Siang itu teriknya mentari menusuk sampai ke ubun-ubun. Angin yang bertiup pun hanya membawa debu kendaraan bermotor yang entah agak lenggang. Banyak yang malas bepergian mungkin atau malas untuk bertatap muka dengan panas matahari yang membakar hangus kulit.
Pandanganku masih menunduk menatap setiap inchi trotoar jalan yang kutinggalkan. Aku masih menimbang-nimbang akan menceritakan ini atau bungkam saja. Pria di sampingku juga diam. Dia hanya berjalan mengimbangi langkahku dan membiarkan angin menyapu wajahnya hingga matanya menyipit.
“Hmm…”, tak sadar aku menghela napas panjang. Sontak pria di sampingku berbalik dan menatapku bingung.
“Kamu kenapa?”. Aku diam sejenak.
“Semalam aku mimpi, Dit”, aku merasa napasku tercekat. Dan aku sadar kalau ekspresiku berubah. Wajahku menegang
“Mimpi apa? Kok serius gitu?”
“Gini; aku lagi jagain toko ketika itu. Tiba-tiba datang seorang wanita—yang aku mengenalnya berasal dari keluarga kamu – memintaku untuk memilihkan sandal untuk kamu. Wanita itu sedikit memaksaku untuk segera memilihkan sandal karena kamu sudah terburu-buru untuk memakainya. Tetapi karena aku sedang sibuk melayani banyak pembeli di tokoku, aku hanya memilihkan sepasang sendal berwarna cokelat yang ada di hadapanku yang kuanggap cocok di kakimu, tanpa memperhatikan model ataupun warnanya akan kamu suka atau tidak. Setelah aku memberikan sandalnya pada wanita itu, Ia kemudian pergi.
Siangnya, aku sedang berdiri hampa di ambang pintu rumah, dan aku melihat kamu dan Ayahmu sudah memasuki halaman rumahku.
Aku menatapmu yang menggunakan sandal yang kupilihkan tadi. Tapi, kamu hanya mengenakan sebelah—di sebelah kanan. Sementara di kaki kirinya, kamu memakai sandal yang lama—berwarna hitam. Aku melihat sandal yang kupilihkan tadi tidak cocok untukmu, dan kupaksa untuk melepasnya saja. Tapi kamu bilang, kamu menyukai sandal pilihanku dan kamu akan tetap memakainya”. Aku menyudahi ceritaku dan kembali menatap Adit yang masih menerawang. Aku menunggu respon Adit tapi Ia tak mengatakan apapun sampai kami berpisah di ujung jalan itu.
Setibanya di rumah aku membenamkan diri di kasur. Penasaran apakah arti mimpi itu sebenarnya.
Sekitar setengah jam kemudian aku menerima pesan Adit. Adit bilang mimpi itu mungkin hanya sekedar mimpi saja, tak punya arti apa-apa. Tapi aku tidak puas, seperti ada saja yang mengganjal perasaan ini.
***
Aku meratapi perjalanan cinta pertamaku yang kini kandas dalam masa peralihan. Mencoba menelaah setiap kenangan yang bergelayut di tepi jurang kenastaan. Enggan rasanya mengakui bahwa aku ingin semuanya segera berakhir.
Kini aku tahu apa arti mimpi itu. Adit masih bermain dengan bayangan masa lalunya. Ia masih menyukai wanita itu. Namanya Rena. Dia dulu teman SMP Adit. Adit pernah cerita, Rena adalah orang pertama yang membuatnya jatuh cinta. Dulu mereka dekat, tapi kedekatan mereka tidak pernah berlanjut. Hanya sebatas teman saja.
Adit berkata bahwa Ia akan melupakan masa lalunya itu.
Entah, sejak awal aku memang ragu untuk menjalin sebuah hubungan. Belum siap, tepatnya. Aku takut dengan hal-hal yang belum bisa kutangani sendiri. Seperti sekarang ini. Rasanya aku hanya memaksakan diri.
Read More
Pandanganku masih menunduk menatap setiap inchi trotoar jalan yang kutinggalkan. Aku masih menimbang-nimbang akan menceritakan ini atau bungkam saja. Pria di sampingku juga diam. Dia hanya berjalan mengimbangi langkahku dan membiarkan angin menyapu wajahnya hingga matanya menyipit.
“Hmm…”, tak sadar aku menghela napas panjang. Sontak pria di sampingku berbalik dan menatapku bingung.
“Kamu kenapa?”. Aku diam sejenak.
“Semalam aku mimpi, Dit”, aku merasa napasku tercekat. Dan aku sadar kalau ekspresiku berubah. Wajahku menegang
“Mimpi apa? Kok serius gitu?”
“Gini; aku lagi jagain toko ketika itu. Tiba-tiba datang seorang wanita—yang aku mengenalnya berasal dari keluarga kamu – memintaku untuk memilihkan sandal untuk kamu. Wanita itu sedikit memaksaku untuk segera memilihkan sandal karena kamu sudah terburu-buru untuk memakainya. Tetapi karena aku sedang sibuk melayani banyak pembeli di tokoku, aku hanya memilihkan sepasang sendal berwarna cokelat yang ada di hadapanku yang kuanggap cocok di kakimu, tanpa memperhatikan model ataupun warnanya akan kamu suka atau tidak. Setelah aku memberikan sandalnya pada wanita itu, Ia kemudian pergi.
Siangnya, aku sedang berdiri hampa di ambang pintu rumah, dan aku melihat kamu dan Ayahmu sudah memasuki halaman rumahku.
Aku menatapmu yang menggunakan sandal yang kupilihkan tadi. Tapi, kamu hanya mengenakan sebelah—di sebelah kanan. Sementara di kaki kirinya, kamu memakai sandal yang lama—berwarna hitam. Aku melihat sandal yang kupilihkan tadi tidak cocok untukmu, dan kupaksa untuk melepasnya saja. Tapi kamu bilang, kamu menyukai sandal pilihanku dan kamu akan tetap memakainya”. Aku menyudahi ceritaku dan kembali menatap Adit yang masih menerawang. Aku menunggu respon Adit tapi Ia tak mengatakan apapun sampai kami berpisah di ujung jalan itu.
Setibanya di rumah aku membenamkan diri di kasur. Penasaran apakah arti mimpi itu sebenarnya.
Sekitar setengah jam kemudian aku menerima pesan Adit. Adit bilang mimpi itu mungkin hanya sekedar mimpi saja, tak punya arti apa-apa. Tapi aku tidak puas, seperti ada saja yang mengganjal perasaan ini.
***
Aku meratapi perjalanan cinta pertamaku yang kini kandas dalam masa peralihan. Mencoba menelaah setiap kenangan yang bergelayut di tepi jurang kenastaan. Enggan rasanya mengakui bahwa aku ingin semuanya segera berakhir.
Kini aku tahu apa arti mimpi itu. Adit masih bermain dengan bayangan masa lalunya. Ia masih menyukai wanita itu. Namanya Rena. Dia dulu teman SMP Adit. Adit pernah cerita, Rena adalah orang pertama yang membuatnya jatuh cinta. Dulu mereka dekat, tapi kedekatan mereka tidak pernah berlanjut. Hanya sebatas teman saja.
Adit berkata bahwa Ia akan melupakan masa lalunya itu.
Entah, sejak awal aku memang ragu untuk menjalin sebuah hubungan. Belum siap, tepatnya. Aku takut dengan hal-hal yang belum bisa kutangani sendiri. Seperti sekarang ini. Rasanya aku hanya memaksakan diri.