Rabu, 31 Juli 2013

Misteri Sebuah Surat

                 Surat itu tergeletak di atas meja belajarku ketika aku masuk kamar. Di luar gerimis belum juga reda. Aku memutuskan mandi karena badanku yang sudah basah kuyup begini.

                Aku melihat surat itu dari ujung mataku ketika melewati kamar mandi. Masih jaman banget ya ngirim surat, umpatku tak habis pikir. Aku membanting badanku di atas kasur. Membenamkan seluruh kelelahan hari ini dalam dunia kapuk. Semakin jauh aku ingin terlelap, wajah cengengesan itu malah semakin menghantuiku. Aku duduk seketika, mengingat wajah itu aku jadi teringat kejadian 22 hari yang lalu.

               Pagi itu aku terlambat bangun sampai harus berkejar-kejaran dengan waktu dan akhirnya keteteran. Kamus, binder, kotak pensil, ipad, semuanya kumasukan paksa ke dalam tasku. “Ma, aku pergi ya”, pamitku tak jelas setelah memasukan potongan sandwich ke dalam mulutku.

                “Hati-hati di jalan, Yan!”, suara Mama tak kalah kerasnya. Sambil berlari menuruni tangga, aku melirik arloji hijau yang melingkar dipergelangan tanganku. Pukul 08.05. Lima menit lagi aku sudah harus sampai di kampus kalau masih ingin masuk kuliah pagi dan tidak mendapat amukan dosen.

                Aku berlari lebih cepat ke pangkalan ojek. Tak ada pilihan lain lagi selain naik kendaraan yang satu ini.

                “Ojek, neng?”, tawar seorang ojek berjaket biru jeans. Tanpa pikir panjang aku langsung naik dan menyebutkan nama kampusku.

                Lambat sekali rasanya ojek ini. Aku melirik arlojiku lagi. Pukul 08.13. “Bisa lebih cepat lagi ga sih ini jalannya kayak siput aja!”, amukku. Rasanya ingin sekali aku mengambil alih kemudi.

                “Ini udah paling cepat kok, neng”.

                “Berhenti disini aja deh!”, aku turun dan memberinya selembar uang lima ribu rupiah.

                “Ngga usah bayar, neng”

                “Bukannya lo ngojek buat nyari uang?!”, aku menatapnya geram, menjatuhkan uang lima ribu itu dan berlari menuju kampus.

                Ketika aku pulang, ojek yang tadi kutumpangi sudah menunggu di depan gerbang kampus. Dia menyodorkanku sepucuk surat dengan amplop hijau tosca. “Untuk dibaca di rumah”. Ia tersenyum dan segera pergi dengan motornya. Sejenak aku terpaku pada surat itu. Tapi ledekan anak kampus menyadarkanku. 

“Ciee yang baru dapat surat”, celetuk salah seorang gadis di dekat gerbang kampus.

“Secret admirer ya? Hahahah”, anak yang lain menimpali. Terdengar suara tawa yang membuncah dimana-mana. Desas-desus yang semakin membuatku panas.

Semestinya aku langsung membuang surat itu. Tapi tiba-tiba rasa penasaran menghinggapiku. Aku membuka surat itu di kamar. Deretan huruf miring yang kecil-kecil berbaris rapi menghiasi kertas kuning. Selain kertas, ada juga selembar uang lima ribuan dalam amplop itu.

Maaf atas kejadian tadi. Sebenarnya aku sangat berutung hari ini, bisa mengantarkan seorang bidadari sampai-sampai aku gugup tak bisa menarik gas dalam-dalam. Uangnya aku kembalikan. Mestinya memang aku menarimanya karena tujuanku bekerja adalah untuk mencari uang, tapi aku tak bisa menerima upah dari pekerjaan yang tak tuntas.
Salam, tukang ojek.

Seusai membacanya, aku mengusutnya dan melemparnya ke tempat sampah di sudut kamar. Ga penting, pikirku.

Sejak saat itu, dia selalu menunggu di gerbang kampus dan menyodorkanku sepucuk surat. Disetiap sudut surat tertulis 1, 2, 3 dan seterusnya. Surat kedua dan ketiga sempat kubaca tapi isinya sudah tak kuingat lagi. Yanglainnya selalu kubuang.

Aku malu diejek oleh anak kampus. Setiap hari dikejar-kejar tukang ojek itu. Yang aku tak habis pikir lagi adalah dia tahu alamat rumahku. Jika aku tak datang di kampus, surat-surat itu selalu dia antarkan ke rumah. Ingin sekali rasanya aku menamparnya.

“Sebenarnya maumu apa?!”, bentakku suatu hari ketika Ia memberikan surat, entah yang keberapa.

“Mauku, suratnya dibaca. Itu aja”, ujarnya sambil tersenyum. Dia lebih rapi hari ini. Menggunakan kemeja kotak-kotak, meski kepalanya selalu memakai helm.

“Aku sudah punya pacar!”

“Aku sudah tahu”

“Lantas?”. Aku maju beberapa langkah mendekatinya, semakin geram.

“Ya, tugasku hanya memberimu surat-surat itu. Selamat membaca”. Ia mengedipkan sebelah matanya dan pergi. Tanganku mengepal menahan emosi.

Surat itu masih tergeletak di atas meja. Aku belum membacanya, namun sempat kulihat angka 20 di sudut kiri amplop. Tiba-tiba aku terperangah. Hatiku mencelos. Tanganku tergerak mengambil surat itu. Amplopnya sudah sobek. Aku selalu mengabaikan setiap surat. Sudah dua hari surat ini ada di kamarku rasanya. Mungkinkah pembantuku yang membacanya?

Dengan tangan gemetar aku mengeluarkan lipatan kertas kuning dari amplop hijau tosca itu; mebacanya.

Selamat! Kamu telah membaca bagian terakhir dari surat-suratku. Sebuah kisah telah aku tulis dalam 20 hari sebagai hadiah ulang tahunmu yang ke-20 tahun. Ya, hari ini umurmu tepat 20 tahun.
Aku menyukaimu sebagai bidadari. Yang aku tahu aku takkan pernah bisa kamu lihat.
Di surat yang ke-17 aku pernah mengatakan siapa aku sebenarnya.

            Aku termenung. Ulang tahun? Iya! Dua hari yang lalu ulang tahunku yang ke-20. Kenapa aku baru membaca surat ini sekarang? Tiba-tiba sebuah misteri hinggap di kepalaku. Tapi kemana aku harus mencari surat-surat yang lainnya?
Read More

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger