Faisyah Febyola

Rabu, 06 November 2013

Arti Sebuah Mimpi

      Siang itu teriknya mentari menusuk sampai ke ubun-ubun. Angin yang bertiup pun hanya membawa debu kendaraan bermotor yang entah agak lenggang. Banyak yang malas bepergian mungkin atau malas untuk bertatap muka dengan panas matahari yang membakar hangus kulit.
   
    Pandanganku masih menunduk menatap setiap inchi trotoar jalan yang kutinggalkan. Aku masih menimbang-nimbang akan menceritakan ini atau bungkam saja. Pria di sampingku juga diam. Dia hanya berjalan mengimbangi langkahku dan membiarkan angin menyapu wajahnya hingga matanya menyipit.
   
    “Hmm…”, tak sadar aku menghela napas panjang. Sontak pria di sampingku berbalik dan menatapku bingung.
   
    “Kamu kenapa?”. Aku diam sejenak.
   
    “Semalam aku mimpi, Dit”, aku merasa napasku tercekat. Dan aku sadar kalau ekspresiku berubah. Wajahku menegang

    “Mimpi apa? Kok serius gitu?”

    “Gini; aku lagi jagain toko ketika itu. Tiba-tiba datang seorang wanita—yang aku mengenalnya berasal dari keluarga kamu – memintaku untuk memilihkan sandal untuk kamu. Wanita itu sedikit memaksaku untuk segera memilihkan sandal karena kamu sudah terburu-buru untuk memakainya. Tetapi karena aku sedang sibuk melayani banyak pembeli di tokoku, aku hanya memilihkan sepasang sendal berwarna cokelat yang ada di hadapanku yang kuanggap cocok di kakimu, tanpa memperhatikan model ataupun warnanya akan kamu suka atau tidak. Setelah aku memberikan sandalnya pada wanita itu, Ia kemudian pergi.
   
    Siangnya, aku sedang berdiri hampa di ambang pintu rumah, dan aku melihat kamu dan Ayahmu sudah memasuki halaman rumahku.
   
    Aku menatapmu yang menggunakan sandal yang kupilihkan tadi. Tapi, kamu hanya mengenakan sebelah—di sebelah kanan. Sementara di kaki kirinya, kamu memakai sandal yang lama—berwarna hitam. Aku melihat sandal yang kupilihkan tadi tidak cocok untukmu, dan kupaksa untuk melepasnya saja. Tapi kamu bilang, kamu menyukai sandal pilihanku dan kamu akan tetap memakainya”. Aku menyudahi ceritaku dan kembali menatap Adit yang masih menerawang. Aku menunggu respon Adit tapi Ia tak mengatakan apapun sampai kami berpisah di ujung jalan itu.

    Setibanya di rumah aku membenamkan diri di kasur. Penasaran apakah arti mimpi itu sebenarnya.

    Sekitar setengah jam kemudian aku menerima pesan Adit. Adit bilang mimpi itu mungkin hanya sekedar mimpi saja, tak punya arti apa-apa. Tapi aku tidak puas, seperti ada saja yang mengganjal perasaan ini.

                                                                                      ***
   
    Aku meratapi perjalanan cinta pertamaku yang kini kandas dalam masa peralihan. Mencoba menelaah setiap kenangan yang bergelayut di tepi jurang kenastaan. Enggan rasanya mengakui bahwa aku ingin semuanya segera berakhir.
   
    Kini aku tahu apa arti mimpi itu. Adit masih bermain dengan bayangan masa lalunya. Ia masih menyukai wanita itu. Namanya Rena. Dia dulu teman SMP Adit. Adit pernah cerita, Rena adalah orang pertama yang membuatnya jatuh cinta. Dulu mereka dekat, tapi kedekatan mereka tidak pernah berlanjut. Hanya sebatas teman saja.

    Adit berkata bahwa Ia akan melupakan masa lalunya itu.

    Entah, sejak awal aku memang ragu untuk menjalin sebuah hubungan. Belum siap, tepatnya. Aku takut dengan hal-hal yang belum bisa kutangani sendiri. Seperti sekarang ini. Rasanya aku hanya memaksakan diri.

Read More

Rabu, 31 Juli 2013

Misteri Sebuah Surat

                 Surat itu tergeletak di atas meja belajarku ketika aku masuk kamar. Di luar gerimis belum juga reda. Aku memutuskan mandi karena badanku yang sudah basah kuyup begini.

                Aku melihat surat itu dari ujung mataku ketika melewati kamar mandi. Masih jaman banget ya ngirim surat, umpatku tak habis pikir. Aku membanting badanku di atas kasur. Membenamkan seluruh kelelahan hari ini dalam dunia kapuk. Semakin jauh aku ingin terlelap, wajah cengengesan itu malah semakin menghantuiku. Aku duduk seketika, mengingat wajah itu aku jadi teringat kejadian 22 hari yang lalu.

               Pagi itu aku terlambat bangun sampai harus berkejar-kejaran dengan waktu dan akhirnya keteteran. Kamus, binder, kotak pensil, ipad, semuanya kumasukan paksa ke dalam tasku. “Ma, aku pergi ya”, pamitku tak jelas setelah memasukan potongan sandwich ke dalam mulutku.

                “Hati-hati di jalan, Yan!”, suara Mama tak kalah kerasnya. Sambil berlari menuruni tangga, aku melirik arloji hijau yang melingkar dipergelangan tanganku. Pukul 08.05. Lima menit lagi aku sudah harus sampai di kampus kalau masih ingin masuk kuliah pagi dan tidak mendapat amukan dosen.

                Aku berlari lebih cepat ke pangkalan ojek. Tak ada pilihan lain lagi selain naik kendaraan yang satu ini.

                “Ojek, neng?”, tawar seorang ojek berjaket biru jeans. Tanpa pikir panjang aku langsung naik dan menyebutkan nama kampusku.

                Lambat sekali rasanya ojek ini. Aku melirik arlojiku lagi. Pukul 08.13. “Bisa lebih cepat lagi ga sih ini jalannya kayak siput aja!”, amukku. Rasanya ingin sekali aku mengambil alih kemudi.

                “Ini udah paling cepat kok, neng”.

                “Berhenti disini aja deh!”, aku turun dan memberinya selembar uang lima ribu rupiah.

                “Ngga usah bayar, neng”

                “Bukannya lo ngojek buat nyari uang?!”, aku menatapnya geram, menjatuhkan uang lima ribu itu dan berlari menuju kampus.

                Ketika aku pulang, ojek yang tadi kutumpangi sudah menunggu di depan gerbang kampus. Dia menyodorkanku sepucuk surat dengan amplop hijau tosca. “Untuk dibaca di rumah”. Ia tersenyum dan segera pergi dengan motornya. Sejenak aku terpaku pada surat itu. Tapi ledekan anak kampus menyadarkanku. 

“Ciee yang baru dapat surat”, celetuk salah seorang gadis di dekat gerbang kampus.

“Secret admirer ya? Hahahah”, anak yang lain menimpali. Terdengar suara tawa yang membuncah dimana-mana. Desas-desus yang semakin membuatku panas.

Semestinya aku langsung membuang surat itu. Tapi tiba-tiba rasa penasaran menghinggapiku. Aku membuka surat itu di kamar. Deretan huruf miring yang kecil-kecil berbaris rapi menghiasi kertas kuning. Selain kertas, ada juga selembar uang lima ribuan dalam amplop itu.

Maaf atas kejadian tadi. Sebenarnya aku sangat berutung hari ini, bisa mengantarkan seorang bidadari sampai-sampai aku gugup tak bisa menarik gas dalam-dalam. Uangnya aku kembalikan. Mestinya memang aku menarimanya karena tujuanku bekerja adalah untuk mencari uang, tapi aku tak bisa menerima upah dari pekerjaan yang tak tuntas.
Salam, tukang ojek.

Seusai membacanya, aku mengusutnya dan melemparnya ke tempat sampah di sudut kamar. Ga penting, pikirku.

Sejak saat itu, dia selalu menunggu di gerbang kampus dan menyodorkanku sepucuk surat. Disetiap sudut surat tertulis 1, 2, 3 dan seterusnya. Surat kedua dan ketiga sempat kubaca tapi isinya sudah tak kuingat lagi. Yanglainnya selalu kubuang.

Aku malu diejek oleh anak kampus. Setiap hari dikejar-kejar tukang ojek itu. Yang aku tak habis pikir lagi adalah dia tahu alamat rumahku. Jika aku tak datang di kampus, surat-surat itu selalu dia antarkan ke rumah. Ingin sekali rasanya aku menamparnya.

“Sebenarnya maumu apa?!”, bentakku suatu hari ketika Ia memberikan surat, entah yang keberapa.

“Mauku, suratnya dibaca. Itu aja”, ujarnya sambil tersenyum. Dia lebih rapi hari ini. Menggunakan kemeja kotak-kotak, meski kepalanya selalu memakai helm.

“Aku sudah punya pacar!”

“Aku sudah tahu”

“Lantas?”. Aku maju beberapa langkah mendekatinya, semakin geram.

“Ya, tugasku hanya memberimu surat-surat itu. Selamat membaca”. Ia mengedipkan sebelah matanya dan pergi. Tanganku mengepal menahan emosi.

Surat itu masih tergeletak di atas meja. Aku belum membacanya, namun sempat kulihat angka 20 di sudut kiri amplop. Tiba-tiba aku terperangah. Hatiku mencelos. Tanganku tergerak mengambil surat itu. Amplopnya sudah sobek. Aku selalu mengabaikan setiap surat. Sudah dua hari surat ini ada di kamarku rasanya. Mungkinkah pembantuku yang membacanya?

Dengan tangan gemetar aku mengeluarkan lipatan kertas kuning dari amplop hijau tosca itu; mebacanya.

Selamat! Kamu telah membaca bagian terakhir dari surat-suratku. Sebuah kisah telah aku tulis dalam 20 hari sebagai hadiah ulang tahunmu yang ke-20 tahun. Ya, hari ini umurmu tepat 20 tahun.
Aku menyukaimu sebagai bidadari. Yang aku tahu aku takkan pernah bisa kamu lihat.
Di surat yang ke-17 aku pernah mengatakan siapa aku sebenarnya.

            Aku termenung. Ulang tahun? Iya! Dua hari yang lalu ulang tahunku yang ke-20. Kenapa aku baru membaca surat ini sekarang? Tiba-tiba sebuah misteri hinggap di kepalaku. Tapi kemana aku harus mencari surat-surat yang lainnya?
Read More

Rabu, 05 Juni 2013

Sun Set in Waombo Garden

Waombo Garden.










Read More

Senin, 20 Mei 2013

Spesial: Langit Jingga II

                  Menjelang magrib tadi, saya melihat langit yang terbias jingga yang begitu menarik perhatian saya.Tanpa berpikir panjang saya langsung mengambil kamera digital dan pergi ke balkon belakang kamar.

                  Ini pertama kali saya mendapatkan pemandangan yang benar-benar membuat saya jatuh hati. Berbeda dengan senja yang lain. Maksudnya, ini langit jingga yang tidak biasa. Jingganya seperti meluap-luap. Penuh pesona. Selama ini saya selalu mengabadikan mereka, tapi kali ini berbeda.

                  Selamat merasakan keindahan mereka lewat jepretan foto amatiran saya:)




Read More

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger