Jumat, 29 Maret 2013

Atas Nama Cita-cita

Arya:
        Hembusan angin turut mengantarkanku pada sebuah pencapaian. Langit seolah membuka jalan untuk ku tembus dengan kapal terbang yang akan segera bisa ku kendalikan sendiri. Beradu bersama asa, mencapai sebuah kesuksesan.
   
        Aku meninggalkan kota ini atas nama sebuah cita-cita. Dengan berusaha menitipkan cintaku pada sebuah kepercayaan akan janji kota ini; Setiap pertemuan memiliki jalan kembali meskipun sebelumnya harus berpisah.

        Kemarin aku sudah berucap pada tempat-tempat yang biasa kita datangi berdua. Dimana aku masih bisa merasakan hawa pertama saat menggandeng tanganmu dan duduk di bawah rimbunnya pohon ketapang. Masih ku hafal setiap jengkal yang kita lakukan, setiap kata dengan hembusan nafas yang memburu saking kita sama-sama tertarik dengan topik pembicaraan. Dan mata itu, mata hitam kelam milikmu, yang selalu membawa magis untuk meluluhkanku.

        Aku berjanji bahwa kamu dan keluargakulah orang pertama yang akan kubawa terbang dengan pesawat maskapai tempatku bekerja dengan aku sebagai pilotnya. Kamu akan merasakan kebahagiaanku terselip pada celah awan yang setiap sepersekian detiknya akan kamu rasakan karena kita melewatinya. Seperti itulah nantinya. Kita akan terus bahagia.

        Aku pergi ke seberang untuk berjuang. Tanpa pernah melupakanmu yang setia menunggu disini. Dengan menempuh pendidikan doktermu. Aku tahu semuanya takkan pernah mudah. Kamu tahu betul aku punya komitmen. Aku yang memulai. Dan takkan mengakhiri.

        Ingin sekali rasanya memelukmu bukan untuk yang terakhir kali. Dan tanpa kata “selamat tinggal” saat kamu bisa melepaskan aku tanpa air mata kesedihan. Tapi dengan sebuah senyum kebahagiaan. Aku akan kembali, dokterku…
       
        Percayalah.


Maryam:
        Kota ini adalah satu dari saksi perjalanan tiga tahun kita merajut kasih. Atas kepergianmu hari ini, kamu meninggalkan sebuah komitmen sebagai landasan cinta. Hanya itulah modalku untuk tetap (berusaha) percaya pada cinta yang akan memeluk jarak antara kita. Menelan rindu pada sisa kesabaran pasti akan ku kecap. Terbaring kaku tanpa sapaan yang selalu menghangatkan mungkin akan menjadi kebiasaan. Semua perasaan saat menjalin hubungan jarak jauh sudah di depan mata.
       
        Maafkan aku yang tak turut mengantarkanmu hari ini. Bagiku terlalu sulit untuk melihatmu pergi dengan kata “selamat tinggal”. Aku lebih menyukai perasaan saat aku tahu kita akan bertemu esok pagi di halte bus dekat sekolah kita. Meskipun begitu naïf, aku ingin sekali memelukmu, bukan untuk yang terakhir kali.
   
        Aku tahu kamu begitu mencintai cita-citamu yang satu ini. Aku juga mencintai cita-citaku. Kurang lebih empat tahun kedepan, aku harus melihatmu dalam balutan seragam pilot. Dan aku akan memakai jas putih dengan membawa sebuket bunga untukmu. Disitulah aku akan menjadi dokter bagimu untuk pertama kali, yang akan mengobati semua rindu selama bertahun-tahun. Aku yakin, kita akan bersama selamanya, lewat jalan kesuksesan itu.
   
        Meski semua tak pernah mudah. Aku akan tetap menunggumu seperti dulu.
   
        Atas nama cinta, aku percaya…
                                                                                         ***
   
        Maryam selesai mengirimkan Arya email. Arya pasti akan membacanya besok saat libur mingguannya. Seperti biasa, isi email Maryam malam itu melaporkan kabarnya dan menanyakan kabar kekasihnya itu. Bagi mereka, saling mengetahui kabar satu sama lain sangat penting, dan sudah cukup. Mereka tak pernah mengeluh di email, hanya karena tak ingin salah satunya merasa khawatir dan kemudian mempengaruhi pendidikan mereka. Walaupun sebenarnya rasa khawatir semakin menggeluti mereka karena itu.
   
        Dua tahun lagi semuanya akan kembali seperti sedia kala. Itu keyakinan yang lebih dari seonggok harapan. Ada komitmen yang terus dipegang teguh. Proses menghibur diri sering dilakukan salah satunya. Baik itu Arya yang pulang atau Maryam yang pergi. Seperti itulah, masih terus berjuang. Dan akan terus berjuang.

                                                                                         ***

        Pada Tuhan-lah mereka bermunajat. Berusaha dan berdoa. Tiada tempat mengadu selain pada Tuhan. Dan hanya Dia-lah satu-satunya makhluk yang dapat mempertemukan dan memisahkan.

                                                                                         ***
   
        Senja saat itu terasa begitu berbeda. Di depan menara Eiffle Maryam berdiri di samping Arya.

        "Untuk sebuah penantian bertahun-tahun kita. Terima kasih telah membawaku kesini. Ke tempat yang paling aku impikan, kapten". Maryam menatap menara di depannya dengan mata berbinar. Seolah tak ingin semuanya berlalu. Akhirnya, mereka bersama kembali.

        "Untuk sebuah komitmen yang masih kamu pegang teguh. Dan terima kasih untuk semua kepercayaan itu. Terima kasih untuk perjuanganmu. Terima kasih banyak, dokter cantik". Arya menatap Maryam penuh keteduhan.

        "Kita sama-sama berjuang, kan?", tandas Maryam.

        "Tentu sayang. Cheers!"
   
        Mereka beradu pandang. Masih dengan cinta yang sama.

Read More

Minggu, 17 Maret 2013

Yang Merindu

    Aku melirik ponselku beberapa kali. Masih menunggu dan berharap bahwa dia akan benar-benar menghubungiku duluan. Berkali-kali logikaku mengingat sebuah petikan kata “Jika dia ingin bicara denganmu, maka Ia akan menghubungimu. Tak akan sulit baginya untuk mengambil ponsel dan menghubungimu”. Dan kata-kata itu berhasil menjadi jargonku.
   
    Sudah berjam-jam menunggu. Aku lelah. Hampir gila menentang hatiku sendiri. Aku mengambil ponselku dan mengetik sebuah pesan. Tapi lagi dan lagi aku mengingat jargon itu. Aku menghapus pesan yang hampir kukirim itu.
   
    Terkadang memang hati dan logika tidak sejalan dalam beberapa hal. Ketika hati melumpuhkan logika, seolah harga diri terjualkan begitu saja. Ketika logika melumpuhkan hati, hanya sesak yang menyiksa tak terbendung yang kita rasakan.
   
    Hari ini hampir beralih, hanya kurang semenit saja. Aku memilih melumpuhkan logikaku. Pesan kukirim.


        To: Fahmi
        Udah tidur?
   

    Belum semenit, sudah mendapatkan balasan.


        From: Fahmi
        Akhirnya kamu sms juga
   

    DEG!! Aku terlonjak dan nyaris berteriak. Dia nunggu aku sms dia? Ya Allah!!, pekikku dengan wajah merona dengan senyum manis yang mengambang. Pengorbananku tidak sia-sia. Yah, memang tak ada yang sia-sia di dunia ini.


        To : Fahmi
        Km ga mau sms dluan?

        From: Fahmi
        Emang harus cowok terus yang sms dluan?
        Apa harus selalu gitu? Gak seru dong.
   

    Aku mulai berfikir, kalau aku sms terlebih dahulu aku merasa dia tidak peduli padaku. Tapi baginya, tidak ada peraturan yang mengharuskan bahwa harus selalu pria yang mulai mengirim pesan ketika mereka terpikir akan kita, kalaupun seperti itu dia ingin aku mengirim pesan terlebih dulu dan menghancurkan peraturan yang ada.
   
    Namun yang terlintas dipikiranku adalah pria merupakan hakim. Mengapa? Karena pria yang mengambil tindakan dan memutuskan sesuatu. Pada pria lah semua tindak tanduk berasal.
   
    Tapi ketika rindu menyapa, tak bisakah kita memasrahkan hati untuk melebur jadi satu? Meskipun sesaat, tapi pasti akan melegakan. Mungkin agak sulit. Oleh karenanya, cairkanlah ego, ikuti kata hati tanpa melupakan logika sedikitpun dalam bertindak, dan lakukan. Semuanya akan menjadi lebih tenang. Tak ada yang tersakiti.
Read More

Rabu, 13 Maret 2013

Spesial: Langit Jingga

Kepada biru yang selalu merona di langit..
Kepada Surya yang menjelang ke peraduan..
Jingga ingin mewarnai langit,
Bersama hingga sore menghilang.








                  Entah mengapa akhir-akhir ini saya begitu tertarik dengan langit jingga. Ah, langit sore mungkin awamnya. Tapi saya lebih senang menyebutnya langit jingga:)

                  Mereka memiliki ketertarikan tersendiri di mata saya. Dan saya selalu berhasil membuat puisi sambil memandang mereka. Atau saya biasanya hanya diam dan mendengarkan musik sambil menunggu rona jingga di langit benar-benar menghilang.

                  Saya menyempatkan mengabil foto mereka beberapa dari sisi yang saya sukai. Walaupun masih amatiran sih hehhe.

                  Saya benar-benar menyukai Langit Jingga.
Read More

Minggu, 10 Maret 2013

Minggu Kelabu (?)


    Ketika hujan membasahi hati yang kering
    Menelusup perlahan dan menyiksa
    Tak diharapkan, tapi dinikmati
    Sesak, tapi begitu manis jika dilewatkan

        Kau sedikit mirip dengan hari ini
        Memeluk tanpa menyisakan cahaya
        Menaungi dengan keterikatan
        Apa karena kita melihat hujan yang sama?

    Deru hujan kian mengejar
    Membawaku menyesap kerinduan akanmu
    Tetes demi tetes menyusuri raga
    Merdu, sendu, melirih

        Dan ketika hujan perlahan berhenti
        Aku melihat cahayaku di persimpangan
        Seulas senyum terbingkai rapuh
        Begitu terang dan menghangatkan

    Masihkah ini minggu kelabu?
Read More

Selasa, 05 Maret 2013

Jingga Langit Tenggara

Jingga langit Tenggara
Setelah lama tertutup awan
Engkau muncul kembali
Setelah langit selalu biru

Menghadirkan senyum
Merangkai kata
Menghadirkan kembali "mungkinkah"
Membentuk sebuah impian baru

Jingga langit Tenggara
Setelah lama tertutup awan
Engkau muncul kembali
Setelah langit selalu biru

Kini, impian itu merekah
Menghangatkan jiwa
Mungkinkah, mungkinkah, mungkinkah
Menghadirkan tanya baru

Bolehkah langit mengharapkan jingga?
Seperti siang mengharapkan sore?
Selalu dan selalu?
Atau hanya bertemu di horizon sana?
Karena terhalang oleh biru yang selalu bersama langit dalam dunia dongeng?

Jingga langit Tenggara
Setelah lama tertutup awan
Engkau muncul kembali
Setelah langit selalu biru
Dan menghadirkan tanya baru
AKANKAH...


--AMALIA NENA--
3 Maret 2013
11.49 A.M.
Read More

Jumat, 01 Maret 2013

At 3 A.M.

    Aku duduk diam di dalam kamarku. Mataku masih terbuka lebar, tak bisa tidur. Ketika larut seperti ini aku selalu terbawa hawa galau. Begitu mencekam dan menyesakkan. Menyudutkanku hingga ke jurang terdalam. Aku sendirian. Meratapi diriku sendiri.
   
    Diam bukan berarti tidak memikirkan sesuatu, tapi malah sebaliknya. Diamku merupakan wujud dari pemikiran-pemikiran tentang suatu ketakutan dan lebih banyak pada penyesalan terutama masa lalu. Walaupun terkadang, diam juga berarti menhayal atau lebih tepatnya berharap akan masa depan. Pertanyaan muncul satu persatu di kepalaku. Menanyakan sesuatu yang memang harus terjawab. Tentang segala sesuatunya.
   
    Kadang aku bertanya-tanya, mengapa aku begitu sedih. Semua perasaan menyerobot dan bergegas masuk ke kepalaku membuatku ingin melarikan diri dari dunia ini.
   
    Kenangan yang seolah berputar dari awal hidupku. Menerjangku dengan kesalahan-kesalahan termanis yang pernah kubuat hingga kebahagiaan kecil yang pernah terbawa. Pikiran-pikiran gilaku akan hidup yang tak bias kujangkau keberadaannya. Dan perasaan. Perasaan yang aku pendam, atau yang sengaja kupendam, yang benar-benar ingin kuungkapkan walau dengan isyarat yang tak tersampaikan. Semuanya benar-benar menghantuiku.
   
    Pada pukul 3 dini hari. Aku tidak tidur. Aku membiarkan airmataku mengalir dan membuat bekas pulau kecil di bantalku.

Read More

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger