Kamis, 31 Januari 2013

It Has Been You [END]

Cerita Sebelumnya: It Has Been You

    Terlalu takut untuk memulai. Begitulah aku.  Seharusnya aku yang mulai mendekatinya. Tanpa bantuan siapa pun. Seharusnya aku yang terlebih dulu berusaha mendekatinya. Aku ini kan seorang pria, tapi nyatanya aku memang pecundang.
   
    Suatu malam Gita menghubungiku. Menariknya lagi, dia terus menerus memulai sebuah topik. Aku jelas tidak terlalu banyak merespon. Tapi, aku sangat bahagia karenanya. Ternyata dia sangat perhatian.
   
    Hingga saatnya pada waktu itu sepulang sekolah aku mendapatkan sebuah pesan dari Gita. Dia menembakku. Dia bertanya maukah aku jadi pacarnya. Hal ini membuatku terkesan, apakah dia yang terlalu agresif atau aku yang terlalu banyak diam dan tidak berbuat apa-apa untuk memilikinya? Sepertinya Gita sudah tertarik padaku dan tidak tahan dengan sikapku yang tak acuh padanya.
   
    Kami berdua jadian. Awalnya Gita manis sekali dan sangat perhatian padaku. Kami sering saling menelpon dan bertemu, tetapi tidak bertatapan langsung, kami hanya saling memandang dalam diam lewat kejauhan. Sekadar melepas rindu yang bersarang di hati kami. Kami memiliki banyak kesamaan. Sama-sama menyukai bahasa Inggris, film action dan adventure, menyukai musik, dan masih banyak lagi.Tetapi lama kelamaan dia mulai banyak membuat aturan yang ditujukan padaku, yang tak ayal membuatku geram pada tingkahnya itu.   
   
    Aku kadang malas menanggapi ketika dia memarahiku karena terlalu lama bermain game dan menonton kartun, katanya aku terlalu kenakan. Dia sendiri tak pernah mau diatur. Aku juga tidak ingin dia merasa terikat. Aku tahu dia juga memiliki dunianya sendiri. Aku sangat mengerti dia. Dan aku sangat mencintainya.

    Segala yang dia butuhkan aku penuhi, tanpa peduli bahwa aku juga sebenarnya membutuhkan itu. Aku tak pernah meminta banyak padanya, dan memperhitungkan segala sesuatu yang telah kuberikan padanya. Aku ikhlas. Semuanya adalah bentuk pengorbananku.

    Hubungan kami berjalan hanya sebulan lebih karena dia memutuskan semuanya. Alasan yang dia berikan cukup kuterima. Ingin konsen belajar katanya. Tapi aku sangat tidak bisa terima dengan kejujuran yang diungkapnya hari itu juga. Dia tidak pernah serius padaku. Dia hanya ingin memanfaatkan harta dan kebaikanku dengan terus menerus meminta pulsa.

    Aku tak tahu harus berbuat apa waktu itu. Aku hanya menitihkan air mata tanpa suara. Betapa aku tidak pernah memperhitungkan apapun padanya. Aku hanya ingin dia mencintaiku dan merasakan seberapa besar cintaku. Itu saja. Tidak pernah lebih. Entah mengapa air mataku ini tidak mau berhenti. Bukan aku menyimpan benci padanya, bukan. Aku tidak akan bisa benci padanya. Aku hanya merasa sangat kecewa. Tapi aku bisa apa? Semuanya sudah terjadi. Tak ada penyesalan di hatiku.

    Terakhir kali aku melihatnya, ketika esoknya aku akan pindah ke Surabaya. Aku hanya menatap setiap geraknya. Setiap senyum yang disunggingkannya, untuk pria yang berjalan di sampingnya. Entah apa yang kurasakan kini. Bukan benci, mungkin seperti rasa cemburu. Sesak sekali. Aku hanya bisa tersenyum masam melihatnya. Begitu cepat dia melupakanku. Atau mungkin, memang dia tidak pernah mengingatku? Entahlah.

    Hingga sekarang. Saat ini. Detik ini. Aku masih dengan perasaan yang sama. Rasa cinta yang tidak pernah berubah. Mungkin telah beku oleh formalin. Atau memang hanya miliknya seorang. Andaikan saja dia tahu bahwa aku masih mencintainya dan hanya untuk dialah hatiku ini kujaga.
   
    Aku tahu kini dia benar-benar menyesal atas masa lalu. Tapi aku tak pernah menyimpan sebersit benci di hatiku. Aku sangat mencintainya, sampai saat ini. Mungkin aku pecundang, karena aku sangat takut disakiti untuk yang kedua kalinya oleh Gita.
   
    Aku hanya ingin menunggunya, hingga aku benar-benar pantas menjadikannya pendampingku untuk selamanya.




                                                                                      TAMAT
Read More

It Has Been You

    Aku merenggangkan otot-otot leherku yang sudah terlalu tegang. Berkutat dengan laptop hingga subuh sudah menjadi kebiasaanku karena tuntutan pekerjaan. Pekerjaanku adalah penerjemah. Ya, menjadi penerjemah sangat menyenangkan, apalagi penerjemah film dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Semuanya adalah hobiku. Pekerjaan ini adalah pekerjaan paruh waktu di sela kegiatan belajarku sebagai siswa SMA.
   
    Aku beranjak dari kursi dan berjalan ke balkon kamarku. Pukul 3 pagi. Anginnya menembus hingga ketulang membuatku sedikit bergidik. Aku duduk di kursi dan menikmati semuanya. Kurogoh saku celanaku mencari ponsel. Entah mengapa ada keinginan untuk sekadar mengaktifkannya.
   
    Aku memandangi layar ponselku yang menampilkan wajah seorang gadis berponi pagar sedang membaca buku dengan raut wajah serius yang dibuat-buat. Aktingnya saat membaca sangat bagus tapi, adakah orang membaca sambil berfoto? Sudut bibirku tertarik ke samping membayangkannya. Aku menggeleng-geleng sendiri.
   
    Tak berapa lama kemudian ponselku berbunyi, ada sebuah pesan.
   
        From: Gita
        Kulihat kau ragu, adakah yang tlah mengganti aku?

   
    Seulas senyum terbentuk di wajahku. Ini adalah salah satu potongan lirik lagu Pada Satu Cinta milik Glenn Fredly. Dia masih saja peduli padaku. Pada perasaanku padanya. Sesegera mungkin ku balas pesannya.
   
        To: Gita
        Ga ada yang bakalan gantiin kamu di hatiku.
        Status; Delivered to Gita

   
    Aku kembali menatap layar ponselku yang menampilkan wajah Gita. Jariku menyentuh pipinya yang tembem. Kembali membayangkan bahwa pasti dia merasa aku mempermainkannya lagi. Tapi tentu saja tidak.
   
    Ingatanku kembali berputar ke masa lalu. Dimana aku yang menyukai Gita sejak awal pertemuan kami di waterbom. Kami masih SMP pada waktu itu dan kami satu sekolah juga seumuran, cuman dia memang lebih tua beberapa bulan dariku.
   
    Aku tahu betul mengapa bisa jatuh cinta padanya saat itu. Dia terlihat begitu berbeda dari gadis lain. Terlihat begitu polos. Seperti menampakkan dirinya yang sebenarnya. Tawa renyahnya menghiasi gendang telingaku yang sengaja ku pasang rapat-rapat pada waktu itu. Dan aku menyukainya.
   
    Ketika dia mulai lompat ke dalam kolam, aku juga ikut menyelam ke dalam. Kulihat dia menyelam untuk menyentuh dasar kolam. Aku hanya diam di tempatku, menatapnya dengan senyum mengambang. Ketika dia hendak naik ke permukaan mencari oksigen, dia melihatku sekilas dan tersenyum. Kami mencapai permukaan kolam secara bersamaan.
   
    Aku terus memperhatikannya hingga kami berpisah. Aku bersama rombonganku, diapun bersama rombongannya.
   
    Mungkin saat itu dia belum mengenalku, tapi aku sudah mengetahui namanya. Seminggu kemudian aku mendapat kabar yang membuatku semakin gemas.
   
    “Ga, si Gita nitip salam tuh sama lo”, ucap Oki dengan nada semangat. Aku tersenyum seketika. Apakah dia juga menyukaiku? Ini awal yang sangat baik.
   
    “Dia juga mau gue buat kalian jadian”, lanjut Oki yang membuatku setengah terkejut.
   
    “Dia minta lo ngejodohin sama gue gitu?”, tanyaku masih dengan muka terkejut.
   
    “Yoi, mau ga lo? Dia anaknya termasuk tenar lho. Banyak yang naksir sama dia. Dan yang lebih ngewow lagi, si Gita itu mantan pacarnya Ginanjar. Lo tahu Ginanjar kan? Anak pemilik yayasan sekolah kita”, jelas Oki sumringah.
   
    Aku benar-benar terperangah dibuatnya. Mulutku masih menganga. Otakku berpikir keras. Apalagi yang kutunggu? Gita saja sudah memberiku pertanda, jadi semua takkan sulit buatku.
   
    “Gue mau”, ucapku memantapkan hati. Oki tersenyum puas.


                                                        bersambung ke It Has Been You [end]
Read More

Sabtu, 26 Januari 2013

Anganmu, Inginku

    Bel istirahat berbunyi. Langkah ini membawaku ke kelas XI IPA 2. Aku memiliki tujuan ke kelas yang tepatnya berada di samping kelasku ini. Menagih. Bukan menagih utang, tapi menagih bukuku yang sudah seminggu berada dalam hidup Fida—teman seperguruanku sejak masih Sekolah Dasar. Fida memang selalu seperti itu, meminjam dan selalu lupa mengembalikan. Aku kadang geram sendiri dengan kebiasaannya ini.

    Aku berdiri dengan malas di depan pintu kelasnya dan menengok ke dalam.

    “Masuk aja”, ucap seseorang yang sepertinya berada di belakangku.

    Aku membalikkan badan, kudapati seseorang—yang kuketahui namanya Arga—sedang berdiri di sisi lain pintu kelas itu. Aku menarik napas dan melengos masuk menemui Fida di dalam kelas.

    “Siniin cepet!”, aku mengulurkan tanganku tepat di depan wajah Fida dengan ekspresi galak yang kubuat-buat.

    “Nih”, Fida memamerkan cengiran tanpa dosanya padaku sambil menyerahkan sebuah buku yang terbungkus rapi. “Sori ya Nay”, ucapnya polos.

    Aku mendengus. “Sekalian tahun depan aja deh balikinnya” ucapku untuk membuat Fida merasa bersalah.

    “Wets, galak banget sih Non”, ucap seseorang dengan suara bassnya. Arga, yang kini berdiri di samping Fida. Ia memamerkan deretan gigi putihnya. Manis sekali, pekikku dalam hati.

    “Hahahah, emang galak kan ,Ga?”. Fida dan Arga tertawa bersama-sama, memisahkan diriku sebagai tersangkanya.

    “Biar galak tapi manis kok”, kata yang baru saja terlontar dari mulut Arga itu membuat jantungku nyaris berhenti. Aku berusaha mengontrol semua perasaanku yang terlalu senang ini dengan menampilkan ekspresi yang biasa saja. Fida hanya tertawa-tawa, Ia pandai sekali membaca situasi.

    “Iya dong”, ucapku sambil memaksakan tertawa untuk mengalihkan kembali perasaanku. Ketika bel masuk berbunyi aku lalu pergi begitu saja sebelum mereka berdua menggodaku lagi.   
                           
                                                                                    ***
   
    Aku sedikit terkejut dengan tawaran yang diajukan Fida padaku. Sedetik kemudian aku tertawa terbahak-bahak. Fida memutar bola matanya.

    “Ga ada salahnya gitu kalau kamu sama si Arga, kali aja bisa pacaran. Lagian si Arga juga lagi jomblo tuh”, jelas Fida untuk meyakinkan agar aku mau memberikan nomor handphone-ku ke Arga. Tapi aku malah tak kuasa menahan tawaku yang semakin pecah. Fida mulai murka melihatku.
  
    “Yaudah deh, terserah, kasih ajalah, kasian. Hahahhahhah!”

    “Dih, parah nih orang ya. Jadian aja, baru bilang wew”

    Aku terdiam. Mulai memijit pipiku yang mulai terasa sakit karena ototnya yang mengencang. Aku terbayang lagi kejadian kemarin lusa saat Arga mengatakan bahwa aku ini manis. Ah, senyuman itu. Mata putih bersih itu. Hidung mancungnya. Kulit sawo matangnya. Sangat macho. Andai saja suatu saat nanti aku benar-benar bisa menjadi kekasihnya.
                       
                                                                                    ***
   
    Selepas kasus pemberian nomor itu, aku dan Arga menjadi rutin untuk SMS-an. Setiap pulang sekolah hingga kantuk menyapa pada tengah malam. Terkadang, aku malah dibuat enggan untuk menutup malam-malam dengan terlalu indah. Semua perlakuannya membuatku selalu melambung ke angkasa, melupakan segala akal sehat yang menentangku mati-matian.

    Aku sepertinya mulai menyukai Arga. Tapi entahlah dengan Arga, apakah Ia merasakan hal yang sama denganku. Dilihat dari sikapnya, Ia seperti memancingku masuk ke dunianya, merasakan nikmat sesaat yang kukecam dalam hitungan jam. Ada ketidakpuasan dari kepuasan yang terpampang. Ada keinginan besar untuk memilikinya. Tapi sekali lagi aku bertanya, apakah dia menginginkanku?

    Aku mulai tersadar dengan perlakuan yang seolah-olah hanya untuk membuatku tersenyum sesaat. Perlakuan yang tak memiliki niat nyata untuk terwujud dalam konteks “selalu”. Ada harapan, tapi semu. Ingin menggapai tapi apa yang harus kugapai? Mereka tidak pernah benar-benar nampak.

     Aku mulai merasa bahwa Arga tidak pernah benar-benar menginginkanku masuk ke dalam dunianya. Dia hanya seolah menunjukan ketertarikannya padaku, tetapi bukan suatu rasa yang spesial. Penggambarannya lebih tepat sebagai harapan palsu. Memberi tapi tak ada niat. Seperti bermain-main di dalam air tapi tidak bermaksud untuk basah.

    Suatu hari, Arga tidak lagi menghubungiku, tapi aku masih melihatnya di sekolah. Ia juga masih menyapaku seperti biasa dan menggangguku setiap aku pergi ke kelasnya. Aku mulai merasa ini benar-benar hanya permainannya, membuangku ke angkasa dan membiarkanku terjerambap ke tanah hingga seluruh tubuhku remuk.  Rasa bingung, sakit hati, marah, kesal, berkecamuk di dalam dadaku. Kenapa mempermainkanku sejauh ini? Tidakkah dia sedikit peka dengan perasaanku ini?

    Fida bilang, Arga tak pernah menghubungiku lagi karena handphone-nya baru saja hilang dan sampai sekarang Ia belum membeli handphone baru. Tapi, mengapa bukan Arga saja yang bilang langsung padaku? Toh kami setiap hari juga bertemu.

    Hari ke hari, perasaan suka ini pelan-pelan membunuhku. Tapi aku masih saja menunggu. Menunggu sesuatu yang tidak pasti, yang mungkin tak akan pernah hadir untuk menyambutku kembali. Dan bahkan sampai saat ini, sikapnya berbanding terbalik dengan apa yang aku harapkan. Arga terlihat biasa saja tanpaku.
Read More

Minggu, 13 Januari 2013

Adakah Kebetulan yang Seindah Ini? (END)

Cerita Sebelumnya: Adakah Kebetulan yang Seindah Ini?



    Malam ini aku tidak bisa tidur. Setelah kegiatan yang mengguncang dan menyerap seluruh energiku hari ini, ternyata “dia” semakin membuatku sulit. Pertemuan itu. Pertemuan sebanyak dua kali dalam sehari. Aku tidak berusaha meyakinkan diriku bahwa itu sebuah kebetulan. Sungguh aku berusaha mempercayai takdir, meskipun terkadang takdir itu justru sulit dipercayai karena keanehannya. Namanya saja takdir, tentu bukan kemampuan manusia untuk membacanya, itu hanya milik dan rahasia Tuhan.
   
    Yang aku pikirkan adalah, mengapa aku harus merasakan desiran hebat di hati ketika melihatnya sebanyak dua kali. Dan mataku tak ingin lekang olehnya. Wajahnya yang kini berada di langit-langit kamarku. Wajah ovalnya yang tegas. Hidung yang sangat mancung. Rahang yang mencuat keluar. Alisnya yang tebal dan hampir bersambung.  Dan yang terakhir mata itu, sebuah mata hitam pekat dan bulu mata yang sangat lentik dan tebal. Sempurna. Layaknya keturunan Arab.
   
    Aku berusaha menghindar dengan cara menutup mata, tapi malah Ia menari-nari di pelupuk mataku dan semakin nyata. Sungguh Ia sudah seperti hantu yang membayangiku kemana-mana. Dan bukan hanya itu, sepertinya sekarang Ia sudah menghisap semua oksigen yang ada di kamar hotel ini, membuatku sulit mengambil napas—sangat sesak.
   
    Tiba-tiba suara tawa yang renyah itu kembali terdengar dan membuat bulu romaku berdiri. Mungkin dia benar-benar hantu. Perutku terkocok mendengarnya.

    Aku berusaha untuk tertidur.

                                                                                              ***
   
    Ini adalah hari kedua, dan besok pagi aku akan pulang kembali ke Makassar. Hari sabtu dan tentunya malam minggu. Malam anak muda katanya. Dan sepertinya aku akan pergi sendirian saja hari ini dan menghabiskan waktu malam mingguku hingga pukul sepuluh malam nanti.
   
    Tujuanku pagi ini adalah Mal Mandonga—Mal yang lebih mirip pasar grosir Tanah Abang Jakarta. Aku ingin berbelanja sedikit untuk ole-ole. Hari ini sebenarnya membuatku malas kemana-mana karena hujan. Tapi lebih tidak bergunalah kedatanganku kesini jika hanya untuk bermalas-malasan saja.
   
    Derasnya hujan, membuat semua orang berbondong-bondong masuk ke dalam Mal dan urung untuk beranjak dan semakin padatlah tempat ini. Aku berjalan dengan cepat ke arah dalam. Ketika sudah sedikit lenggang, aku mulai melambatkan langkahku dan melihat-lihat baju.
   
    Waktu merangkak dengan sangat cepat. Tak terasa langit sudah bersemburat jingga. Sang matahari hamper meninggalkan peraduannya. Masih agak gerimis. Kulambaikan tangan pada taksi yang lewat.
   
    “Lippo Plaza, pak”, kataku cepat ketika sudah berada dalam taksi.
   
    Taksi melaju menuju Lippo Plaza Kendari—salah satu Mal yang baru saja dibangun di kota ini. Lippo—begitu panggilan akrabnya—sangat ramai di waktu malam minggu seperti ini, buktinya, untuk masuk saja sampai macet. Mungkin sebabnya karena Mal ini masih baru. Daripada mengantri dengan mobil lain, aku memilih turun dan setengah berlari ke pintu masuk karena hujannya deras.
   
    Sudah pukul setengah delapan malam. Perutku terasa perih, sepertinya maagku mulai kambuh karena tidak makan sejak siang tadi. Kakiku yang mulai lemas membawaku duduk di sebuah food court. Aku memesan sepiring spaghetti Bolognese.
   
    Setelah perutku terisi, aku beranjak dari food court dan berkeliling-keliling. Belum banyak toko di dalam Mal ini, jadi untuk berbelanja juga sedikit enggan karena pilihan yang terbatas.
   
    Semakin malam, hiruk-pikuk pasangan dan gerombolan semakin ramai, mungkin karena sebentar lagi Mal ini tutup—tutupnya jam sepuluh malam. Aku yang berjalan sendiri seperti seekor tikus yang tak nampak di tengah keramaian. Berjalan luntang-lantung tak tentu arah. Terbayang di benakku jika saja si-cowok-yang-kutemui-kemarin itu ada disini, jadi aku bisa menguntitnya saja. Eh, sebentar, kenapa jadi dia? Pikiranku sepertinya sudah terinfeksi sama dia.
   
    Pukul sepuluh pas. Aku masih terbayang-bayang olehnya diiringi langkah gontaiku menuju pintu keluar. Ketika menunggu pamanku yang katanya akan menjemput, aku bersandar di tembok, melepas semua lelah yang sejak tadi bertumpuk di setiap bagian tubuhku.
   
    Mataku membelalak seketika melihat pemandangan di sebelahku. Cowok itu! Cowok yang kemarin kutemui. Sekarang dia berada di sampingku. Bersandar di tembok yang sama denganku. Jantungku mulai abnormal lagi. Mungkin daya tarik orang ini mengalahkan daya  tarik bumi. Dan aku agak yakin kalau suara jantungku ini bisa kedengaran olehnya. Aku berusaha keras untuk terlihat biasa. Dan kali ini aku tak mau melakukan hal bodoh.
   
    Sekitar lima belas menit kemudian, datang seorang cowok tinggi, putih, dan gemuk. Dia menghampiri cowok di sebelahku dan mereka berjalan bersama meninggalkan sepuing kesal dan sesal di hatiku.
   
    Oh Tuhan! Ini yang ketiga kalinya!, pekikku kegirangan sendiri. Aku segera menegakkan posisi tubuhku ketika mobil pamanku berada di depan pintu masuk Lippo. Aku pergi. Meninggalkan jejakku dan jejaknya yang tetap membekas di sana. Siapa yang salah, mereka tidak saling mengetahui satu sama lain.
   
    Sekarang aku percaya, ini bukan sebuh kebetulan. Meski setiap pertemuan kita mungkin tidak menumbuhkan sebuah harapan, tapi aku tahu, jika saat ini aku merasakannya, suatu saat nanti kamu juga akan ingat dan merasakannya. Ini adalah takdir. Takdir yang mengharuskan aku bertemu denganmu di kota ini. Dalam tiga tempat yang berbeda, di waktu yang berbeda. Dan setiap takdir, mempunyai makna.
   

    Bertemu bukan berarti harus bersama.

                                                                                             TAMAT
Read More

Sabtu, 12 Januari 2013

Adakah Kebetulan yang Seindah Ini?

        Liburan. Liburan identik dengan kata menghabiskan waktu libur untuk berjalan-jalan atau berkunjung ke berbagai tempat. Tapi tidak semua orang menghabiskan waktu liburnya untuk pergi berlibur. Dan aku adalah bagian kelompok “identik” itu.

        Libur semester dua ini aku habiskan di sebuah kota yang sudah lama tak kukunjungi, Kendari. Sebuah Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara yang terkenal dengan julukan Kota Lulo. Lulo sendiri adalah salah satu tarian khas kota Kendari. Kota ini sekarang sudah berkembang pesat-- tentu saja, namanya saja Provinsi, pasti sudah terjadi otonomi daerah disini dan oleh “tangan-tangan penggerak”-nya kota ini disulap menjadi sebuah kota yang cukup manis. Keadaannya tentu berbeda telak seratus delapan puluh derajat dengan keadaannya enam tahun yang lalu, saat aku berkunjung untuk yang terakhir kalinya.

        Aku berlibur sendirian. Awalnya aku ingin tinggal di rumah sanak keluarga disini, tapi mereka tidak punya kamar lebih untukku dan aku tak mau merepotkan mereka semakin banyak, jadi  aku memutuskan untuk menginap di hotel saja. Dan Swiss-Belhotel adalah pilihanku, ya lebih tepatnya pilihan kedua orang tuaku—mereka bersikeras agar aku aman katanya. Sebenarnya aku kurang setuju, karena biaya menginap hotel ini sangat mahal untuk semalam saja-- berkisar jutaan rupiah-- dan memang pantas harga itu dipasang bila dilihat dari keadaan hotel ini, hotel yang juga masuk “nominasi” hotel terbaik se-Sulawesi Tenggara. Tentu saja aku tidak membantah, karena jujur saja aku sangat nyaman.

        Setiap bepergian aku diantarkan oleh pamanku. Katanya, walaupun Kendari kota kecil tapi kalau belum ngerti jalannya juga pasti kesasar. Dan aku tidak membantah.
   
       
        Hari pertama, aku ingin pergi mencari buku dan novel terbaru di salah satu toko buku yang letaknya di Rabam—salah satu tempat perbelanjaan yang belum pantas disebut Mal. Aku meminta Pamanku untuk tidak menungguku dengan alasan aku sangat lama dalam memilih buku apa yang harus kubeli, dan Pamanku menyetujuinya. Pamanku bilang Ia akan menjemputku setelah aku mengabarinya. Kami sepakat.
   
        Aku masuk ke toko buku itu dan langsung berjalan kea rah rak bertuliskan “Komputer”. Aku mencari sebuah buku tentang Algoritma. Ketika melihat dari kiri ke kanan dan bawah, aku menangkap wujudnya di rak paling atas. Dengan kapasitas tinggi 160 sentimeter tentu saja aku hanya bisa meraih-raih tapi tak teraih. Aku memangil petugas jaganya untuk mengambikannya.
   
        Setelah mendapatkan buku Algoritma, tujuan keduaku adalah novel terbaru. Aku berjalan ke rak bertuliskan “Novel”. Aku mulai melihat dari bagian best seller-nya. Dan kutarik sebuah novel di sana. Sebuah novel dengan sampul kamera dan tongkat peri TinkerBell berada dalam sebuah kotak. Goodbye Happiness, sebuah novel karya Arini Putri, salah seorang penulis yang aku sukai cara penuturan ceritanya setelah Morra Quatro. Tanpa ragu, kuambil novel itu dan kudekap di dadaku.
   
        Aku berjalan menyusuri rak dengan novel-novel yang berbaris rapi disana. Tangan dan mataku masih terfokus pada gadgetku yang berisi list novel baru. Ketika berbalik, aku melihat seorang cowok sedang memegang buku Chairul Tanjung, Si Anak Singkong.
   
        Jika dilihat dari postur tubuh bagian belakangnya; tubuh tinggi, postur yang terbentuk dan sedikit kekar, aku menafsirkan dia adalah seorang pemain basket. Masih kutatap punggung itu hingga Ia berbalik ke arahku. Dia melihatku, dan berjalan mendekat. Aku panik minta ampun ketika itu, aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Aku menunduk menatap ujung sepatuku, berpikir mungkin sebaiknya aku tersenyum saja padanya.
   
        Ketika Ia sudah berada satu meter di depanku aku tersenyum—walau sedikit dipaksakan. Dan ternyata… lewat. Dia melewatiku. Aku sangat malu saat itu. Apa dia melihat aku tersenyum padanya? Oh Tuhan, apa yang dia pikirkan tentangku? Gadis tak tahu malu kah?, jeritku sambil bertanya dalam hati.
   
        Untuk beberapa saat aku masih terdiam di tempat dan tersadar dengan bunyi gadgetku. Aku lalu melanjutkan untuk tetap memilih novel. Setengah jam kemudian, aku bergegas keluar dari toko buku dan menuju salah satu tempat bermain, sekadar untuk melampiaskan semua kelelahan yang kupendam selama ini. Tentang semua masalah yang yang hampir membuatku botak.
   
        Aku masuk kesana dan menukar uang dengan kartu bermain. Aku bermain dance-dance—yang  entah nama aslinya apa—yang jelas cara bermainnya dengan menginjak tombol arah di atas papan sesuai petunjuk di monitor. Aku tidak terlalu pandai bermain, yang jelas aku hanya bergerak sebisaku saja. Tapi tetap saja keringatku bercucuran karenanya.
   
        Setelah lelah bermain itu, aku terperangah melihat sosok cowok yang sedang bermain basket itu. Dia adalah cowok yang ada di toko buku tadi. Aku terus mencuri pandang kearahnya. Melihat keringat yang mengucur hingga kaos putihnya basah. Aku suka punggungnya. Punggung kokoh tapi terlihat nyaman.
   
        Aku pura-pura bermain mengambil boneka, agar tidak Nampak sedang memperhatikannya. Aku heran mengapa tanganku basah dan jantungku berdesir hebat ketika aku melihatnya tertawa selepas itu bersama temannya. Renyah dan menggelitik telingaku.
   
        Ketika Ia menuju tempat pertukaran tiket, aku juga pergi kesana. Tiketku yang terlebih dahulu dihitung dan Ia menunggu di sampingku. Aku tahu Ia sempat berbalik kearahku meski tak lama. Jantungku kini berdetak seperti keluar dari tubuhku. Entahlah mungkin pipiku sudah merah karena malu.
   
        “248, Mbak. Silahkan pilih dengan apa anda akan menukarnya”, jelas seorang petugas dari balik etalase kaca dengan sedikit nada banci.
   
        Aku mencoba mencari-cari sesuatu yang menarik, tanpa melepaskan kupingku untuk mendengarkan cowok itu. Dan aku memilih sebuah pulpen berbalut pita ungu dengan boneka Barbie di atasnya, tulisannya 246.
   
        “248, Mas. Silahkan dipilih”, ucap petugas bernada banci tadi pada cowok-yang-kutemui-tadi.
   
        Aku langsung menunjuk pulpen yang kupilih dan petugas itu memberikannya. Tiketku tersisa dua. Sementara cowok-yang-kutemui-tadi kulihat berhenti di antara miniatur orang bermain basket. Kalau tidak salah tertulis 248. Pas sekali.
   
        “Mau main lagi atau tiketnya saya kembalikan?”, tanya petugas itu padaku.
   
        “Balikin aja, Mas”, kataku cepat.
   
        Tiketku dikembalikan dua dan petugas itu melayani cowok-yang-kutemui-tadi. Setelah menerima miniaturnya, cowok itu langsung pergi menemui temannya dan keluar dari sana. Aku terdiam.



        This is the second.

                                                 bersambung ke Adakah Kebetulan yang Seindah Ini (END)
Read More

Rabu, 09 Januari 2013

Polaris

        Di atas atap rumah berbaring dua orang anak yang sedang memandangi langit ditemani rembulan dan segerombol bintang-bintang. Semua terlihat jelas dengan keadaan langit yang secerah itu. Matahari benar-benar menyinarkan cahayanya secara sempurna kepada sang rembulan.
       
        “Bintang yang itu terang banget!”, ujar Vega sambil menunjuk sebuah bintang.

        “Oh.. Itu Polaris”, tanya Sandi memecah keheningan.

        “Polaris?”

        “Iya. Polaris itu bintang yang selalu ada di langit utara. Kau tahu? Dulu pada tahun 1856, Polaris digunakan sebagai acuan magnitudo karena terlihat di semua observatorium di belahan langit utara. Bintang ini diberi magnitudo 2 dan bintang lainnya dibandingkan dengan bintang Polaris ini, begitulah menurut Pogson. Namun tahun 1911 Si Hertzspurg mendapatkan bahwa variabel cahaya polaris berubah-ubah—sekitar 0,1 magnitudo. Makanya sekarang, acuan magnitudo bukan lagi Polaris, melainkan bintang-bintang di berbagai daerah di langit hasil pengukuran Johnson dan Morgan pada tahun 1953”, jelas Sandi panjang lebar.
       
        Vega berusaha menyimak, menelaah satu persatu teori yang diungkapkan oleh Sandi.
       
        “Bentar deh San, aku belum ngerti. Magnitudo itu apa?”, tanya Vega. Semilir angin menyapu kulitnya, merangsang bulu-bulunya berdiri.
       
        “Kamu lupa ya, inikan pelajaran astronomi, Ve. Magnitudo itu ukuran terang bintang yang kita lihat atau terang semu bintang, hal ini karena faktor jarak yang harus diperhitungkan. Makanya kalau ada bintang yang tampak lemah cahayanya, itu bukan berarti benar-benar lemah cahayanya, karena mungkin saja bintang itu tampak lemah karena jaraknya yang jauh. Begitupun sebaliknya jika kamu melihat bintang yang benar benar terang, berarti itu karena jaraknya dekat”.
       
        “Kalau aku punya teropong, aku bisa melihat semua bintang sama terang, San?”, tanya Vega polos.
       
        Sandi melihat Vega, tersenyum lalu mengiyakan.
       
        “Aku ingin punya teropong San, biar bisa lihat bintang terus”.
       
        “Kamu kan udah punya kamera”, kata Sandi sambil mengerling pada kamera yang tergantung dileher Vega.
       
        “Tapi lensa kamera cuma bisa mengabadikan bintang jadi gambar foto San, ga bisa gerak, kalau pake teropong kan bisa juga lihat bintangnya berkerlip”.
       
        “Nanti kalo aku udah punya duit, aku beliin kamu teropong bias, buat lihat bintang”.
       
        “Teropong bias? Emang beda sama teropong lain? Hm… Memangnya ada berapa jenis teropong San?”
       
        “Teropong itu ada 2 jenis. Pertama teropong bias, seperti teropong bintang, nah teropong ini punya dua lensa, yang pertama lensa objektif yang menggunakan lensa cembung untuk membiaskan cahaya dan lensa okuler. Jadi kita bisa lihat benda yang jauh itu menjadi lebih jelas. Yang kedua, teropong pantul yaitu teropong yang menggunakan cermin cekung untuk membentuk bayangan”.
       
        “Hooaaaaammmmm.. Teropong apapun, yang jelas bisa buat lihat bintang deh”, Vega menguap, matanya mulai berkaca-kaca.
       
        Sandi masih menatap dalam ke langit. Ia seperti melihat lukisan wajah orang tuanya di antara gugusan bintang-bintang itu. Ia merindukan orang tuanya. Sudah 7 tahun mereka tak bertemu, karena maut yang merenggut nyawa kedua orang tuanya saat kecelakaan. Kecelakaan itu terjadi saat orang tua Sandi pulang dari luar kota. Mobil yang dikendarai ayahnya tak dapat dikendalikan dan terjatuh ke jurang. Mobil itu meledak, menghanguskan kedua orang tuanya. Sandi menangis histeris ketika mendapati jenazah orang tuanya yang hangus tak berbentuk lagi. Ada luka yang sangat dalam yang dirasakannya. Kini Ia tinggal bersama keluarga Vega, yang kebetulan adalah teman dekat ayahnya dulu.
       
        “Ve, apa kedua orang tuaku bahagia tanpa aku disana? Tidakkah mereka merindukanku?”, mata Sandy menyiratkan kepedihan mendalam.
       
        “Sandy… Jangan terlalu larut dalam kesedihanmu. Mereka malah tidak akan bahagia jika melihatmu terpuruk seperti ini. Ikhlaskanlah, mereka tidak pernah benar-benar meninggalkanmu. Mereka selalu ada di sini”, Vega menunjuk dada Sandy.
       
        “Sulit. Sangat sulit! Karena kamu ga pernah merasa apa yang aku rasain”
       
        Vega berbalik ke arah Sandi.“Aku ga pernah bilang mudah. Jika semua terlihat mudah, masihkah ada orang yang mau berjuang? Masihkah ada yang mau terjatuh sebelum bangkit?”
       
        Sandy terdiam. Vega benar. Tapi Ia tetap merasa sendirian.
       
        “See? Sekarang aku cuman sendirian Ve, aku ga tahu harus hidup untuk siapa!”, Ia tersenyum miris.
       
        “Kamu salah! Kamu hidup untuk dirimu dan orang-orang di sekitarmu, San. Kalau kamu berkata seperti itu kamu sama saja tidak menghargai kami, orang yang sangat mencintaimu. Kamu harus seperti Polaris itu, yang tetap berada di langit Utara meski tak banyak yang memintanya. Dan aku akan tetap memuja Polarisku… Kamu”.

        Sandy terpana dengan kata-kata Vega. Sekarang pikirannya terbuka, bahwa masih banyak yang menyayanginya dan menginginkannya, Vega salahsatunya. Ia melihat lukisan wajah itu lagi, yang tersenyum memandangnya diantara bintang-bintang. Ia tersenyum.


                                                                                    Ketika kamu merasa sendiri,
                                                                                    sesungguhnya kamu tidak pernah benar-benar sendirian.
Read More

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger