Senin, 31 Desember 2012

Kencan Setahun

    Malam menjelang pergantian tahun tidak begitu spesial bagiku. Jika hampir semua orang merayakannya, aku tidak. Aku tak pernah larut di dalamnya. Selain agamaku yang melarang perayaannya, aku juga tak suka jenis kegiatan di tempat yang ramai dan melibatkan banyak orang. Aku tipikal orang yang suka menyendiri, aku selalu punya kesibukan lain, misalnya di dunia Maya.
   
    Facebook menjadi salah satu jejaring sosial yang kugunakan, tempatku bertemu dengan orang-orang di seluruh penjuru dunia, teman-temanku juga menggunakannya. Kupikir cuman aku yang online malam itu, ternyata banyak juga yang lain. Aku melihat satu nama yang sangat tak asing bagiku; Fachri Algazali. Mantan pacarku. Lama aku lost contact dengannya. Mungkin tidak salah jika sekadar menyapanya.

    Silvia Johan: Hei
    Fachci Algazali: Hei. Ada apa?
    Silvia Johan: Emang ga boleh nyapa kamu?
    Fachri Algazali: Ya gapapa sih. Apa kabar?
   
    Aku merasa hatiku seperti melompat keatas kepala, menyisakan organ-organ lainnya tetap disana. Tuhan, dia menanyakan kabarku, jeritku dalam hati. Aku benar-benar bahagia dia masih menanyakan kabarku, berarti dia masih peduli padaku. Meskipun dia sudah menjadi sebuah puing masa laluku, tapi aku tahu bahwa aku tak bisa melupakannya. Semua yang sudah berlalu memang tidak akan pernah terlupakan, karena mereka tersimpan dalam memori.
   
    Silvia Johan: Buruk
    Fachri Algazali: Lho kok buruk?
   
    Pancinganku berhasil dan tepat mengenai sasarannya. Dan semakinlah aku dibuat girang olehnya. Jantungku seperti kembali pada masa-masa dulu, dimana kami masih pacaran. Aku tidak benar-benar jatuh cinta sekarang ini, aku senang, mungkin karena dalam waktu yang lama tidak ada yang memperlakukanku seperti ini; kesepian.
   
    Silvia Johan: Ya, buruk sendirian di rumah. Orang pada pergi tahun baruan semua. Bukan cuman home alone nih, jd home sick juga. Kamu apa kabar?
    Fachri Algazali: Ga jalan sama pacarmu?
    Silvia Johan: Aku ga punya pacar. Kamu kali?
   
    Tak ada respon cukup lama.
   
    Silvia Johan: Heiii!
    Silvia Johan: Ri?
    Silvia Johan: Fachri?
    Fachri Algazali: Ah, masa? Aku ga punya
   
    Sialan, lama banget balasnya, bikin panik, pekikku. Sifatnya masih sama seperti dulu, rese.
   
    Silvia Johan: Iya beneran
    Fachri Algazali: Kalo gitu aku temenin kamu aja deh ngehabisin tahun ini, hehehhe :*
   
    Emoticon KISS? Aku mengulum senyumku.
   
    Silvia Johan: Serius? Berarti kita bakal chattingan selama setahun dong :D
    Fachri Algazali: Hahaha iya juga ya.
    Silvia Johan: Tahun baru dimana sih kamu?
    Fachri Algazali: Di Bandung.
   
    Betapa shocknya aku waktu itu. Bisa-bisanya dia tidak mencoba menghubungi aku kalau dia pulang ke Bandung. Apa aku tidak penting baginya? Ya mungkin memang tidak.
   
    Silvia Johan: Oyaa? Kamu ga di Bali? Kok gak bilang sama aku kalo tahun baruan disini?
    Fachri Algazali: Aku ambil cuti libur, kangen sama Bandung. Udah lama ga pulang.
   
    Dia tidak merespon pertanyaanku yang terakhir. Dia mungkin tidak peduli. Aku jadi putus asa untuk melanjutkan chattingan ini.
   
    Fachri Algazali: Aku mau hubungin lewat mana? Lewat fb? Kamu aja jarang online.
    Silvia Johan: Iya sih hehehhe. Aku boleh minta nomor kamu?
    Fachri Algazali: Nih 089989022xxx. Miss call aja biar nomer kamu aku simpen.
    Silvia Johan: Udah?
    Fachri Algazali: Okey udah :)
    Fachri Algazali: Eh, 5 menit lagi.
    Silvia Johan: Eh iya! :D
    Fachri Algazali: Ga kerasa udah mau pergantian tahun lagi ya, perasaan kemaren kita masih pacaran.
   
    Jantungku berdebar cepat, menahan semua perasaan hati yang sudah kutampung selama ini. Sebulir air mata jatuh menyusuri pipiku, disusul berbulir-bulir airmata yang jatuh bebas. Betapa sesak hati ini. Hanya karena keegoisanku dulu aku malah melepaskan orang yang benar-benar mencintaiku, orang yang sangat sempurna, bahkan aku melakukannya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Aku terlalu kekanakan. Dan sampai sekarang, aku menyesal. Menyesali diriku sendiri. Sekarang apa? Semua hanya tinggal sebuah kenangan yang tidak akan bisa terulang sama seperti dulu lagi.
   
    Silvia Johan: Masih ngerasa kita pacaran? Maafin aku.
    Fachri Algazali: Lupain aja :)
   
    Nah! Dia mungkin sudah benar-benar melupakan. Atau dia hanya mengalihkan pembicaraan yang mengarah ke masa lalu? Sedalam itukah aku membuat guratan luka di hatinya? Jika iya, berarti akupun juga sudah menciptakan luka untuk diriku sendiri.
   
    Fachri Algazali: Belum ngantuk Sil?
    Silvia Johan: Belum, hehe. Kamu udah tepar?
    Fachri Algazali: Dikit :D.
    Fachri Algazali: Eh, udah 1 Januari 2011 nih. Be the best ya :*
   
    Ketika aku ingin membalas, ternyata dia sudah offline. Malam pergantian tahun yang benar-benar indah dan dihabiskan dengan seorang istimewa

31 Desember 2010 – 1 Januari 2011
Akan selalu kukenang sebagai sebuah “Kencan Setahun” yang selalu kurindukan; Darimu, Untukku.
Read More

Kamis, 27 Desember 2012

Ragu-ragu [END]

Cerita sebelumnya: Ragu-ragu II

    Setelah tiga hari berpikir, Popy memutuskan untuk berbicara langsung dengan Gilang. Mereka janji bertemu di sebuah kafe di bilangan kota. Popy datang lebih dulu. Lima menit kemudian Gilang datang. Suasana canggung seketika menyergapi mereka.

    Gilang masih memainkan jarinya. Popy berdeham dan menegakkan posisi tubuhnya, Ia siap berbicara, memberanikan diri memulai semuanya.

    “Lang, sebenarnya benar-benar lu kan yang punya nomor ini”, ungkap Popy sambil menyodorkan telepon selulernya. Gilang terdiam. Konflik batin dirasakannya.

    “Iya, punya gua”, ucapnya masih tak mau menatap Popy.

    “Kenapa beda? Hm, maksud gua kenapa sifat lu di nomor yang itu beda sama nomor lu yang pertama?”

    Gilang terperanjat. Ia tetap bungkam. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Mereka berdua benar-benar berbeda siang itu; serius.

    “Lang… apa lu yakin mau jadiin gua pacar lu?”, kata Popy lagi. Ia tak ingin semuanya jalan di tempat. Ia ingin semuanya maju, berjalan, dan tak ada yang terlewatkan.

    “Gua yakin”

    “Lang, lu punya dua kepribadian di setiap nomor yang berbeda”

    “Lu ga ngerti Pop”

    “Kalo gitu, buat gua ngerti!”

    “Gua suka banget sama lu. Gua berusaha nutupin semuanya dengan cara menjadi ‘rese’ sampai kita brantem mulu. Tapi sekarang perasaan itu nyiksa gua banget. Gua gak mau munafik lagi, gua mau lu jadi cewek gua”

    Popy menarik dagu Gilang dan menghadapkan ke wajahnya.

    “Lang, tolong yakinin hati lu sendiri dulu, apakah mereka sudah berhenti bertanya? Kalo lu ga nemuin lagi keraguan dan tanda tanya disana, temuin gua. Gua nunggu lu”.


                                                                                     TAMAT
Read More

Selasa, 25 Desember 2012

Ragu-ragu [II]

Cerita sebelumnya: Ragu-ragu

    Bagi Popy terlalu absurd jika Gilang (mungkin) membeli sebuah nomor baru yang digunakan khusus untuk menghubunginya. Hanya tak pernah terbayang saja, seorang Gilang akan melakukan semua ini. Entah ada maksud apa. Tapi Popy tidak mau merasa geer duluan, siapa tahu bagi Gilang ini hal yang biasa saja.
   
    Hampir setiap hari bahkan setiap jam mereka berkirim pesan via telepon seluler. Awalnya proses itu dinikmati oleh Popy, namun lama kelamaan Ia merasa ada yang janggal dan bebeda dari sifat Gilang saat menggunakan nomor ‘kedua’-nya itu.
   
    Gilang dengan nomor kedua-nya itu berbanding terbalik dengan sifatnya di nomor pertama. Dia sangat romantis, baik, lucu, tidak pernah marah, sangat manis, dan merekapun tidak pernah bertengkar saat berkirim pesan dengan nomor itu. Beda seratus delapan puluh derajatlah.
   
    Popy pernah menanyakan pada Gilang mengapa untuk menghubunginya harus dengan nomor kedua-nya itu. Gilang bilang karena nomor pertama-nya itu digunakan pada smartphone-nya yang sering dipinjam oleh teman-temannya, Ia tak nyaman jika semua pesannya dibaca oleh mereka. Jadi dikhususkanlah nomor kedua itu untuk menghubungi Popy.
   
    Popy lebih senang seperti itu, lagi pula kan itu privasi Gilang, tak pantas jika orang lain membacanya. Tapi yang masih sangat mengganjal adalah sifatnya. Sifat yang berkebalikan itu. Dalam hal ini, Gilang seperti berkepribadian ganda.
   
    Suatu hari Popy mengirim pesan ke nomor pertama Gilang, tapi seperti biasa, mereka berdua bertengkar lagi. Tapi saat mengirim pesan ke nomor kedua, Gilang malah bersikap baik dan manis. Popy di buat pusing oleh prilaku Gilang ini.
   
    Hingga suatu waktu dalam proses berkirim pesan mereka terjadi sesuatu yang tak terduga.
   
    “Eh, gua suka sama lu tau”, isi pesan yang dikirim Gilang ke Popy. Ia merasa sangat takut dan begitu degdegan. Apa yang akan Popy katakan tentangnya.
   
    “Sejak kapan? Sebenernya gua juga punya perasaan yang lebih buat lu, disbanding ke temen-temen yang lain”. Popy tersenyum puas. Hatinya seperti melambung jauh menembus atmosfer, dadanya dipenuhi ledakan. Tangannya basah karena jantungnya berpacu lebih cepat.
   
    “Sejak awal SMA ini”
   
    “Oh ya? Sama dong”. Sudut bibir Popy terangkat. Wajahnya merah. Gilang sudah meruntuhkannya.
   
    “Em, terus lu mau ga jadi cewek gua?”,  dikirimnya pesan itu dengan gereget dipenuhi ragu.
   
    Lima menit..
    Lima belas menit..
    Tiga puluh menit..
    Satu jam. Belum ada balasan dari Popy. Gilang semakin panik. Kenapa Popy tidak membalas sampai selama ini.
   
    Popy sendiri bingung dan tak habis pikir Gilang akan memintanya jadi ‘pacar’. Selama ini Popy belum pernah berpacaran. Jika harus jujur, memang Gilang-lah yang disukainya dan dinantinya untuk dijadikan seorang pacar pertama. Dan sekarang, Gilang sudah memintanya, apakah secepat ini dia akan mererima Gilang? Sementara hatinya masih menerka-nerka tentang kepribadian Gilang yang berbeda di kedua nomornya itu.


    “Beri gua waktu tiga hari buat mikir”.

                                                                   bersambung ke Ragu-ragu (END)
Read More

Minggu, 23 Desember 2012

Ragu-ragu

    Suara berat seorang Diva Indonesia, Anggun dengan Mimpi-nya memenuhi seluruh sudut ruangan dalam volume yang tak terlalu besar, tanda sebuah pesan masuk di telepon seluler Popy. Dinginnya angin dini hari menusuk hingga ke tulang membuatnya malah menarik selimutnya tinggi-tinggi hingga menutupi seluruh tubuhnya.  Rasanya begitu malas untuk bergerak mencari telepon selulernya. Semenit berlalu, kembali senyap.

    Tapi si pengirim pesan tidak kapok. Lima menit kemudian telepon seluler Popy kembali berdering. Ya, sekarang sudah dua pesan masuk. Popy mengalah. Ia menggeliat, berusaha meluruskan posisi tubuhnya. Ia mulai meraba-raba permukaan terpat tidur dengan mata terpejam, mencari suara Anggun yang membahana. Didapatkannya telepon seluler itu di bawah bonekanya. Ia membuka mata, membaca nama pengirim; Gilang, matanya membulat sempurna, bibirnya mencibir.

    “Woy, pemalas! Buku gua jangan lupa lu bawa ntar ke sekolahan, awas lu kalo lupa”

    Setengah mati Popy menahan untuk tidak berteriak. Mukanya merah dan sepertinya sebentar lagi akan muncul tanduk di kepalanya. Lagi-lagi Gilang mengajaknya ribut.

    “Kalo gua lupa mau apa lu hah?! Ngajak ribut lu ya”. Ia membalas pesan itu dengan cepat kemudian melempar asal-asalan telepon selulernya. Ia kembali menarik selimutnya.

    Baru saja Ia hendak tidur lagi, suara lantang memanggilnya. Kamarnya dibuka, selimutnya ditarik. Jendela kamar dibuka oleh Ibu, sinar mentario menerobos masuk ke dalam kamar. Menyilaukan.

    “Hei bangun pop, udah setengah delapan ini, Nak”, suara lembut Mama belum menghipnotisnya untuk beranjak. Ia malah meringkuk.
    “Popy! Lu mau bareng gua ga? Gua udah mau cabut nih”, suara teriakan Titan, kakak laki-laki Popy sangat membantu, Popy segera loncat dari tempat tidurnya, mengambil handuk dan mengikat rambutnya asal-asalan.
    “Tungguin gua, Bang!”, teriaknya dari dalam kamar mandi. Ibu yang melihatnya hanya menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan anak gadisnya itu.

    Lima belas menit kemudian Popy sudah siap. Ia berlari menuju tangga, dan meloncati tiga anak tangga sekaligus.

    “Bu, Si Abang mana?”, tanyanya dengan napas terengah-engah.
    “Baru aja pergi”, jawab Ibu tenang, masih serius mengoleskan selai coklat diatas roti tawar.
    “Hah? Terus aku naik apaan dong, Bu? Lagian juga Si Abang ga mau nunggu bentaran”, katanya kesal, bibirnya maju beberapa senti.
    “Daripada ngomel mulu, mending naik angkot aja, tuh udah jam 8, Nak”.

    Popy melirik arlojinya. Terlambat. Tanpa berpikir panjang Ia menyambar roti yang tersedia, berlari kencang ke pangkalan ojek.

    Sesampainya di sekolah, ternyata gerbang sudah ditutup. Ketika melihat penjaga tidak ada, dipanjatinya pagar sekolah setinggi 3 meter itu. Ia berhasil lolos, sekarang tinggal memikirkan bagaimana caranya masuk ke dalam kelas tanpa diketahui oleh guru.

    Ia berlari sekencang mungkin menuju kelasnya. Tiba-tiba… “BRRUUUKKKKKKK”. Ia bertabrakan dengan seseorang. Baru saja Ia hendak melarikan diri, tetapi tasnya ditahan oleh orang itu. Ketika Ia berbalik, ternyata penjaga sekolah.

    “Eh Bapak, maaf Pak, ga sengaja”, katanya sambil cengar-cengir.
    “Mau kemana kamu? Ayo ikut Bapak”, kata Penjaga Sekolah dengan muka garang.

    Popy dibawa ke Dewan Guru seperti akan disidang. Dan putusannya adalah Ia mendapat hukuman berdiri di tengah lapangan basket hingga bel istirahat. Sungguh miris.

                                                                                       ***

    Popy baru saja memasuki kelas, dan langsung menghantam kepala Gilang dengan buku tulis.

    “Makasih”, kata Popy sambil melengos pergi tak perduli dengan apa yang dikatakan Gilang padanya. Kedengarannya seperti sebuah cacian.

    Ia duduk di bangkunya dan mengorek isi sakunya bermaksud mengambil telepon selulernya, tapi tidak ada. Ia mulai mengobrak-abrik isi tasnya, tapi tak ada juga disana. Ia memutar kembali ingatannya, mencoba mencari petunjuk tentang keberadaan telepon selulernya. Ia mengingat terakhir kali melemparnya asal-asalan setelah membaca pesan Gilang. Ia berdiri, berjalan kea rah Gilang yang sedang bercakap dengan Tomy.

    “Gara-gara lo nih, gua sampe lupa bawa handphone”
    “Lho, kok gua? Kan yang punya handphone elu. Makanya, tuaan sih lu, pikun!”, Gilang menjitaknya.
    “Ya jelas lu lah, karena sms lu yang ga penting itu gua jadi ngelempar handphone gua asal-asalan”, bantahku tak mau kalah.
    “Oh lu curhat nih sama gua? HAHAHAH! Ternyata selain pikun, lu tuh ceroboh ya dan bisanya cuman nyalahin orang doang. Jelas-jelas itu salah lu sendiri. Nyadar Mbak!”
    “Siapa yang curhat sama lu, cih! Orang gua….”. Perkataan Popy terpotong saat guru fisika masuk. Segenap siswa pun langsung diam. Pelajaran berlangsung dalam hening.

                                                                                       ***

    Hari yang cukup sial untuk Popy, dan Ia menganggap semua kesialan itu dimulai dari Gilang. Mereka berdua tak pernah akur. Selalu saja bertengkar seperti Tom dan Jerry dalam serial kartun anak. Ia merasa sangat lelah hari ini, langkahnya menuju kamar sangat gontai.

    Popy langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan tarikan napas panjang. Tak lama kemudian, suara Anggun-Mimpi menggema memekik telinganya. Ia mencari sumber suara, dan menemukan telepon selulernya yang berada di bawah tempat tidur.

    Dibacanya sebuah pesan masuk dari nomor yang tak di kenalinya.


    “Siang”
    Tiada pencantuman nama atau keterangan lain dalam pesan itu. Ia penasaran, dan meladeninya.
    “Siang, tapi siapa ya?”
    “Gilang. Ini nomer gua yang lain, special buat ngehubungin lu”

    Matanya melotot membacanya. Speechless dan tidak menyangka. Gilang punya nomor lain? Spesial untuk menghubunginya?

                                                                bersambung ke Ragu-ragu II
Read More

Minggu, 16 Desember 2012

Couple Bald

    Pagi itu aku sedang berada di taman, duduk di atas kursi roda yang dengan penuh kutukan dan keterpaksaan kugunakan karena  kakiku masih terasa lemas dan belum mampu terbebani oleh berat badanku. Semilir angin pagi menyapu lembut wajahku. Aku menarik napas dalam-dalam untuk menghirup oksigen yang terkandung disana, kubuang karbondioksida yang dibutuhkan sang tanaman untuk membuat oksigen lagi. Tergambar indah layaknya simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan.

    Aku tak sendirian di taman itu, ada juga pasien-pasien lain. Ada yang di temani perawat, dan ada juga yang hanya sendirian sepertiku, duduk diatas kursi roda juga. Tapi diantara mereka, yang menjadi perhatianku adalah seorang gadis sebayaku yang sedang melukis bunga kamboja di hadapannya. Wajahnya agak pucat, tapi kecantikannya tetap terlukis lewat siluet wajahnya. Rambut panjangnya tergerai indah. Aku terus memperhatikannya.

    Beberapa menit kemudian, datang seorang pria berperawakan bidang, terlihat gagah dengan sebuket bunga di balik punggungnya. Dia menutup mata gadis-yang-sedang-melukis tadi dengan sebelah tangannya. Sang gadis meraba-raba wajah pria itu, dan seperti sudah menghafal si pemilik wajah, Ia menyebutkan namanya. Mereka berpelukan. Ah, sungguh romantis.

    Tak kusangka mereka akan berbalik ke arahku. Aku mengutuki diriku sendiri yang sedari tadi memandang mereka lekat-lekat. Aku tak tahu harus berbuat apa, aku hanya bisa tersenyum canggung. Mereka juga membalas senyumanku, tulus. Entah apa yang mereka pikirkan tentangku. Daripada semakin merasa tidak enak, aku memutuskan kembali ke kamar rawatku.

                                                                               ***

    Selama dua minggu ini aku tak pernah lagi ke taman karena baru saja menjalani operasi sinus yang ke tiga kalinya dan harus menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit. Ketika aku keluar dari kamar rawat diantarkan oleh perawat, aku melihat gadis-pelukis-yang-ada-di-taman-waktu-itu keluar dari kamar kelas 1. Rambutnya tak lagi sepanjang waktu dulu, kini guntingannya pendek se-leher dan lebih tipis dari waktu itu. Aku penasaran. Aku putuskan menyuruh perawat mengantarku ke taman, aku ingin melihat gadis itu lagi.

    Setibanya di taman, aku menyuruh perawat yang mengantarku tadi pergi. Mataku kembali memperhatikan gadis pelukis itu, Ia seperti menggenggam helaian-helaian rambut. Dia mendapatiku lagi dan melambai, aku tersenyum, beringsut mendekatinya.

    Kami kini saling tatap. Betapa kecantikannya benar-benar terpancar dengan radius dekat seperti sekarang ini. Aku mengulurkan tanganku, berkenalan. Disambutnya dengan ramah. Aku kagum, ternyata bukan hanya wajahnya yang cantik, melainkan hatinyapun cantik. Dari cara bertuturnya, tatapan matanya, dan senyumannya, aku bisa melihat jiwa pejuang besar yang terpancar dari dirinya. Ia bilang, namanya Icha.

    Aku masih penasaran, sakit apakah dia?

                                                                               ***

    Semakin lama mengenal Icha, semakin kutahu tentang gadis itu, juga penyakitnya. Kanker. Itulah penyakit yang menyebabkan Icha harus menjalani chemotherapy dan radiasi yang membuat rambutnya terus menerus rontok dan akhirnya gundul sekarang. Tapi dia tak malu harus kehilangan mahkota terindahnya itu. Baginya, bukan mengenai berharganya suatu keindahan yang kita miliki, melainkan betapa kita mensyukuri jika kita tetap terlihat indah tanpa mereka. Sungguh gadis pejuang.

    Kekagumanku bukan hanya terletak pada perjuangan Icha yang tiada henti. Tetapi juga pada kekasihnya. Kekasihnya yang sungguh sangat setia menemani Icha. Kakasih yang menerima apa adanya. Tak banyak pria seperti itu di zaman sekarang. Bayangkan saja, pria mana yang mampu menemani kekasihnya setiap saat? Dia bahkan sudah menjadi kaki saat Icha tak mampu berjalan, menjadi tangan ketika tangan Icha sudah tidak bisa bergerak, menjadi penyokong ketika Icha terjatuh dan masih banyak lagi. Kesabaran yang tiada tara. Semuanya tak pernah terlihat mudah, aku tahu itu.

    Icha pernah menceritakan padaku soal kekasihnya.  Ia bilang kekasihnya itu seperti malaikat, yang hampir tak pernah menyakiti hati Icha. Bahkan Icha bilang, dia sangat takut jika suatu saat ketika kanker itu menyerang otaknya, Ia tak bisa lagi mengingat semua kenangan mereka berdua. Kenangan yang bahkan akan Ia mengemis pada Tuhan agar tetap Ia bawa sampai mati.

    Mengapa dengan sisa umur yang lebih pendek, cinta yang mereka miliki sangat besar dibanding dengan orang sepertiku, yang bahkan masih diberi umur panjang dan bisa sembuh dari penyakit sinus? Mungkin karena mereka tahu, waktu yang mereka miliki tidak banyak untuk tetap bersama. Kita yang justru sehat bugar seperti sekarang ini malah membuang waktu yang begitu berharga.

                                                                               ***

    Suatu ketika, Icha sedang melukis di taman, aku memandanginya dari kejauhan. Objeknya air mancur kolam ikan yang Nampak berkilau terbias sinar matahari yang menghasilkan warna pelangi. Aku bisa merasakan ketakutan terbesar yang tersembunyi dibalik ketegaran itu. Bukan ketakutan untuk kembali, tapi ketakutan untuk kehilangan semuanya.

    Aku kaget setengah mati ketika melihat kekasih Icha berjalan mendekati Icha dengan penampilan berbeda. Ia menggunduli kepalanya. Kini mereka berdua terlihat sama, sama-sama tidak memiliki rambut. Rasa haru menjalariku. Aku menangis, melihat semua pengorbanan yang dilakukan kekasih Icha. Ia melakukan apa saja agar bisa merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Icha.

    Icha terguncang, betapa berharga dia bagi kekasihnya. Sangat berharga. Ia menangis, memeluk kekasihnya itu.

    Aku salut atas apa yang mereka miliki. Cinta, kesetiaan, pengorbanan, kesabaran dan perjuangan, semuanya bukan untuk dilalui sendiri, melainkan mereka lalui berdua.

Read More

Rabu, 12 Desember 2012

Orang yang Salah

“Lebih baik menunggu orang yang tepat, daripada terus bersama dengan orang yang salah”


    Dadaku tertohok. Layaknya ada batu yang mengenai hatiku dengan sekali hantaman. Napasku sesak memburu. Mataku serasa panas, tak kuasa menahan tangisku. Lututku tak mampu lagi untuk menanggung beban tubuhku, aku jatuh terduduk. Tersungkur atas ketidakkuasaan untuk bertahan. Tak pernah ingin kubayangkan kau akan mengatakan ini. Aku pikir kau tak akan pernah bisa, tapi ternyata aku salah. Kau sungguh kejam.

    Orang yang salah, sebutan untukku yang telah menemanimu selama bertahun-tahun. Mengukir segala kenangan yang kini tinggal kenangan. Dimana janji kita? Janji untuk terus bersama selamanya, dalam keadaan apapun. Mungkin memang janji itu tidak untuk direalisasikan, atau mungkin akan terealisasi hanya pada waktu yang sudah digariskan oleh Sang Pemilik Cinta Sejati? Aku tak tahu.

    Bagiku, kau mengataiku “orang yang salah” hanya karena kau yang menganggap aku adalah orang yang salah. Kau tak pernah benar-benar menerimaku. Menerima segala kekurangan dan kelebihanku. Aku tidak sempurna, aku adalah aku. Kupikir suatu hubungan akan terasa sempurna jika saling melengkapi, tapi pikiranmu berbeda. Pikiranmu labil, seperti kanak-kanak.

    Sekarang, kau memilih untuk menunggu seseorang yang tepat. Seseorang yang entah berantah ada dimana yang belum pasti dapat kau perjuangkan. Seseorang yang mungkin tidak akan menerimamu seperti aku. Seseorang yang tidak akan sama sabarnya denganku, karena dia bukan aku.

    Kini kau bertahan dengan egois sikapmu. Mengangkat kepala seolah-olah aku hanyalah sampah yang sudah kau buang. Aku malu. Aku malu karena aku tak mampu melakukan hal yang sama padamu. Aku terlalu mencintaimu. Sudah terlanjur kuberikan seluruh jiwa dan ragaku ini. Harga diriku seperti kau injak-injak sekarang. Bahkan jika kau tahu, hatiku yang telah kau hancurkan ini masih dapat bertahan dengan sisa serpihan hati yang ada.

    Tapi aku tak ingin kelihatan lemah di hadapanmu. Aku bangkit dengan sisa kekuatan yang ada, masih dengan rasa cinta yang sama tapi kini mulai beradu dengan rasa malu dan kebencianku. Cukup sudah kubiarkan kau menghancurkanku. Meskipun sulit, akan kucoba melakukannya sebaik dirimu.

    Akan selalu kuingat kau menyebutku sebagai orang yang salah.
Read More

Senin, 03 Desember 2012

Keyakinan, Sang Pemisah?



    Dia menungguku. Baru saja aku masuk ke kelas itu dan belum sempat bersuara, dia langsung mengangkat suaranya lantang, memanggilku. Aku berjalan ke arah suara yang sangat kukenal selama beberapa tahun ini. Matanya sembab, wajahnya merah-mungkin karena lama menahan amarah, air matanya masih terus mengalir. Aku masih mengingat pesan yang dikirimnya semalam. Tentang kekasihnya, tentang hubungan mereka tak baik akhir-akhir ini. Aku tahu beban yang ditanggung sahabatku ini tidak ringan. Masalah perbedaan agama yang melatarbelakangi semuanya.

    Awalnya, mereka saling bertemu dalam sebuah forum yang sama-sama mereka geluti. Rasa suka mulai timbul sejak mereka harus terus bersama-sama sebagai seorang moderator dan notulis yang tak pernah terpisahkan tugasnya. Tak lama, rasa cinta mulai timbul di hati keduanya, mereka tau bahwa mereka berbeda keyakinan, tetapi ketika cinta bertindak semua akan terjadi.

    Aku ingat betul,  dulu sahabatku pernah menunggu kekasihnya saat sholat di dalam mesjid, Ia duduk sabar bahkan juga terlihat khusyuk dalam menggenggam salibnya. Salib dan tasbih yang sama-sama meminta kepada Tuhan dalam makna dan tujuan  yang sama, meminta terus dipersatukan. Entah kesabaran macam apa yang mereka berdua miliki dalam menjalin hubungan cinta dengan perbedaan keyakinan.

    Tapi, hubungan mereka selama 4 tahun ini tak pernah begitu mulus, selalu saja ada masalah di dalamnya. Pernah suatu waktu, ketika sahabatku pergi ke gereja ditemani oleh kekasihnya,  semua orang dalam gereja kaget melihat sahabatku menggandeng seorang pria yang menggunakan baju koko dan peci. Saat itu semua orang berbisik-bisik melihat mereka berdua. Aku juga ada disana, melihat mereka, berusaha tidak memikirkan sesuatu yang dipikirkan orang-orang disana. Mimik kekasihnya tak baik saat itu, Ia pasti merasa diasingkan, akhirnya Ia memutuskan untuk menunggu sahabatku diluar gereja.

    Sejak kejadian itu, sang kekasih tak pernah menghubungi sahabatku lagi. Ia juga sepertinya sengaja menghindar saat di forum. Sahabatku tahu penyebabnya dan merasa harus menyelesaikannya, Ia tak mau terus dijauhi, hingga akhirnya Ia memutuskan untuk mendatangi kediaman kekasihnya itu.

    Setibanya di rumah sang kekasih, mereka berbincang dan meluruskan masalah itu. Dan sahabatku diperkenalkan kepada kedua orang tua kekasihnya. Orang tuanya kaget setengah mati ketika melihat sebuah salib yang menggantung di leher sahabatku. Tak tanggung-tanggung mereka langsung mengusir sahabatku dan melarang keduanya untuk berhubungan lagi.

    Satu minggu setelah itu aku dikirimi pesan oleh sahabatku, tentang berakhirnya hubungan mereka. Orang tua kekasihnya tidak menyetujui hubungan mereka. Memang sulit untuk mempersatukan dua orang yang berbeda latarbelakang keyakinannya.

    Pada akhirnya memang harus ada yang di korbankan untuk menyatu, entah itu salib atau tasbih. Sahabatku juga ingin tetap pada keyakinannya memeluk agama kristen. Kekasihnya juga tak bisa meninggalkan keyakinannya, Islam. Masing-masing masih memegang teguh keyakinannya. Mungkin jika tak bisa mempersatukan keyakinan, hubungan merekalah yang harus dikorbankan.
Read More

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger