Rabu, 06 November 2013

Arti Sebuah Mimpi

      Siang itu teriknya mentari menusuk sampai ke ubun-ubun. Angin yang bertiup pun hanya membawa debu kendaraan bermotor yang entah agak lenggang. Banyak yang malas bepergian mungkin atau malas untuk bertatap muka dengan panas matahari yang membakar hangus kulit.
   
    Pandanganku masih menunduk menatap setiap inchi trotoar jalan yang kutinggalkan. Aku masih menimbang-nimbang akan menceritakan ini atau bungkam saja. Pria di sampingku juga diam. Dia hanya berjalan mengimbangi langkahku dan membiarkan angin menyapu wajahnya hingga matanya menyipit.
   
    “Hmm…”, tak sadar aku menghela napas panjang. Sontak pria di sampingku berbalik dan menatapku bingung.
   
    “Kamu kenapa?”. Aku diam sejenak.
   
    “Semalam aku mimpi, Dit”, aku merasa napasku tercekat. Dan aku sadar kalau ekspresiku berubah. Wajahku menegang

    “Mimpi apa? Kok serius gitu?”

    “Gini; aku lagi jagain toko ketika itu. Tiba-tiba datang seorang wanita—yang aku mengenalnya berasal dari keluarga kamu – memintaku untuk memilihkan sandal untuk kamu. Wanita itu sedikit memaksaku untuk segera memilihkan sandal karena kamu sudah terburu-buru untuk memakainya. Tetapi karena aku sedang sibuk melayani banyak pembeli di tokoku, aku hanya memilihkan sepasang sendal berwarna cokelat yang ada di hadapanku yang kuanggap cocok di kakimu, tanpa memperhatikan model ataupun warnanya akan kamu suka atau tidak. Setelah aku memberikan sandalnya pada wanita itu, Ia kemudian pergi.
   
    Siangnya, aku sedang berdiri hampa di ambang pintu rumah, dan aku melihat kamu dan Ayahmu sudah memasuki halaman rumahku.
   
    Aku menatapmu yang menggunakan sandal yang kupilihkan tadi. Tapi, kamu hanya mengenakan sebelah—di sebelah kanan. Sementara di kaki kirinya, kamu memakai sandal yang lama—berwarna hitam. Aku melihat sandal yang kupilihkan tadi tidak cocok untukmu, dan kupaksa untuk melepasnya saja. Tapi kamu bilang, kamu menyukai sandal pilihanku dan kamu akan tetap memakainya”. Aku menyudahi ceritaku dan kembali menatap Adit yang masih menerawang. Aku menunggu respon Adit tapi Ia tak mengatakan apapun sampai kami berpisah di ujung jalan itu.

    Setibanya di rumah aku membenamkan diri di kasur. Penasaran apakah arti mimpi itu sebenarnya.

    Sekitar setengah jam kemudian aku menerima pesan Adit. Adit bilang mimpi itu mungkin hanya sekedar mimpi saja, tak punya arti apa-apa. Tapi aku tidak puas, seperti ada saja yang mengganjal perasaan ini.

                                                                                      ***
   
    Aku meratapi perjalanan cinta pertamaku yang kini kandas dalam masa peralihan. Mencoba menelaah setiap kenangan yang bergelayut di tepi jurang kenastaan. Enggan rasanya mengakui bahwa aku ingin semuanya segera berakhir.
   
    Kini aku tahu apa arti mimpi itu. Adit masih bermain dengan bayangan masa lalunya. Ia masih menyukai wanita itu. Namanya Rena. Dia dulu teman SMP Adit. Adit pernah cerita, Rena adalah orang pertama yang membuatnya jatuh cinta. Dulu mereka dekat, tapi kedekatan mereka tidak pernah berlanjut. Hanya sebatas teman saja.

    Adit berkata bahwa Ia akan melupakan masa lalunya itu.

    Entah, sejak awal aku memang ragu untuk menjalin sebuah hubungan. Belum siap, tepatnya. Aku takut dengan hal-hal yang belum bisa kutangani sendiri. Seperti sekarang ini. Rasanya aku hanya memaksakan diri.

Read More

Rabu, 31 Juli 2013

Misteri Sebuah Surat

                 Surat itu tergeletak di atas meja belajarku ketika aku masuk kamar. Di luar gerimis belum juga reda. Aku memutuskan mandi karena badanku yang sudah basah kuyup begini.

                Aku melihat surat itu dari ujung mataku ketika melewati kamar mandi. Masih jaman banget ya ngirim surat, umpatku tak habis pikir. Aku membanting badanku di atas kasur. Membenamkan seluruh kelelahan hari ini dalam dunia kapuk. Semakin jauh aku ingin terlelap, wajah cengengesan itu malah semakin menghantuiku. Aku duduk seketika, mengingat wajah itu aku jadi teringat kejadian 22 hari yang lalu.

               Pagi itu aku terlambat bangun sampai harus berkejar-kejaran dengan waktu dan akhirnya keteteran. Kamus, binder, kotak pensil, ipad, semuanya kumasukan paksa ke dalam tasku. “Ma, aku pergi ya”, pamitku tak jelas setelah memasukan potongan sandwich ke dalam mulutku.

                “Hati-hati di jalan, Yan!”, suara Mama tak kalah kerasnya. Sambil berlari menuruni tangga, aku melirik arloji hijau yang melingkar dipergelangan tanganku. Pukul 08.05. Lima menit lagi aku sudah harus sampai di kampus kalau masih ingin masuk kuliah pagi dan tidak mendapat amukan dosen.

                Aku berlari lebih cepat ke pangkalan ojek. Tak ada pilihan lain lagi selain naik kendaraan yang satu ini.

                “Ojek, neng?”, tawar seorang ojek berjaket biru jeans. Tanpa pikir panjang aku langsung naik dan menyebutkan nama kampusku.

                Lambat sekali rasanya ojek ini. Aku melirik arlojiku lagi. Pukul 08.13. “Bisa lebih cepat lagi ga sih ini jalannya kayak siput aja!”, amukku. Rasanya ingin sekali aku mengambil alih kemudi.

                “Ini udah paling cepat kok, neng”.

                “Berhenti disini aja deh!”, aku turun dan memberinya selembar uang lima ribu rupiah.

                “Ngga usah bayar, neng”

                “Bukannya lo ngojek buat nyari uang?!”, aku menatapnya geram, menjatuhkan uang lima ribu itu dan berlari menuju kampus.

                Ketika aku pulang, ojek yang tadi kutumpangi sudah menunggu di depan gerbang kampus. Dia menyodorkanku sepucuk surat dengan amplop hijau tosca. “Untuk dibaca di rumah”. Ia tersenyum dan segera pergi dengan motornya. Sejenak aku terpaku pada surat itu. Tapi ledekan anak kampus menyadarkanku. 

“Ciee yang baru dapat surat”, celetuk salah seorang gadis di dekat gerbang kampus.

“Secret admirer ya? Hahahah”, anak yang lain menimpali. Terdengar suara tawa yang membuncah dimana-mana. Desas-desus yang semakin membuatku panas.

Semestinya aku langsung membuang surat itu. Tapi tiba-tiba rasa penasaran menghinggapiku. Aku membuka surat itu di kamar. Deretan huruf miring yang kecil-kecil berbaris rapi menghiasi kertas kuning. Selain kertas, ada juga selembar uang lima ribuan dalam amplop itu.

Maaf atas kejadian tadi. Sebenarnya aku sangat berutung hari ini, bisa mengantarkan seorang bidadari sampai-sampai aku gugup tak bisa menarik gas dalam-dalam. Uangnya aku kembalikan. Mestinya memang aku menarimanya karena tujuanku bekerja adalah untuk mencari uang, tapi aku tak bisa menerima upah dari pekerjaan yang tak tuntas.
Salam, tukang ojek.

Seusai membacanya, aku mengusutnya dan melemparnya ke tempat sampah di sudut kamar. Ga penting, pikirku.

Sejak saat itu, dia selalu menunggu di gerbang kampus dan menyodorkanku sepucuk surat. Disetiap sudut surat tertulis 1, 2, 3 dan seterusnya. Surat kedua dan ketiga sempat kubaca tapi isinya sudah tak kuingat lagi. Yanglainnya selalu kubuang.

Aku malu diejek oleh anak kampus. Setiap hari dikejar-kejar tukang ojek itu. Yang aku tak habis pikir lagi adalah dia tahu alamat rumahku. Jika aku tak datang di kampus, surat-surat itu selalu dia antarkan ke rumah. Ingin sekali rasanya aku menamparnya.

“Sebenarnya maumu apa?!”, bentakku suatu hari ketika Ia memberikan surat, entah yang keberapa.

“Mauku, suratnya dibaca. Itu aja”, ujarnya sambil tersenyum. Dia lebih rapi hari ini. Menggunakan kemeja kotak-kotak, meski kepalanya selalu memakai helm.

“Aku sudah punya pacar!”

“Aku sudah tahu”

“Lantas?”. Aku maju beberapa langkah mendekatinya, semakin geram.

“Ya, tugasku hanya memberimu surat-surat itu. Selamat membaca”. Ia mengedipkan sebelah matanya dan pergi. Tanganku mengepal menahan emosi.

Surat itu masih tergeletak di atas meja. Aku belum membacanya, namun sempat kulihat angka 20 di sudut kiri amplop. Tiba-tiba aku terperangah. Hatiku mencelos. Tanganku tergerak mengambil surat itu. Amplopnya sudah sobek. Aku selalu mengabaikan setiap surat. Sudah dua hari surat ini ada di kamarku rasanya. Mungkinkah pembantuku yang membacanya?

Dengan tangan gemetar aku mengeluarkan lipatan kertas kuning dari amplop hijau tosca itu; mebacanya.

Selamat! Kamu telah membaca bagian terakhir dari surat-suratku. Sebuah kisah telah aku tulis dalam 20 hari sebagai hadiah ulang tahunmu yang ke-20 tahun. Ya, hari ini umurmu tepat 20 tahun.
Aku menyukaimu sebagai bidadari. Yang aku tahu aku takkan pernah bisa kamu lihat.
Di surat yang ke-17 aku pernah mengatakan siapa aku sebenarnya.

            Aku termenung. Ulang tahun? Iya! Dua hari yang lalu ulang tahunku yang ke-20. Kenapa aku baru membaca surat ini sekarang? Tiba-tiba sebuah misteri hinggap di kepalaku. Tapi kemana aku harus mencari surat-surat yang lainnya?
Read More

Rabu, 05 Juni 2013

Sun Set in Waombo Garden

Waombo Garden.










Read More

Senin, 20 Mei 2013

Spesial: Langit Jingga II

                  Menjelang magrib tadi, saya melihat langit yang terbias jingga yang begitu menarik perhatian saya.Tanpa berpikir panjang saya langsung mengambil kamera digital dan pergi ke balkon belakang kamar.

                  Ini pertama kali saya mendapatkan pemandangan yang benar-benar membuat saya jatuh hati. Berbeda dengan senja yang lain. Maksudnya, ini langit jingga yang tidak biasa. Jingganya seperti meluap-luap. Penuh pesona. Selama ini saya selalu mengabadikan mereka, tapi kali ini berbeda.

                  Selamat merasakan keindahan mereka lewat jepretan foto amatiran saya:)




Read More

Kamis, 18 April 2013

Galau


Aku ga kenal telepati,
karena aku ga bisa baca apa yang ada
di hati dan pikiran kamu.

Aku ga kenal radar,
karena aku ga bisa mendeteksi dimana kamu berada.

Aku ga yakin sama hukum magnetik,
yang katanya bisa membawa kutub positif dan negatif
ketemu dan melekat.
Aku bahkan ga tau kita kutub apa.
Entah aku positif, kamu negatif,
atau sebaliknya.
Bisa jadi kita kutub yang sama kan?
Buktinya sampai sekarang kita ga menyatu. "Belum" (mungkin).

Tapi aku tau dan yakin sama Takdir,
Aku dan kamu ketemu karena satu alasan.
Entah pada akhirnya harus bersama atau berpisah.

9 April 2013
12.07
Read More

Senin, 15 April 2013

Terima Kasih, Hujan

Derasnya tetesan hujan menyusuri tiap lekuk wajah ini
menyembunyikan bias merah yang merona
menghampiri tiap senyuman yang terulas rapi
masih saling berhamburan dengan debarku
mendalami tiap rasa yang terselip
meski tak sepenuhnya tersampaikan

Terima kasih, hujan
kaulah saksinya

15.00
4 April 2013
Read More

Sabtu, 06 April 2013

Penghujung Senja

Merangkai makna yang telah rapuh
melukis kiasan silam dalam sebuah
kenangan senja
Namun tak perlu kau tangisi
karena semuanya adalah skenario theater
nusantara yang patut kita leburkan
dalam lantunan serangkaian 33 nada tasbih
Hitung dan hitunglah jumlah duka
dalam barisan warna pelangi
dalam bias-bias fatamorgana
Dan aku terpuruk di penghujung senja
dalam nada duka.

                                                                                                          Karya: Lentera Ganesha Prasraya
Read More

Jumat, 29 Maret 2013

Atas Nama Cita-cita

Arya:
        Hembusan angin turut mengantarkanku pada sebuah pencapaian. Langit seolah membuka jalan untuk ku tembus dengan kapal terbang yang akan segera bisa ku kendalikan sendiri. Beradu bersama asa, mencapai sebuah kesuksesan.
   
        Aku meninggalkan kota ini atas nama sebuah cita-cita. Dengan berusaha menitipkan cintaku pada sebuah kepercayaan akan janji kota ini; Setiap pertemuan memiliki jalan kembali meskipun sebelumnya harus berpisah.

        Kemarin aku sudah berucap pada tempat-tempat yang biasa kita datangi berdua. Dimana aku masih bisa merasakan hawa pertama saat menggandeng tanganmu dan duduk di bawah rimbunnya pohon ketapang. Masih ku hafal setiap jengkal yang kita lakukan, setiap kata dengan hembusan nafas yang memburu saking kita sama-sama tertarik dengan topik pembicaraan. Dan mata itu, mata hitam kelam milikmu, yang selalu membawa magis untuk meluluhkanku.

        Aku berjanji bahwa kamu dan keluargakulah orang pertama yang akan kubawa terbang dengan pesawat maskapai tempatku bekerja dengan aku sebagai pilotnya. Kamu akan merasakan kebahagiaanku terselip pada celah awan yang setiap sepersekian detiknya akan kamu rasakan karena kita melewatinya. Seperti itulah nantinya. Kita akan terus bahagia.

        Aku pergi ke seberang untuk berjuang. Tanpa pernah melupakanmu yang setia menunggu disini. Dengan menempuh pendidikan doktermu. Aku tahu semuanya takkan pernah mudah. Kamu tahu betul aku punya komitmen. Aku yang memulai. Dan takkan mengakhiri.

        Ingin sekali rasanya memelukmu bukan untuk yang terakhir kali. Dan tanpa kata “selamat tinggal” saat kamu bisa melepaskan aku tanpa air mata kesedihan. Tapi dengan sebuah senyum kebahagiaan. Aku akan kembali, dokterku…
       
        Percayalah.


Maryam:
        Kota ini adalah satu dari saksi perjalanan tiga tahun kita merajut kasih. Atas kepergianmu hari ini, kamu meninggalkan sebuah komitmen sebagai landasan cinta. Hanya itulah modalku untuk tetap (berusaha) percaya pada cinta yang akan memeluk jarak antara kita. Menelan rindu pada sisa kesabaran pasti akan ku kecap. Terbaring kaku tanpa sapaan yang selalu menghangatkan mungkin akan menjadi kebiasaan. Semua perasaan saat menjalin hubungan jarak jauh sudah di depan mata.
       
        Maafkan aku yang tak turut mengantarkanmu hari ini. Bagiku terlalu sulit untuk melihatmu pergi dengan kata “selamat tinggal”. Aku lebih menyukai perasaan saat aku tahu kita akan bertemu esok pagi di halte bus dekat sekolah kita. Meskipun begitu naïf, aku ingin sekali memelukmu, bukan untuk yang terakhir kali.
   
        Aku tahu kamu begitu mencintai cita-citamu yang satu ini. Aku juga mencintai cita-citaku. Kurang lebih empat tahun kedepan, aku harus melihatmu dalam balutan seragam pilot. Dan aku akan memakai jas putih dengan membawa sebuket bunga untukmu. Disitulah aku akan menjadi dokter bagimu untuk pertama kali, yang akan mengobati semua rindu selama bertahun-tahun. Aku yakin, kita akan bersama selamanya, lewat jalan kesuksesan itu.
   
        Meski semua tak pernah mudah. Aku akan tetap menunggumu seperti dulu.
   
        Atas nama cinta, aku percaya…
                                                                                         ***
   
        Maryam selesai mengirimkan Arya email. Arya pasti akan membacanya besok saat libur mingguannya. Seperti biasa, isi email Maryam malam itu melaporkan kabarnya dan menanyakan kabar kekasihnya itu. Bagi mereka, saling mengetahui kabar satu sama lain sangat penting, dan sudah cukup. Mereka tak pernah mengeluh di email, hanya karena tak ingin salah satunya merasa khawatir dan kemudian mempengaruhi pendidikan mereka. Walaupun sebenarnya rasa khawatir semakin menggeluti mereka karena itu.
   
        Dua tahun lagi semuanya akan kembali seperti sedia kala. Itu keyakinan yang lebih dari seonggok harapan. Ada komitmen yang terus dipegang teguh. Proses menghibur diri sering dilakukan salah satunya. Baik itu Arya yang pulang atau Maryam yang pergi. Seperti itulah, masih terus berjuang. Dan akan terus berjuang.

                                                                                         ***

        Pada Tuhan-lah mereka bermunajat. Berusaha dan berdoa. Tiada tempat mengadu selain pada Tuhan. Dan hanya Dia-lah satu-satunya makhluk yang dapat mempertemukan dan memisahkan.

                                                                                         ***
   
        Senja saat itu terasa begitu berbeda. Di depan menara Eiffle Maryam berdiri di samping Arya.

        "Untuk sebuah penantian bertahun-tahun kita. Terima kasih telah membawaku kesini. Ke tempat yang paling aku impikan, kapten". Maryam menatap menara di depannya dengan mata berbinar. Seolah tak ingin semuanya berlalu. Akhirnya, mereka bersama kembali.

        "Untuk sebuah komitmen yang masih kamu pegang teguh. Dan terima kasih untuk semua kepercayaan itu. Terima kasih untuk perjuanganmu. Terima kasih banyak, dokter cantik". Arya menatap Maryam penuh keteduhan.

        "Kita sama-sama berjuang, kan?", tandas Maryam.

        "Tentu sayang. Cheers!"
   
        Mereka beradu pandang. Masih dengan cinta yang sama.

Read More

Minggu, 17 Maret 2013

Yang Merindu

    Aku melirik ponselku beberapa kali. Masih menunggu dan berharap bahwa dia akan benar-benar menghubungiku duluan. Berkali-kali logikaku mengingat sebuah petikan kata “Jika dia ingin bicara denganmu, maka Ia akan menghubungimu. Tak akan sulit baginya untuk mengambil ponsel dan menghubungimu”. Dan kata-kata itu berhasil menjadi jargonku.
   
    Sudah berjam-jam menunggu. Aku lelah. Hampir gila menentang hatiku sendiri. Aku mengambil ponselku dan mengetik sebuah pesan. Tapi lagi dan lagi aku mengingat jargon itu. Aku menghapus pesan yang hampir kukirim itu.
   
    Terkadang memang hati dan logika tidak sejalan dalam beberapa hal. Ketika hati melumpuhkan logika, seolah harga diri terjualkan begitu saja. Ketika logika melumpuhkan hati, hanya sesak yang menyiksa tak terbendung yang kita rasakan.
   
    Hari ini hampir beralih, hanya kurang semenit saja. Aku memilih melumpuhkan logikaku. Pesan kukirim.


        To: Fahmi
        Udah tidur?
   

    Belum semenit, sudah mendapatkan balasan.


        From: Fahmi
        Akhirnya kamu sms juga
   

    DEG!! Aku terlonjak dan nyaris berteriak. Dia nunggu aku sms dia? Ya Allah!!, pekikku dengan wajah merona dengan senyum manis yang mengambang. Pengorbananku tidak sia-sia. Yah, memang tak ada yang sia-sia di dunia ini.


        To : Fahmi
        Km ga mau sms dluan?

        From: Fahmi
        Emang harus cowok terus yang sms dluan?
        Apa harus selalu gitu? Gak seru dong.
   

    Aku mulai berfikir, kalau aku sms terlebih dahulu aku merasa dia tidak peduli padaku. Tapi baginya, tidak ada peraturan yang mengharuskan bahwa harus selalu pria yang mulai mengirim pesan ketika mereka terpikir akan kita, kalaupun seperti itu dia ingin aku mengirim pesan terlebih dulu dan menghancurkan peraturan yang ada.
   
    Namun yang terlintas dipikiranku adalah pria merupakan hakim. Mengapa? Karena pria yang mengambil tindakan dan memutuskan sesuatu. Pada pria lah semua tindak tanduk berasal.
   
    Tapi ketika rindu menyapa, tak bisakah kita memasrahkan hati untuk melebur jadi satu? Meskipun sesaat, tapi pasti akan melegakan. Mungkin agak sulit. Oleh karenanya, cairkanlah ego, ikuti kata hati tanpa melupakan logika sedikitpun dalam bertindak, dan lakukan. Semuanya akan menjadi lebih tenang. Tak ada yang tersakiti.
Read More

Rabu, 13 Maret 2013

Spesial: Langit Jingga

Kepada biru yang selalu merona di langit..
Kepada Surya yang menjelang ke peraduan..
Jingga ingin mewarnai langit,
Bersama hingga sore menghilang.








                  Entah mengapa akhir-akhir ini saya begitu tertarik dengan langit jingga. Ah, langit sore mungkin awamnya. Tapi saya lebih senang menyebutnya langit jingga:)

                  Mereka memiliki ketertarikan tersendiri di mata saya. Dan saya selalu berhasil membuat puisi sambil memandang mereka. Atau saya biasanya hanya diam dan mendengarkan musik sambil menunggu rona jingga di langit benar-benar menghilang.

                  Saya menyempatkan mengabil foto mereka beberapa dari sisi yang saya sukai. Walaupun masih amatiran sih hehhe.

                  Saya benar-benar menyukai Langit Jingga.
Read More

Minggu, 10 Maret 2013

Minggu Kelabu (?)


    Ketika hujan membasahi hati yang kering
    Menelusup perlahan dan menyiksa
    Tak diharapkan, tapi dinikmati
    Sesak, tapi begitu manis jika dilewatkan

        Kau sedikit mirip dengan hari ini
        Memeluk tanpa menyisakan cahaya
        Menaungi dengan keterikatan
        Apa karena kita melihat hujan yang sama?

    Deru hujan kian mengejar
    Membawaku menyesap kerinduan akanmu
    Tetes demi tetes menyusuri raga
    Merdu, sendu, melirih

        Dan ketika hujan perlahan berhenti
        Aku melihat cahayaku di persimpangan
        Seulas senyum terbingkai rapuh
        Begitu terang dan menghangatkan

    Masihkah ini minggu kelabu?
Read More

Selasa, 05 Maret 2013

Jingga Langit Tenggara

Jingga langit Tenggara
Setelah lama tertutup awan
Engkau muncul kembali
Setelah langit selalu biru

Menghadirkan senyum
Merangkai kata
Menghadirkan kembali "mungkinkah"
Membentuk sebuah impian baru

Jingga langit Tenggara
Setelah lama tertutup awan
Engkau muncul kembali
Setelah langit selalu biru

Kini, impian itu merekah
Menghangatkan jiwa
Mungkinkah, mungkinkah, mungkinkah
Menghadirkan tanya baru

Bolehkah langit mengharapkan jingga?
Seperti siang mengharapkan sore?
Selalu dan selalu?
Atau hanya bertemu di horizon sana?
Karena terhalang oleh biru yang selalu bersama langit dalam dunia dongeng?

Jingga langit Tenggara
Setelah lama tertutup awan
Engkau muncul kembali
Setelah langit selalu biru
Dan menghadirkan tanya baru
AKANKAH...


--AMALIA NENA--
3 Maret 2013
11.49 A.M.
Read More

Jumat, 01 Maret 2013

At 3 A.M.

    Aku duduk diam di dalam kamarku. Mataku masih terbuka lebar, tak bisa tidur. Ketika larut seperti ini aku selalu terbawa hawa galau. Begitu mencekam dan menyesakkan. Menyudutkanku hingga ke jurang terdalam. Aku sendirian. Meratapi diriku sendiri.
   
    Diam bukan berarti tidak memikirkan sesuatu, tapi malah sebaliknya. Diamku merupakan wujud dari pemikiran-pemikiran tentang suatu ketakutan dan lebih banyak pada penyesalan terutama masa lalu. Walaupun terkadang, diam juga berarti menhayal atau lebih tepatnya berharap akan masa depan. Pertanyaan muncul satu persatu di kepalaku. Menanyakan sesuatu yang memang harus terjawab. Tentang segala sesuatunya.
   
    Kadang aku bertanya-tanya, mengapa aku begitu sedih. Semua perasaan menyerobot dan bergegas masuk ke kepalaku membuatku ingin melarikan diri dari dunia ini.
   
    Kenangan yang seolah berputar dari awal hidupku. Menerjangku dengan kesalahan-kesalahan termanis yang pernah kubuat hingga kebahagiaan kecil yang pernah terbawa. Pikiran-pikiran gilaku akan hidup yang tak bias kujangkau keberadaannya. Dan perasaan. Perasaan yang aku pendam, atau yang sengaja kupendam, yang benar-benar ingin kuungkapkan walau dengan isyarat yang tak tersampaikan. Semuanya benar-benar menghantuiku.
   
    Pada pukul 3 dini hari. Aku tidak tidur. Aku membiarkan airmataku mengalir dan membuat bekas pulau kecil di bantalku.

Read More

Kamis, 28 Februari 2013

Topeng [END]

Cerita Sebelumnya: Topeng [III]

    Suatu kebahagiaan aku bisa mengenalnya. Saling mengetahui bahwa kami saling mencintai.

                                                                                       ***

    “Persetan dengan siapa dan dimana aku menghabiskan waktuku semalam!”. Wajah merah legam dengan mata melotot penuh peluh itu hanya berjarak dua senti dari wajahku. Deri sudah seperti halnya lucifer yang mencari mangsa. Aku hanya bisa mengeluarkan air mata dan mendorong Deri menjauh dengan sisa tenaga yang kukumpulkan mati-matian. Deri mengerang. Aku berjalan menjauh. Derapan langkah berlari terdengar memecah ombak di pesisir pantai. Aku merasakan lenganku digenggam erat dan diputar menghadapnya.

    “Sakit”, desisku sambil berusaha melepaskan diri. Kurasakan kuku tajamnya menembus kulitku. Airmataku jatuh perlahan.

    “Sakit?”, ucapnya sambil mendekat kepadaku. Mengangkat tanganku yang digenggamnya tadi dan menyentuh bekas kuku yang tergambar. Wajahnya seketikaberubah menjadi semula. Dia memelukku. “Maafkan aku”, ucapnya di telingaku.

    “Antar aku pulang”. Aku masih malas berbicara dengannya setelah apa yang terjadi.

                                                                                       ***

    To: MyDeri
    Yang dimana?
    Delivered

    Pesanku tidak dibalas dan teleponku pun tidak dijawab olehnya. Entah kemana lagi dia.

    Pikiranku melayang-layang pada ucapan Putri, “Kata Roy, Deri semalam ga pulangkarna dia ke tempat PSK”. Apa dia kesana lagi? Pertanyaanku menggantung di tenggorokan.

                                                                                       ***

    Berbulan-bulan menjalani kebersamaan, aku pikir kita saling mengenal. Ternyata tidak. Semua dugaanku dulu ternyata salah. Mendapatkan fakta bahwa dia kasar, suka pulang larut dan bermain dengan PSK membuatku tidak tinggal diam. Aku bergerak mencari bukti.

    Aku mencari tahu bersama Roy. Kami pergi ke tempat PSK itu pada siang hari. Belum sampai ke dalam rumahnya Si PSK itu malah sudah hampit berbuat yang tidak-tidak dengan Roy. Aku dan Roy sudah tahu apa jawabannya. Dan kami pulang.

                                                                                       ***

    “Kita putus. Aku tahu kamu siapa. Dan aku tidak bias terus jalan sama kamu”, ucapku dari ujung telepon. Aku mendengar hembusan napas gusar disana.

    “Itu hak kamu. Aku minta maaf”. Bayangkan saja dengan mudahnya Ia mengucapkan kata maaf. Mungkin dia pikir aku ini seperti wanita PSK yang biasa dimintai maaf dan kembali lagi.

    Sungguh aku tak ingin berhubungan dengan orang seperti dia lagi. Harga diriku sudah diinjak-injak. Rasa benci terhadap kelakuannya dan muak akan tampangnya membuatku harus benar-benar membakar tuntas seluruh kenangan.

    Dia adalah orang dengan peran terbaik di depan ternyata setelah topengnya terbuka, dia tidak jauh berbeda deng para PSK itu. Sungguh sekarang aku yang telah mengoyak topengnya. Dan dia tidak akan bisa menggunakan topeng yang sudah rusak tersebut.

                                                                                       ***

    Aku sedang berada di rumah Putri, duduk berayun diatas ayunan besi di taman depan rumahnya. Sudah sebulan sejak kasus putusku dengan Deri. Aku merasa biasa saja. Mungkin hampa. Ponselku berbunyi pesan masuk. Sebuah nomor yang kukenal meski tanpa nama terpampang dilayar ponselku.

    From: 089976899xxx
    Aku kasih kamu kesempatan kedua, Priska Natasya.

   
    Darahku naik setelah membaca pesan itu. Apa maksudnya kesempatan kedua? Kapan aku meminta kesempatan kedua? Oh Tuhan.. berfikir saja aku tak mau. Betapa kepedeannya makhluk ini.

                                                                                     TAMAT
Read More

Selasa, 26 Februari 2013

Perjalanan Mencapai Sebuah Hasil

                    Kehidupan adalah sebuah perjalanan yang tiada henti. Menanam dan menuai. Berjalan untuk berusaha menyeimbangkan. Jatuh dan bangkit. Penuh perjuangan. Seperti halnya hari ini. Saya baru saja melakukan perjalanan terjauh dan penuh perjuangan demi sebuah pencapaian "nilai" pada akhirnya.

                    Mengejar nilai di zaman sekarang sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan siswa siswi, bahkan mahasiswa. Hal ini dikarenakan terkadang, nilai menjadi keharusan dalam menyelesaikan sesuatu. Contohnya saja untuk kelulusan mata pelajaran. Saya juga sedang melakukannya.

                    Proses "mengejar" nilai tersebut juga tidak mudah. Perlu perjuangan tentunya.

                    Nah, seminggu yang lalu guru biologi pertanian memberikan tugas untuk menanam tumbuhan di polibag dengan tumbuhan yang sudah ditetapkan. Ada yang mendapatkan tugas untuk menanam strawberry, ada yang terong, cabai merah dan tomat. Kelompokku mendapatkan tugas menanam tumbuhan tomat.

                    Setelah dijelaskan bagaimana proses menanamnya, kami mulai berusaha menyelesaikan setiap tahapan. Tahapan yang pertama yaitu menyiapkan bibit, polibag, tanah dan pupuk kandang. Untuk bibitnya, dalam satu deret kami patungan untuk membelinya. Harganya Rp. 20.000. Dan yang pergi membelinya adalah Ical. Polibag besar sebanyak 3 lembar dengan harga Rp. 1.000 per lembarnya.

                     Selanjutnya, kami pergi mencari tanah. Tempatnya di Wakonti-- sekitar 7 kilometer dari pusat kota Baubau-- yaitu di rumah teman kami, Muniar. Kami pergi berlima selepas olahraga. Saya, Ulfa, Muniar, Rustam dan Aslam. Perjalanannya sangat jauh mungkin sekitar 20 menit.

                    Setelah sampai disana, Rustam dan Aslam bergantian untuk mencangkul tanah dengan linggis dan skop. Setelah berpeluh-peluh untuk mencangkul dan memenuhi dua kantong besar, kami berhenti dan pulang. Sebenarnya belum pulang, karena kami akan pergi mengambil pupuk.

                    Untuk pupuk kandang, kami sedikit menghemat-- sebenarnya memang sangat menghemat. Kami mengambil kotoran sapi di lapangan lembah hijau di samping sekolah kami. Aslam harus pulang karena tantenya sudah menunggu. Kami tinggal bertiga. Dengan menahan malu kami mencari kotoran sapi yang sudah mengering, mengoreknya dan memasukkannya dalam kantong plastik. Yang berperan dalam proses ini adalah Rustam sebagai "pengorek" dan saya yang memegang kantong plastiknya. Bau kotoran sapi yang sangat menyengat membuat salah satu teman saya Ulfa lari karena tidak tahan dengan baunya. Bukan hanya itu, saat kami masih mencari, ada segerombolan pemuda yang sedang bermain bola meledek kami dengan berkata "Dek, disini juga masih banyak kotoran sapi buat kalian". Kami hanya tertawa kecil sambil menahan malu. Setelah itu saya harus pulang naik ojek karena Aslam sudah pulang.

                    Perjuangan belum terhenti sampai disana. Setibanya di rumah saya, kami harus melakukan beberapa tahapan lagi. Yang pertama, mengayak tanah. Saya, Ulfa dan Rustam bergantian untuk mengayak tanah, seperti halnya mengayak pasir. Pada proses ini kami lebih banyak tertawa sehingga tak ayal kami
melepaskan ayakan yang berat berisi tanah itu. Berat sekali sehingga membuat tangan saya iritasi karena pengayaknya yang mirip jala. Memang disini kami lebih mirip kuli bangunan sebenarnya.

                    Setelah itu kami harus mengayak kotoran sapi yang kering agar menjadi halus. Ayakan kami agak sedikit ringan dibandingkan saat mengayak tanah tadi. Setelah itu kami mulai bermain-main dengan tanah untuk mencampurnya dengan kotoran sapi yang sudah halus tersebut. Setelah sudah rata, kami memasukkannya ke dalam polibag. Harus didiamkan selama satu hari agar keasamannya berkurang, begitu kata guru kami.

                    Kami bertiga menyelesaikan semuanya hingga magrib menyapa. Sebenarnya belum selesai, karena masih ada proses penyemaian bibit lagi. Tapi besok saja, kami sudah sangat lelah dengan perjalanan dan perjuangan hari ini.

                    Untuk mencapai sesuatu, memang diperlukan kesabaran dan perjuangan keras agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Read More

Rabu, 13 Februari 2013

My Sweet 17th

               Hari ini, tanggal 13 Februari 2013, tepat 17 tahun saya hidup. Yang artinya juga, jatah hidup saya di dunia semakin berkurang. Ya, kan umurnya semakin bertambah. Dan saya sangat bersyukur masih diberi kesempatan hidup oleh Allah SWT sampai sekarang.

               Hari ini sangat spesial. Sejak semalam banyak ucapan "selamat ulang tahun" serta doa-doa mereka untuk saya. Mereka membuat saya merasa berharga.

               Tadi padi saat di sekolah, guru biologi, bu Aida Erlita mengucapkan selamat ulang tahun, awalnya katanya beliau mau mengerjai saya, tapi tidak jadi karena beliau ada urusan mendadak. Lalu pelajaran matematika, guru saya, bu Eli Sumarni, memberikan saya "1 wish". Awalnya saya meminta wish untuk kami sekelas yaitu "tunda ulangan matematika", karena sebagian besar belum paham materinya. Tetepi beberapa menit kemudian, mereka berkata bahwa "ulangannya hari ini saja, kalau hari jum'at nanti bersamaan dengan ulangan biologi, nanti pikiran terbagi". Nah, kemudian bu guru bertanya apakah saya ingin meralat "! wish" saya itu, dan saya bilang YA. Dan wish saya yang terkabul adalah "Ulangan Matematika".

               Pagi berlalu. Saat sore hari ke sekolah untuk mempersiapkan acara Pra Olimpiade esok hari belum terjadi apa-apa. Dan selepas maghrib inilah puncaknya. Lepas shalat maghrib saya mulai mendekorasi panggung untuk acara pembukaan, tetapi saya membutuhkan perekat, akhirnya saya pergi membelinya. Setelah tiba lagi di sekolah dan mencari bu Asni--pembina dekorasi, saya malah dimarahi habis-habisan oleh bu Sam--pembina OSIS. Awalnya saya masih bisa membela diri atas tuduhan saya pergi terlalu lama, tetapi lama kelamaan bu Sam belum berhenti memarahi saya hingga mengeluarkan kata-kata yang agak menggores hati saya. Air mata pun menetes. Saya menangis sesegukan untuk waktu yang lama, hingga ketika saya tertunduk semua orang telah mengelilingi saya dan Wilda--sahabat saya, memegang sebuah kue ulang tahun dengan penerangan lilin di atasnya. Mereka semua--teman OSIS, teman sekelas Unggulan, dan RSBI, tersenyum menatapku yang masih membekap mulut. Bukannya berhenti menangis, malah rasa haru mulai menusuk relung hati saya, tangisan saya semakin menjadi. Mereka semua mengucapkan "Happy Sweet Seventeen EBY!" yang lain meneriakkan "make a wish", "Potong kuenya" "tiup lilin" dan sebagainya. Saya pun menutup mata saya, sejenak bermunajat kepada Allah atas apa yang saya inginkan. Dan saya meniup lilinnya. Selanjutnya kami makan kuenya, rainbow cake hehhe.

               Oh iya, ini adalah surprise pertama yang pernah saya dapatkan:)







               Eh, iya satu lagi. Saya dapat hadiah dari adik saya Ichal yang sudah susah payah membuat logo di bawah ini yang saya minta sebagai hadiah ulang tahun saya (saya sudah pakai). Dia juga membuatkan postingan tentang hari ulang tahun saya. Ini linknya. Terima kasih Ichal, besok bawakan klepon hehehew :p

Ucapan terima kasih:
Yang pertama tentunya saya sangat berterima kasih kepada Allah SWT. yang telah menghidupkan saya dan memberikan segala sesuatunya. Tanpa-Nya saya bukan apa-apa.
Yang kedua buat kedua orang tua saya, mereka semangat hidup saya.
Saudara saya, kakak Ryan, adik Alif dan adik Dhita, mereka yang selalu dekat. Adik Alif juga ulang tahun yang ke-6 hari ini. Usia kami terpaut jauh, 11 tahun.
Dan teman-teman saya, yang mengucakan selamat ulang tahun. Dan teman-teman yang sempat-sempatnya memberikan surprise di tengah kesibukan mengurus Pra Olimpiade yang akan diadakan besok.
Mereka semuanya adalah sesuatu yang sangat spesial yang diberikan Allah kepada saya.
I love them so much!
Jujur saya sangat berterima kasih kepada siapapun yang mungkin pernah mengingat nama saya dan tanggal ulang tahun saya. Terbersit sedikit saja, saya sudah bersyukur. Karena itu berarti mereka mengingat saya.

"There are always the unforgettable moments in my life. And this is one of them. Cause every little things are special"
Read More

Sabtu, 09 Februari 2013

Topeng [III]

Cerita sebelumnya: Topeng [II]

    Aku memangku daguku sambil menunggu coklat panas yang aku pesan. Hamparan laut lepas terpapar bebas sejauh mata memandang. Angin laut berhembus agak kencang membuat mataku sedikit menyipit agar dapat melihat. Aroma coklat samar-samar menggelitik hidungku. Aku tersenyum membayangkan rasanya yang manis menggerogoti tenggorokanku.
   
    Tepukan di bahu kiriku membuatku menengok ke arah si pemilik tangan. Deri.
   
    “Hai Pris”, sapanya kepadaku. Ia memasang senyum termanisnya. “Sendirian aja? Aku duduk sini ya?”. Tanpa aku persilahkan dia langsung menarik kursi di hadapanku. Aku hanya bisa diam menatap kelakuannya.
   
    “Apa kabar kamu?”. Aku tahu dia sedang berusaha membuka percakapan agar aku tidak terus diam. “Baik”, jawabku sejujur mungkin. Kediaman mulai menyelimuti kami.
   
    “Kemana aja? Baru muncul nih. Ada apa?” pertanyaan ini murni apa adanya. Sejak tadi memang aku ingin menanyakan ini.
   
    “Aku bawa hati”. Dia berucap ringan sekali. Bahkan matanya masih menyorotkan ketenangan. Seseorang yang dulu pergi dan kini kembali dengan membawa sebuah hati. Hatinya? Aku hanya menatapnya penuh kebingungan.
   
    “Aku mau minta hati kamu sebagai pelengkap hatiku ini”, sambungnya. “Would you?”, dia kini menggamit tangan kananku. Digenggamnya erat-erat. Alisku naik sebelah. Jatungku berdebar tak keruan.
   
    “Kamu mau jadi pacarku?”, katanya lagi. Mungkin karena masih melihat ekspresi bingung di wajahku. “Please…” Dan sekarang dia memohon. Aku menatapnya sekali lagi. Menatap jauh ke dalam matanya. Mencari sebuah makna. Apakah benar itu disana? Ketulusan. Dan aku melihatnya. Begitu teduh, dan terlihat pantas untuk dinaungi. “Yes I would”, jawabku  akhirnya.
                                                                      ***   
    Aku duduk di samping Deri. Memainkan ujung kakiku untuk menghilangkan kegugupan. Citra—adik Deri menatapku penuh antusias. Aku hanya tersenyum kaku.
   
    Seorang wanita paruh baya kini duduk di hadapanku dan Deri.
   
    “Dia pacar kamu Der?”. Wanita itu menatapku lurus-lurus. “Dia manis ya. Kamu ga salah pilih”. Wanita itu tersenyum.
   
    “Iya dong, Ma. Deri!!”, ucap Deri antusias. Aku hanya tersenyum. Citra dan Mamanya tergelak.
   
    “Sekolah dimana?”
   
    “Sama kayak Citra kok, Ma. Dia adik kelas aku”, Citra menyambar untuk menjawab.
   
    Mama Deri banyak bertanya padaku. Mungkin sekadar melakukan pendekatan denganku sebagai pacar Deri, anaknya. Deri bilang Mamanya senang denganku.
   
    Setelah ngobrol cukup panjang akupun pamit pulang.

                                                                      bersambung
Read More

Jumat, 08 Februari 2013

Topeng [II]

Cerita sebelumnya: Topeng

    “Permisi, Putri ada?”, tanya pria berkulit sawo matang dengan suara bassnya. Aku menengok. Ada tamu ternyata. Aku segera berjalan mendekat. Menatap orang yang berdiri diambang pintu itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mengingat kata terakhirnya aku jadi ingat dia mencari siapa.

    “Tunggu sebentar”. Aku masuk ke dalam tanpa mempersilahkan orang itu masuk ke rumah.

    “Put, ada yang nyari di luar”, ucapku setelah tiba di kamar Putri.

    “Siapa?”. Putri menghentikan kegiatannya menyisir rambut.

    “Tau”, ucapku tak acuh. Segera kulanjutkan bermain organ di kamar. Putri mendengus menatapku. Ia lalu merapikan sedikit bajunya dan berjalan keluar.

    Jemariku menggelayut mesra di atas tuts organ. Memainkan lagu Geisha-Cobalah Mengerti. Aku mencoba menggelamkan masalahku dengan Rayan lewat musik.

                                                                                            ***

    Hubunganku dengan Rayan baru saja berakhir. Aku mencoba terbiasa tanpanya.

                                                                                            ***

    “Temenku yang kemaren dateng itu minta nomor kamu. Aku kasih?”, ucap Putri sambil menutup pintu kamarku. Kali ini dia yang menginap di rumahku. Rencananya kami akan mengadakan movie night.

    “Yaudah”, ucapku masih sibuk mencari kaset yang bagus.

    “Eh iya, emang kamu udah putus sama Rayan?”

    “Udah”

    “Si Deri itu temennya Rayan juga lho, Pris”, sambung Putri. Aku terdiam. Tanpa ekspresi. Masih bermain-main bersama bayangan masa lalu. Rayan. Deri. Keduanya bergantian muncul di kepalaku.

    “Pris?” ucapan Putri kali ini membuyarkan lamunanku. Aku kembali mencari kaset.

    “The Unborn. Awalnya bagus. Cukup mengerikan. Aku belum nonton sampe habis”, ucapku sambil mengacungkan sebuah kaset bergambar wajah seorang wanita cantik dan anak kecil dibelakangnya.

    “Horor? Putar aja”. Putri sibuk dengan ponselnya, aku berbarung di sampingnya. Tak berapa lama, sebuah pesan masuk ke ponselku.

    From: 089976899xxx
    Malam Priska. Lagi movie night ya? Aku ganggu ga?

    Dahiku berkerut membaca pesan itu. Aku segera melirik Putri yang segera tersenyum padaku. Aku tahu ini ulahnya.

    “Balas gih”

    To: 089976899xxx
    Ini Deri?

    Delivered

    From: 089976899xxx
    Iya. Eh Pris aku ganggu ga?

    Kami terus berkirim pesan hingga aku tidak memperhatikan film yang sedang terputar di kamarku. Putri sudah tidur sejak sejam yang lalu. Aku pun tertidur pulas setelah Deri mengucapkan selamat tidur.

                                                                                            ***

    Putri bilang, Deri anak baik-baik. Rajin sholat, rajin belajar, tidak pernah keluar malam atau berfoya-foya. Dia juga orang yang jujur dan terbuka. Memang nampaknya seperti itu.

    Tapi, kedekatanku dengan Deri berakhir dengan lost contact. Kami tidak pernah berhubungan lagi selama beberapa tahun.
                                                                      bersambung ke Topeng [III]
Read More

Rabu, 06 Februari 2013

Topeng

    Suasana teriakan bocah dan keadaan ramai membuatku sudah terbiasa jika ada acara kumpul keluarga—dalam rangka merayakan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW—seperti sekarang ini. Maklum saja hampir separuh sepupuku itu masih generasi balita. Hanya aku, Putri, dan adiknya Dika yang sudah beranjak dewasa.
   
    Aku baru saja minta diantarkan Putri untuk mengganti pakaianku di kamarnya. Dan setelah aku selesai, Putri sudah menghilang entah kemana.
   
    Aku mencarinya kemana-mana dan setelah beberapa lama berkeliling di rumah yang seluas istana ini, aku mendapat pencerahan karena melihat Tante Rum—Ibu Putri.
   
    “Tante, Putri mana?”, tanyaku dengan napas tak teratur.
   
    “Itu ada di teras depan”
   
    Setelah mendapatkan jawaban Tante Rum, aku langsung menuju teras depan.
   
    “Put…” Aku sudah melangkah ke teras tapi sontak mundur kembali dan terpaku di balik jendela. Aku masih shock dengan apa saja yang barusan kulihat. Untuk apa dia kesini?
   
    “Priska” Suara Putri menghentikan kerja otakku sebelum berputar lebih jauh. Aku langsung keluar dan duduk di samping putri tanpa menatap makhluk di hadapan kami. Akupun memilih diam memainkan ponsel dan membiarkan mereka berdua saja yang bercengkrama.
   
    Aku memang terkejut dengan kehadirannya lagi. Tapi tak terjadi apa-apa denganku. Aku baik-baik saja. Hatiku bahkan tidak merasakan apapun. Mungkin lebih tepatnya kosong. Aku tidak menganggapnya siapa-siapaku lagi. Bukan teman, mantan, apalagi pacar. Ya, biasa saja.
   
    “Pris, aku pulang dulu”, terdengar suara bass yang sudah akrab di telingaku.
   
    Aku mendongak melihat wajah yang tidak begitu jelas terlihat karena menutup cahaya lampu. Tapi aku tetap menghafal siluetnya. Dia tersenyum canggung padaku. Aku hanya mengangguk tanpa sepatah katapun.

                                                                                           ***

    Tanpa kuminta, bayangan Deri mulai menari-nari di kepalaku. Semakin lama, semakin jelas dan semakin menggangguku tentunya. Mulai dari saat pertama kami bertemu di rumah ini—rumah Putri. Waktu itu aku sedang menginap di rumah Putri.



                                                               bersambung ke Topeng [II]
Read More

Jumat, 01 Februari 2013

Pelabuhan Hati

        “Mungkin, waktunya sekarang buat pisah”. Aku meneguk ludahku keras-keras. Aku memberanikan diri mengatakan hal yang tak pernah ingin kukatakan.
 
        Dia menatapku lemah dengan mata nanar. Aku memalingkan wajahku untuk menghindari rasa bersalah yang semakin menusuk ke hati. Tak sepersekian detik, kudengar tarikan nafas yang tertahan. Dan kudapati dia menangis hingga bahunya terguncang hebat. Aku beku.

        Sungguh tiada maksud hati menghancurkanmu, karena jika aku melakukannya berarti aku juga sudah menghancurkan diriku sendiri, ucapku dalam hati.

        “Kalau misalnya nanti setelah pendidikan kamu dijodohin sama orang tua kamu, aku ikhlas kok”. Suaranya bergetar hebat dan air matanya terus saja mengalir.

        “Kamu ngaco deh”, kataku menepis semua pikiran buruknya. Dia hanya menatapku dengan mata sembabnya yang terus dialiri air mata. Aku benar-benar tak kuat melihatnya menangis seperti ini.

        Keheningan menyelimuti kami berdua untuk waktu yang terasa sangat lama. Kuperhatikan setiap gerak-geriknya. Mulai menghapus air matanya dan menarik napas dalam-dalam.

        “Semoga sukses dan jaga dirimu baik-baik. Aku mencintaimu”. Dia beranjak dari duduknya. Tersenyum padaku. Senyum yang terakhir kalinya mungkin. Mulai berjalan pergi. Aku hanya dapat membuang napasku gusar.

        Aku termangu menatap punggung yang berjalan semakin menjauh. Jilbabnya berkelebat dikibas angin. Dan punggung itu kini benar-benar menghilang. Air mata masih menggenang di pelupuk mataku. Aku yang enggan menangis. Ini sebuah pilihan. Dan aku tahu betul apa konsekuensinya. Aku yakin dia tahu betul apa maksudku meminta berpisah darinya.
   
        Hubungan jarak jauh, atau yang gaulnya itu katanya LDR (Long Distance Relationship). Medan-Makassar bukan jarak yang dekat. Dan empat tahun bukan waktu yang cepat. Sangat tak mudah bagiku untuk berhubungan dengannya nanti karena aku akan melanjutkan pendidikan di PIP (Politeknik Ilmu Pelayaran) Makassar. Buat bawa ponsel saja tak boleh, dan lagi waktu keluar hanya saat pesiar Jum'at-Minggu. Tantangannya juga sangat banyak dan pasti tidak mudah. Mulai dari rasa ragu, penasaran, rindu, hingga rasa tidak percaya pun ada. Jujur, sebenarnya aku yang tidak mampu menjalaninya. Karena rindu pastinya. Aku juga tidak tahan dengan rasa ragunya yang sangat besar padaku.
   
        Merasakan hari ini yang terakhir untuk bertemu dengannya membuatku semakin hancur.
Read More

Kamis, 31 Januari 2013

It Has Been You [END]

Cerita Sebelumnya: It Has Been You

    Terlalu takut untuk memulai. Begitulah aku.  Seharusnya aku yang mulai mendekatinya. Tanpa bantuan siapa pun. Seharusnya aku yang terlebih dulu berusaha mendekatinya. Aku ini kan seorang pria, tapi nyatanya aku memang pecundang.
   
    Suatu malam Gita menghubungiku. Menariknya lagi, dia terus menerus memulai sebuah topik. Aku jelas tidak terlalu banyak merespon. Tapi, aku sangat bahagia karenanya. Ternyata dia sangat perhatian.
   
    Hingga saatnya pada waktu itu sepulang sekolah aku mendapatkan sebuah pesan dari Gita. Dia menembakku. Dia bertanya maukah aku jadi pacarnya. Hal ini membuatku terkesan, apakah dia yang terlalu agresif atau aku yang terlalu banyak diam dan tidak berbuat apa-apa untuk memilikinya? Sepertinya Gita sudah tertarik padaku dan tidak tahan dengan sikapku yang tak acuh padanya.
   
    Kami berdua jadian. Awalnya Gita manis sekali dan sangat perhatian padaku. Kami sering saling menelpon dan bertemu, tetapi tidak bertatapan langsung, kami hanya saling memandang dalam diam lewat kejauhan. Sekadar melepas rindu yang bersarang di hati kami. Kami memiliki banyak kesamaan. Sama-sama menyukai bahasa Inggris, film action dan adventure, menyukai musik, dan masih banyak lagi.Tetapi lama kelamaan dia mulai banyak membuat aturan yang ditujukan padaku, yang tak ayal membuatku geram pada tingkahnya itu.   
   
    Aku kadang malas menanggapi ketika dia memarahiku karena terlalu lama bermain game dan menonton kartun, katanya aku terlalu kenakan. Dia sendiri tak pernah mau diatur. Aku juga tidak ingin dia merasa terikat. Aku tahu dia juga memiliki dunianya sendiri. Aku sangat mengerti dia. Dan aku sangat mencintainya.

    Segala yang dia butuhkan aku penuhi, tanpa peduli bahwa aku juga sebenarnya membutuhkan itu. Aku tak pernah meminta banyak padanya, dan memperhitungkan segala sesuatu yang telah kuberikan padanya. Aku ikhlas. Semuanya adalah bentuk pengorbananku.

    Hubungan kami berjalan hanya sebulan lebih karena dia memutuskan semuanya. Alasan yang dia berikan cukup kuterima. Ingin konsen belajar katanya. Tapi aku sangat tidak bisa terima dengan kejujuran yang diungkapnya hari itu juga. Dia tidak pernah serius padaku. Dia hanya ingin memanfaatkan harta dan kebaikanku dengan terus menerus meminta pulsa.

    Aku tak tahu harus berbuat apa waktu itu. Aku hanya menitihkan air mata tanpa suara. Betapa aku tidak pernah memperhitungkan apapun padanya. Aku hanya ingin dia mencintaiku dan merasakan seberapa besar cintaku. Itu saja. Tidak pernah lebih. Entah mengapa air mataku ini tidak mau berhenti. Bukan aku menyimpan benci padanya, bukan. Aku tidak akan bisa benci padanya. Aku hanya merasa sangat kecewa. Tapi aku bisa apa? Semuanya sudah terjadi. Tak ada penyesalan di hatiku.

    Terakhir kali aku melihatnya, ketika esoknya aku akan pindah ke Surabaya. Aku hanya menatap setiap geraknya. Setiap senyum yang disunggingkannya, untuk pria yang berjalan di sampingnya. Entah apa yang kurasakan kini. Bukan benci, mungkin seperti rasa cemburu. Sesak sekali. Aku hanya bisa tersenyum masam melihatnya. Begitu cepat dia melupakanku. Atau mungkin, memang dia tidak pernah mengingatku? Entahlah.

    Hingga sekarang. Saat ini. Detik ini. Aku masih dengan perasaan yang sama. Rasa cinta yang tidak pernah berubah. Mungkin telah beku oleh formalin. Atau memang hanya miliknya seorang. Andaikan saja dia tahu bahwa aku masih mencintainya dan hanya untuk dialah hatiku ini kujaga.
   
    Aku tahu kini dia benar-benar menyesal atas masa lalu. Tapi aku tak pernah menyimpan sebersit benci di hatiku. Aku sangat mencintainya, sampai saat ini. Mungkin aku pecundang, karena aku sangat takut disakiti untuk yang kedua kalinya oleh Gita.
   
    Aku hanya ingin menunggunya, hingga aku benar-benar pantas menjadikannya pendampingku untuk selamanya.




                                                                                      TAMAT
Read More

It Has Been You

    Aku merenggangkan otot-otot leherku yang sudah terlalu tegang. Berkutat dengan laptop hingga subuh sudah menjadi kebiasaanku karena tuntutan pekerjaan. Pekerjaanku adalah penerjemah. Ya, menjadi penerjemah sangat menyenangkan, apalagi penerjemah film dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Semuanya adalah hobiku. Pekerjaan ini adalah pekerjaan paruh waktu di sela kegiatan belajarku sebagai siswa SMA.
   
    Aku beranjak dari kursi dan berjalan ke balkon kamarku. Pukul 3 pagi. Anginnya menembus hingga ketulang membuatku sedikit bergidik. Aku duduk di kursi dan menikmati semuanya. Kurogoh saku celanaku mencari ponsel. Entah mengapa ada keinginan untuk sekadar mengaktifkannya.
   
    Aku memandangi layar ponselku yang menampilkan wajah seorang gadis berponi pagar sedang membaca buku dengan raut wajah serius yang dibuat-buat. Aktingnya saat membaca sangat bagus tapi, adakah orang membaca sambil berfoto? Sudut bibirku tertarik ke samping membayangkannya. Aku menggeleng-geleng sendiri.
   
    Tak berapa lama kemudian ponselku berbunyi, ada sebuah pesan.
   
        From: Gita
        Kulihat kau ragu, adakah yang tlah mengganti aku?

   
    Seulas senyum terbentuk di wajahku. Ini adalah salah satu potongan lirik lagu Pada Satu Cinta milik Glenn Fredly. Dia masih saja peduli padaku. Pada perasaanku padanya. Sesegera mungkin ku balas pesannya.
   
        To: Gita
        Ga ada yang bakalan gantiin kamu di hatiku.
        Status; Delivered to Gita

   
    Aku kembali menatap layar ponselku yang menampilkan wajah Gita. Jariku menyentuh pipinya yang tembem. Kembali membayangkan bahwa pasti dia merasa aku mempermainkannya lagi. Tapi tentu saja tidak.
   
    Ingatanku kembali berputar ke masa lalu. Dimana aku yang menyukai Gita sejak awal pertemuan kami di waterbom. Kami masih SMP pada waktu itu dan kami satu sekolah juga seumuran, cuman dia memang lebih tua beberapa bulan dariku.
   
    Aku tahu betul mengapa bisa jatuh cinta padanya saat itu. Dia terlihat begitu berbeda dari gadis lain. Terlihat begitu polos. Seperti menampakkan dirinya yang sebenarnya. Tawa renyahnya menghiasi gendang telingaku yang sengaja ku pasang rapat-rapat pada waktu itu. Dan aku menyukainya.
   
    Ketika dia mulai lompat ke dalam kolam, aku juga ikut menyelam ke dalam. Kulihat dia menyelam untuk menyentuh dasar kolam. Aku hanya diam di tempatku, menatapnya dengan senyum mengambang. Ketika dia hendak naik ke permukaan mencari oksigen, dia melihatku sekilas dan tersenyum. Kami mencapai permukaan kolam secara bersamaan.
   
    Aku terus memperhatikannya hingga kami berpisah. Aku bersama rombonganku, diapun bersama rombongannya.
   
    Mungkin saat itu dia belum mengenalku, tapi aku sudah mengetahui namanya. Seminggu kemudian aku mendapat kabar yang membuatku semakin gemas.
   
    “Ga, si Gita nitip salam tuh sama lo”, ucap Oki dengan nada semangat. Aku tersenyum seketika. Apakah dia juga menyukaiku? Ini awal yang sangat baik.
   
    “Dia juga mau gue buat kalian jadian”, lanjut Oki yang membuatku setengah terkejut.
   
    “Dia minta lo ngejodohin sama gue gitu?”, tanyaku masih dengan muka terkejut.
   
    “Yoi, mau ga lo? Dia anaknya termasuk tenar lho. Banyak yang naksir sama dia. Dan yang lebih ngewow lagi, si Gita itu mantan pacarnya Ginanjar. Lo tahu Ginanjar kan? Anak pemilik yayasan sekolah kita”, jelas Oki sumringah.
   
    Aku benar-benar terperangah dibuatnya. Mulutku masih menganga. Otakku berpikir keras. Apalagi yang kutunggu? Gita saja sudah memberiku pertanda, jadi semua takkan sulit buatku.
   
    “Gue mau”, ucapku memantapkan hati. Oki tersenyum puas.


                                                        bersambung ke It Has Been You [end]
Read More

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger