebih  dulu,  dan  sedang  merengkuh  tubuh  Ibu  Alin,  mencoba  menenangkan  beliau.  Riska  menatap  pintu   ruang  UGD  yang  masih  saja  tertutup.  Tak  lama  kemudian  Hilda,  Rahma  dan  Fira  dating,  setengah  berlari  mendekat.
    “Bagaimana  keadaan  Alin?”,  Efa  menatap  Riska,  napasnya  masih  terengah-engah.  Ditatapnya  Ibunda  Alin  yang  sesegukan,  lalu  menatap  lurus  pintu  UDG  yang  bergeming.  Efa  menyerah.  Ia  tahu  jawabannya  dan  mengambil  posisi  duduk  di  samping  Hilda.
     Kurang  lebih  setengah   jam  berikutnya,  keluar  seorang  pria  paruh  baya  berjas  putih  dengan  kacamata  yang  bertengger  di  ujung  hidungnya  dari  ruang  UGD.  Sontak  kami  semua  berdiri. 
    “Bagaimana  keadaan  anak  saya,  Dok?”
    “Dia  belum  sadarkan  diri,  Bu.  Kaki  kanannya  patah,  mungkin  karena  tertimpa  motor  pada  saat  kecelakaan  itu,  tapi  kami  sudah  menanganinya.  Dan dia  harus  dirawat  inap  tiga  sampai  empat   hari  di  sini”.
    “Alin  tidak  perlu  kehilangan  kakinya  kan, Dok?”,  ucap  Hilda  panik.
    “Tentu  tidak.  Kami  sudah  memasang  gips  di  kakinya  dan  itu  akan  memperbaiki  keadaan  tulangnya  yang  patah  seperti  semula.  Hanya  saja  ini  akan  memakan  waktu  empat  bulan.  Setelah  itu,  baru  akan  dijalankan  terapi  untuk  berjalan  agar  kakinya  terbiasa.”
    “Empat  bulan,  Dok?  Apa  tidak  bisa  lebih  cepat  lagi?”,  kini  Riska  yang  berbicara.
    “Sebenarnya  semuanya  tergantung  proses  pemulihannya.  Jika  tulangnya  cepat  pulih,  berarti  akan  lebih  cepat  juga  Alin  bisa  berjalan”.
    “Apa  sekarang  kami  bisa  menengoknya,  Dok?”,  tanya  Ibu  Alin.
    “Iya,  silahkan.  Saya  permisi  dulu”.
    Riska  mendorong  pintu  bagi  Efa  dan  Ibu  Alin,  Rahma,  Fira  dan  Hilda  menyusul di  belakang.  Ibu  Alin  duduk  di  kursi  samping  tempat  tidur.  Ia  menggamit  tangan  anaknya  yang  kini  pucat  dan  dingin.  Dikecupnya  tangan  itu  lembut.  Tak  ada  aroma  parfum  Britney  Fantasy  di sana,  yang  tercium  hanya  aroma  khas  rumah  sakit.  Air  mata  beliau  pun  tumpah ruah,  tak  ada  suara,  bahunya  terguncang  keras.
    Riska  memeluk  Ibu  Alin.  Ibu  Alin  sudah  seperti  ibu  kandung  mereka  sendiri.  Beliau  lah  Ibu  sekaligus  pelatih  di  sanggar  tari  mereka,  juga  seorang  pewaris  gerakan  tarian  dari  kakek  Alin—sang  pendiri  sanggar  tari.  Ibunda  Alin  sengaja  meneruskan  sanggar  tari  tersebut  agar  tari-tarian  Buton  warisan  leluhur  tetap  dilestarikan  oleh  generasi  muda.  Beliau  yakin  bahwa  masih  ada  anak  muda zaman  sekarang  yang  tertarik  untuk  mempelajari  tarian-tarian tradisional.
    “Terima  kasih,  Nak.  Kalian  pulang  saja  nanti  orang  tua  kalian  khawatir,  Bunda  ga  enak”,  ucap  Ibu  Alin  pelan  sambil  mengusap  air  matanya.
     Mereka  bertukar  pandang  dan  akhirnya  mengalah.  Mereka  menyalimi  Ibu  Alin dan  pamit  pulang.  Keluar  dari  ruang  UGD,  Hilda  membuka  percakapan.
“Kasihan  Bunda”,  ucap  Hilda  parau.
      “Iya,  padahal  kan  Alin  anak  satu-satunya.  Cuma  dia  harapan  Bunda  untuk  nerusin  sanggar  lagi dan…jadi  penari  tentunya”,  tambah  Rahma.
    “Hussh!  Kalian  ini  ngomong  apa!  Optimis  dong,  Alin  bisa  sembuh  kok!  Aku yakin  nanti  Alin  bakal  jadi  penari yang hebat”,  ucap  Riska  berkoar-koar.
    “Dan  kita  juga!”,  timpal  Efa  dan  Fira  bersamaan  sambil  tersenyum.
    Mereka  berlima  kemudian  pulang  ke  rumah  masing-masing.

    Selama  tiga  hari  dirawat  inap  di  rumah sakit,  akhirnya  Alin  bisa  pulang.  Ibunda  Alin  menyiapkan  barang-barang  Alin untuk  dibawa  pulang.
     “Ibu,  maafin  Alin”,  suaranya  tercekat,  Ia  tertunduk.
     “Maaf  atas  apa,  Nak?  Alin  ga  salah  apa-apa  sama  Ibu”.
     “Tapi  Alin  udah  ngancurin  harapan  Ibu.  Alin  ga  bisa  nari  lagi  dengan  kondisi  kaki  seperti  ini,  Bu.  Kaki  Alin  masih  lama  sembuhnya,  sementara  Festival   Pulau  Makassar  udah  dekat,  Bu”,  ujar  Alin putus asa.  Hatinya  sakit  bila  harus  mengecewakan  Ibunya.
     “Alin  pasti  sembuh.  Alin  harus  sembuh  buat  Ibu  yah”,  ucap  Ibu  Alin  pelan  lalu  merengkuh  tubuh  putrinya  itu.
     “Alin  janji  akan  menjadi  seseorang  nantinya.  Hanya  untuk  Ibu”.  Alin  mengeratkan  pelukannya.

     Hari  demi  hari  berlalu.  Sudah  selama dua  bulan  Alin  terduduk  di  kursi  roda.  Dan  selama  itu  pula  para  penari  di  sanggar  tari  milik  Ibunya  semakin  rutin  untuk berlatih  gerakan  tari-tari  tradisional.  Mulai  dari  tari  pertunjukan  seperti  tari  Linda  dan  tari  Kalegoa,  tari  pergaulan  seperti  tari  Alionda,  tari  Wabelo  dan  tari Bosu,  dan  tari  hiburan  seperti  tari  Lariangi.  Kebanyakan  tarian  ini  melibatkan  remaja  putri.  Hanya  tari  Alionda  yang  termasuk  tari  berpasangan.
     “Baiklah  anak-anak,  sekarang  Bunda  akan  memilah-milah  kalian  untuk  masuk  dalam  tarian  apa  nantinya.  Efa,  Hilda,  Rahma,  Riska,  Fira,  dan  Alin,  kalian  khusus  menjadi  penari  tari  Kalegoa…”
     “Maaf  Ibu,  Alin  kan  ga  bisa  nari”,  Alin  memotong  pembicaraan  Ibunya.
     “Masih  ada  waktu  satu  bulan  lagi, Lin.  Ibu  yakin  kamu  bisa  sembuh  dalam  kurun  waktu  itu.  Lagipula  Alin  udah  hafal  gerakan  untuk  tari  Kalegoa”,  tutur  Ibunya  lembut.
     “Iya  Bu,  tapi…”  omongannya  kembali  tertelan  melihat  senyum  pengharapan  dari  Ibu  dan  teman-temannya.
     Alin  belajar  optimis  ketika  semua  tumpuan  harapan  itu  dijatuhkan  padanya.  Meskipun  Ia  sendiri  tak  yakin  akan  sembuh  secepat  kilat.  Ia  tersenyum  miris melihat  kakinya  yang  dibalut  gips.  Masih ngilu  bila  dipaksa  untuk  bergerak, gumamnya dalam hati.

     Setiap  usai  latihan,  Ibu  Alin  menyempatkan  untuk  mengantar  Alin  ke  rumah  sakit  untuk  mengontrol  perkembangan  kakinya.  Dan  hari  ini,  gips  di  kaki  kanan  Alin  akan  dibuka.
     “Kaki  Alin  sebentar  lagi  sembuh,  dan  kembali  normal.  Hanya  perlu  latihan  berjalan.  Mungkin  pada  saat  berjalan  memang  masih  ngilu  dan  sering  kram,  tapi  Alin  harus  lawan  rasa  sakitnya  agar  kakinya  terbiasa”,  ujar  Dokter.
     Alin  tersenyum  bahagia.  Sebentar  lagi  kakinya  akan  sembuh.  Itu  tandanya  dia  bisa  menari  lagi  dan  turut  memeriahkan  Festival  Pulau  Makassar.  Baginya,  itu  adalah  sesuatu  hal  yang  bisa  membuatnya  bangga  karena  bisa  memamerkan  tari-tari  tradisional  Buton  kepada  masyarakat  setempat  maupun  masyarakat  pendatang.

     Kurang  dari  satu  minggu  lagi  pembukaan  Festival  Pulau  Makassar  berlangsung.  Riska  dan  penari-penari  lainnya  sedang  memperlancar  lagi  gerakan  tari  Kalegoa.
Sebenarnya  tari  Kalegoa  adalah  suatu  tari  tradisional  yang  menggambarkan  suka  duka  gadis-gadis  Buton  sewaktu  dalam  pingitan  atau  posuo  dengan  spesifikasi  berupa  gerakan  memakai  sapu  tangan.  Posuo sebagai suatu arena tempaan adat bagi mereka yang diikat dengan aturan dan tata krama serta sopan santun yang ketat untuk meninggalkan masa kegadisan bebas dan gembira karena telah dewasa dalam tempaan serta siap menerima kenyataan hidup.
     “Hai  semua”,  sapa seseorang  dari  ambang  pintu.
     Semua  mata  mencari  sumber  suara,  mendapati  bahwa  pemiliknya memasang  cengiran  kelinci.  Alin  berdiri  dengan  kedua  kakinya  tanpa  kursi  roda  lagi.
     “Ayo  kita  latihan,  waktunya  udah  mepet  banget  nih”,  ujarnya  sangat  ceria.
     Semua  orang  masih  terdiam  memperhatikannya,  tapi  sang  penabuh  gendang  mulai  menabuh  lagi  gendangnya.  Alin  pun  segera  masuk  kedalam  barisan  dan  melenggakkan  badannya  memperagakan  tari  Kalegoa.  Teman-temannya  pun  langsung  mengikuti.   Mereka  sangat  lincah.  Alin  sangat  bahagia  bisa  kembali  membaur  dalam  kelompok  tarinya.  Ia  tentu  saja  berharap  bisa  menampilkan yang  terbaik  nantinya.

     Di  ruangan  kecil  dengan  cahaya  temaram,  Alin  sedang  menatap  dirinya  lekat  dalam  sebuah  cermin. Wajahnya  dipoles  dengan  make  up  yang  khas,  rambut  panjangnya  yang  biasanya  terjuntai  kini  disanggul,  Ia  juga  mengenakan  pakaian  adat  Buton—baju  Kombo.
    Baju  Kombo  adalah  pakaian  kebesaran  kaum  wanita  Buton.  Bahan  dasar  baju  adalah  kain  satin  dengan  warna  dasar putih,  penuh  dihiasi  dengan  manik-manik,  benang-benang  berwarna  yang  biasanya  terdiri  dari  benang  emas  atau  benang  perak  serta  berbagai  ragam  hiasan  yang  terbuat  dari  emas,  perak  maupun  kuningan.
    Pakaian  ini  terdiri  dari  satu  pasang,  bagian  atasan  adalah  baju  dengan  bawahan  sarung  yang  disebut  Bia  Ogena  (sarung  besar).  Bia  Ogena  adalah  sarung  yang  terdiri  dari gabungan  beberapa  macam  warna  polos  seperti  merah,  hitam,  hijau,  kuning,  biru  dan  putih  dan  dijahit  secara  bertingkat-tingkat.
    Pada  permukaan  baju  dijahitkan  rangkaian  manik-manik  dengan  formasi  belah  ketupat.  Pada  setiap  petak-petak  belah  ketupat  terdapat  hiasan  dari  perak  atau  kuningan  dengan  motif  Tawana Kapa  (daun  kapas)  dan  pada  ujung  daun  kapas  tersebut  dijahitkan  sekuntum  bunga  yang  berdiri  tegak.
    “Sebentar  lagi”,  gumamnya  setelah  melirik  jam  tua  di  sudut  ruangan  itu.
    Hari  ini  adalah  hari  yang  paling  di  nantikan  Alin  dan  teman-temanya.  Mereka  akan  menampilkan tari Kalegoa  untuk  memeriahkan  pembukaan  Festival  Pulau  Makassar.  Pembukaannya  berlangsung  di  Bukit  Kolema  (Wantiro).
    Jalanan  menuju  ke  Wantiro  sangat  padat.  Banyak  orang  yang  ingin  menonton  dan  melihat  Festival yang  hanya  diadakan  setahun  sekali  ini,  baik  pendatang  maupun  penduduk  Baubau  sendiri.
    Alin  dan  teman-temannya  keluar  dari  mobil  dan  langsung  diterpa  angin  laut   sepoi-sepoi.  Mereka  menunggu  giliran  tampil  di  belakang  panggung  bersama  pengisi  acara  lainnya.
    Sebelum  tampil  mereka  tak  pernah  lupa  untuk  berdoa  kepada  Allah SWT  agar  diberikan  kemudahan  dan  kelancaran.
    “Persembahan  tari  Kalegoa  oleh  sanggar  tari  Keraton  Buton”,  suara  MC  menggema  dan  mereka  segera  naik  ke  atas  panggung  diiringi  tabuhan  gendang.  Dan  mulailah  mereka  menari.  Satu  persatu  gerakan  ditarikan  dengan  lincah  tetapi  tetap  lentur.  Mereka  memang  sudah  terbiasa  untuk  tampil  di  muka  umum,  jadi  semua  merasa  percaya  diri  dalam  memperagakan  setiap gerakan  tarian.
    Setelah  kurang  lebih  tujuh  menit,  kemudian  berakhirlah  tarian  mereka  yang  disambut  dengan  tepuk  tangan  yang  sangat  meriah.  Mereka  memberi  hormat  dan  turun  dari  panggung.
    Rasa  lega,  puas,  bahagia  dan  bangga  mereka  rasakan.  Selesai  sudah  tugas  mereka  untuk  menghibur  dan  menampilkan  kebudayaan  Buton.  Tak  ada  lagi  beban  khusus  bagi  mereka.  Tugas  mereka  kini  hanya  tinggal  memperdalam  dan  terus  melestarikan  tarian-tarian  tradisional Buton,  karena  suatu  kebudayaan  suatu  daerah  merupakan  cirri  khas  daerah  itu  sendiri.
Read More

Senin, 12 November 2012

Terlambat

   
    Di sebuah taman dengan ditemani rinai hujan dan ramainya deru kendaraan, seorang lelaki perawakan tegap dan karismatik sedang memayungi gadis berseragam putih abu-abu yang sedang berderai air mata. Tubuh gadis itu basah kuyup, bibirnya pucat dan pipinya tak bersemu merah lagi. Lelaki itu kemudian tunduk berlutut dan meletakkan payungnya di tanah.
    “Maafkan aku”, ucapnya dan menggamit tangan Wanda. Ia tak tahu sudah yang keberapa kalinya kata itu terucap. Tapi memang benar, hanya kata maaflah yang mampu menebus semua kesalahan yang mungkin takkan termaafkan begitu saja.
    Wanda masih bungkam, tapi air matanya tumpah menyeruak. Dadanya terasa sesak. Hatinya sangat sakit. Seluruh tubuhnya gemetaran. Rasanya sebentar lagi Ia akan terduduk jatuh karena tak mampu menahan semuanya. Mungkin inilah cinta. Ketika kita melepaskan orang yang kita cintai pasti Ia akan kembali jika memang orang itu untuk kita.
    Wanda kembali mengusap air matanya pelan. Ia sebenarnya sudah rela melepaskan Fiko sejak 3 tahun yang lalu, tetapi mengapa pria itu kembali lagi untuk meminta hatinya? Ia tak tahu. Yang jelas, rasa cintanya pada pria itu sudah lenyap.
    “Apa yang membawamu kembali, ko?”, ungkap Wanda akhirnya.
    “Aku merasakan cinta ketika kamu tak ada”. Fiko menatapnya dalam.
    “Sudahlah. Semuanya sudah sangat terlambat”, ucap Wanda dan menghempaskan tangan pria itu.
    Fiko terdiam. Ia tahu betul ini utuh kesalahannya, Ia pun tak tahu bagaimana Ia harus menebus semuanya.
    “Aku pulang dulu”, pamit Wanda.
    “Biar aku antar”
    “Ga perlu. Aku bisa sendiri”.
    Wanda berjalan cepat meninggalkan Fiko di taman menuju tempat pemberhentian bus. Tak lama busnya pun datang.
    Sepanjang perjalanan, Wanda masih memikirkan kejadian tadi. Dari cara Fiko menatapnya, sampai cara Fiko menuturkan semuanya. Ia melihat pria itu juga terluka. Andai saja Fiko melakukan semuanya 3 tahun yang lalu, Ia pasti akan sangat bahagia.
    Rasa cinta tak terbalaskan. “Ya, Fiko tak pernah membalas rasa cintaku. Memperdulikanku saja tidak pernah”, gumamnya dalam hati. Terlambat. Fiko sudah sangat terlambat untuk menyadari semuanya. Kini hanya sebuah penyesalan besar yang bisa Fiko rasakan.
Read More

Minggu, 11 November 2012

Mawar dan Sang Pangeran


        Masih terlalu pagi. Matahari belum menampakkan seluruh dirinya. Udara masih berembun, burung-burung beradu padanya. Aku kerajinan, bangun sangat pagi dan akibatnya harus datang terlalu pagi juga di sekolah. Pukul 06.50. Bisa kuhitung dengan jari murid yang datang pagi itu.

        Aku menyusuri koridor sangat lambat. Tetap mengawasi sekitar dengan ekor mataku. Jujur aku penakut. Pikiranku aneh, terus memikirkan yang tidak-tidak. Aku mencoba rileks dan berharap sudah ada orang di dalam kelasku. Dan benar! Setidaknya ada putri, piket hari ini yang tentunya harus datang lebih awal untuk membersihkan. Aku mengucapkan salam dan menyapanya. Ia tersenyum. Aku tak akrab dengannya, jadi takkan kubuat lagi percakapan yang lebih panjang dan langsung berjalan ke mejaku di pojok kanan kelas.

        Aku terkejut ketika kudapati ada setangkai mawar merah di bangku ku. Dari siapa, pikirku. Aku penasaran karena ini pertama kalinya aku diberikan bunga-something special bagiku. Ingin ku tanyakan pada Putri, tapi aku yakin dia takkan menanggapi banyak. Aku meletakkan tasku di meja dan kuambil mawar itu. Masih segar layaknya baru saja dipetik. Kudekatkan mawar itu ke hidungku, menghirup sedikit keharumannya yang khas. Aku menyukainya. Aku kini mengamankannya dalam laci mejaku.

        Esok hari dan hari-hari berikutnya juga selalu ku temukan setangkai mawar di bangku ku. Tapi, tak hanya mawar merah. Setiap hari warnanya berbeda. Tetap segar dan sewangi yang pertama. Aku selalu merasa spesial. Dan aku semakin menyukai bunga mawar. Tapi permainan ini cukup. Aku tak mau memimpikan seorang pangeran seperti yang ada dalam novel. Aku ingin tahu siapa orang yang membuatku jatuh cinta pada perlakuannya ini. Mulai kucari dimana saja petunjuk akan bunga ini. Aku benar-benar berharap bisa mengetahuinya. Tapi hasilnya nihil. Tak ada petunjuk apapun, secarik kertas untuk inisialpun tak ada. Aku menyerah. Mulai kutanya semua teman-teman sekelasku, tapi sama, nihil, mereka pun tak tahu. Ya sudahlah nanti juga pasti berakhir, pikirku.

        Jika seminggu yang lalu hari-hariku dipenuhi bunga, dalam dua minggu terakhir ini tak ada lagi bunga. Aku merasa ada yang kurang. Aku rindu perlakuan itu, tapi juga bersyukur. Semua kumpulan mawar di kamarku kini layu dan kelopaknya mulai berjatuhan. Kupandangi mereka. Masih mempesonaku. Aku bertanya-tanya, mengapa berhenti? Apa yang terjadi pangeran? Mungkin si pemberi bunga mawar ini benar-benar seorang pangeran dari imajiku hingga Ia tak akan benar ada dalam kehidupan nyata.

        Suatu sore aku duduk di taman sekolah. Lagu Afgan - Terima Kasih Cinta bergema di telingaku lewat headset yang kupasang rapat-rapat. Sore itu aku datang untuk mengambil beberapa objek foto di taman sekolah. Aku mengambil satu gambar pohon palem di dekat kolam ikan. Aku kaget ketika melihat bunga mawar yang tumbuh subur di dekat rumah pohon. Baru kali itu aku kesana dan baru mengetahui ada berbagai warna bunga mawar disana. Aku mengambil gambarnya. Dan segera pulang ketika gerimis mulai turun.

        Sesampainya dirumah aku memindahkan foto tadi ke laptopku. Dan melihatnya satu persatu. Foto terakhir adalah foto kumpulan bunga mawar yang tumbuh subur berlatar rumah pohon. Ku zoom foto itu dan melihat keindahan mereka dari dekat. Tunggu, aku serasa mengenal mereka. Kubalikkan badanku ke arah meja dan kudapati mawar-mawar yang sudah layu. Ah iya, itu mereka. Aku baru menyadarinya, ternyata bunga yang selama ini itu diambil di taman sekolah. Berarti... yang memberikannya juga adalah murid di sekolahku. Aku mendapatkan sedikit petunjuk.

        Esoknya, aku datang lebih cepat lagi di sekolah. Kini adalah untuk menjalankan misiku untuk menemukan siapa pangeran itu sebenarnya.Aku bersembunyi di rumah pohon, dan terus mengamati jika sewaktu-waktu ada seseorang yang datang untuk memetik mawar. Sudah hampir bel masuk, tetapi tak ada seorang pun yang datang ke sana. Aku bilang ini belum selesai dan akan melanjutkan besok. Hal ini kulakukan selama seminggu, tapi sama, pangeran itu tak ada. Aku berjalan mendekati tumbuhan mawar yang subur, dan aku mulai berfikir, jika tak pernah ada bunga lagi di bangku ku, berarti tak akan ada yang datang memetik mawar ini untukku.

        Suatu sore, aku pergi ke taman untuk memetik mawar. Aku benar-benar merindukannya, seperti merindukan untuk bertemu seorang pujaan hati. Meskipun kini memang sudah tiada yang membuat senyumku sumringah tiap pagi, membuatku susah tidur karena takut memimpinya, dan membuatku senang tersenyum sendiri. Aku memetik satu diantara beberapa mawar disana. Merah, dia pilihanku. Kucium baunya dan tersenyum mengingat pertama kali kutemukannya di atas bangku ku. Saat itu, aku merasa diawasi, ada yang memperhatikanku sejak tadi. Aku memcoba mencari seseorang atau sesuatu, tapi tak kutemukan jua. Jantungku mulai berdebar ketakutan, dalam sekejap keringatku meluncur membasahi hampir setengah tubuhku, aku paranoid. Tak ingin sesuatu terjadi, aku bergegas pulang ke rumah.

        Sesampainya di rumah bunga itu kuletakkan pada vas di atas meja kamarku bersama mawar-mawar yang sudah layu. Aku takkan membuang semua mawar ini.

        Besoknya, aku pergi ke taman lagi, dan... ada seseorang disana. Aku seperti mengenalnya, aku memantaunya lewat balik pohon. Dia memetik sebuah mawar merah dengan membelakangi pihakku. Aku terus melihatnya seperti tak berkedip. Detik kemudian, Ia berbalik. Kudapati sesosok makhluk berwujud manusia yang memang kukenal dan kuimpikan. Kakak kelasku yang sangat populer.

        Reno.
Read More

Melupakanmu


        Matahari pagi itu bersinar sangat cerah. Kicauan burung tak terdengar lagi, yang terdengar adalah kicauan siswa-siswi berseragam putih abu-abu di setiap sudut sekolah. Di bawah rindangnya pohon beringin duduk seorang gadis sedang mengotak atik telepon selulernya. Ia nampak serius berkirim pesan kepada Rafi. Kadang Ia tiba-tiba tertawa, tapi kadang juga nampak kesal.

        Rafi adalah mantan pacar Disa, tetapi Disa masih menyayangi Rafi. Makanya Ia selalu perhatian pada pria itu. Disa sangat rajin mengirimi Rafi pesan, kadang menanyakan kabar, kadang mengirimi kata-kata yang dibuatnya sendiri, atau sekedar memberikan sepercik perhatian pada Rafi seperti jangan lupa untuk makan. Tetapi begitulah laki-laki, selalu cuek dan jarang memperhatikan hal-hal kecil, apalagi untuk orang seperti Rafi. Disa tahu betul sifat mantan pacarnya itu, tetapi Ia tak pernah mau menyerah. “Aku harus mendapatkanmu kembali, Fi”, tekadnya.

        Lambat laun Rafi semakin jarang membalas pesan Disa. Sebenarnya Rafi juga masih menyayangi Disa, karena biar bagaimanapun Disa-lah yang membuat Rafi jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Tapi Disa-lah yang memutuskan hubungan mereka dulu. Sampai sekarang Rafi masih tak habis pikir dengan perlakuan itu.

        Sekarang apa maksud Disa memberinya perhatian yang berlebihan seperti itu? Apakah Disa menyesal sudah mengakhiri semuanya? Atau Disa memang hanya mempermainkannya? Entahlah, Ia pun tak tahu. Ia tak pernah ingin mengecewakan Disa, Ia hanya tak ingin terus memberikan harapan semu pada gadis itu sementara Ia sudah tak bisa memiliki Disa lagi. Rasa sayang itu harus dilemparnya jauh-jauh.

        Malam minggu tiba. Ini adalah malam yang sangat menyiksa bagi orang yang tak punya pacar seperti Disa, biasalah galau. Tak tahu harus berbuat apalagi, Ia memutuskan untuk menelepon Rafi. Berniat untuk mengatakan bahwa Ia masih menyayangi Rafi.

        “Assalamu ‘alaikum, Fi”. Dibukanya percakapan telepon itu dengan salam.

        “Waalaikum salam. Kenapa Dis? Tumben kamu nelepon aku”.

        “Hm… Aku mau ngomongin sesuatu, Fi”, dengan ragu kalimat itu diucapkan. Jantung Disa mulai berdebar tak keruan.

        “Ngomong aja”, ucap Rafi enteng.

        “Sebenernya… Aku masih sayang sama kamu. Aku minta maaf udah mutusin hubungan kita. Waktu itu aku belum serius pacarannya. Tapi aku sadar, hanya kamu yang aku sayang Rafi”. Semakin tak tenanglah Disa. Apa yang akan Rafi katakan?

        “Masa?”, kata Rafi singkat. Tak ada nada kaget sedikit pun yang terdengar.

        “Iya… Hm, gimana?”, tanya gadis itu penasaran.

        “Gimana apanya?”

        “Ya… Kamu masih mau balikan?”

        “Maaf banget ya Cha, aku udah ga bisa”. Tanpa sengaja Rafi memanggilnya dengan panggilan ‘Cha’ alias ‘Dicha’—panggilan kesayangan Rafi pada Disa.

        Sebulir air mata Disa seketika meluncur begitu saja disusul dengan tangis yang tak tertahankan. Ia sesegukan menahan suara tangisnya. Kemudian Disa menutup telepon itu tanpa permisi. Rafi tahu Disa pasti menangis. Tapi apa boleh buat, tak ada pilihan lain lagi. Ia juga tak ingin berlarut-larut dengan masa lalunya.

        Dua jam berlalu sejak telepon itu berakhir, Disa masih terduduk di kasurnya dengan tatapan kosong. Air matanya masih mengalir seperti air. Dadanya terasa sangat sesak, sulit untuk mencari oksigen hingga memenuhi paru-parunya. Rasanya hatinya sudah hancur menjadi serpihan debu, sulit untuk disatukan lagi.

        “Mengapa aku begitu bodoh? Mengapa aku harus mengatakan hal itu? Mengapa Rafi menolakku?”, masih banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk dikepalanya yang semakin lama semakin menghancurkan dirinya sendiri. Ia merasa sangat bodoh. Rafi sudah jelas tidak mencintainya lagi, dari cara membalas pesan-pesan yang dikirimnya. Disa malu. Biar bagaimanapun Ia adalah wanita, dan yang dilakukannya itu bukanlah kodratnya.

        “Aku janji, aku ga bakal ngejar Rafi lagi. Aku harus bisa buktiin kalau aku bisa hidup tanpa dia. Kalau dia bisa, kenapa aku ga. Rafi hanya masa laluku”, tekadnya. Ia menghapus semua air matanya. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskan pelan. Lalu Ia beranjak tidur.

        Tidak mudah bagi Disa untuk melupakan Rafi. Rafi dan seluruh kenangan mereka masih terus menari-nari di kepalanya. Tapi, jika Ia mengingat kejadian malam itu, Disa merasa sangat benci kepada Rafi.

        Hari-hari berlalu. Apa yang Disa lakukan selalu berantakan. Ia lebih banyak diam, menyendiri dan melamun. Keluarga bahkan teman-temannya turut prihatin dengan keadaan Disa, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa, hanya Disa-lah yang bisa merubah dirinya.

        Hampir setiap malam Disa menangis mengingat Rafi. Rasanya susah untuk melepaskan. Tetapi Disa pun tak mau terus berlarut-larut dengan apa yang sudah menjadi masa lalunya. Ia merasa sudah saatnya untuk merubah masa kini dan menata masa depannya. Ia harus bangkit. Ia kemudian banyak mencari kegiatan atau hal-hal positif yang membuatnya tak ada waktu untuk memikirkan laki-laki.

        Berangsur-angsur Disa mulai melupakan Rafi. Sekarang Ia sudah kembali ceria dan lebih tegar.
Read More

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger