Kamis, 15 November 2012

Dansa Bersama Bintang


    Di atas bukit di temani ribuan bintang dalam kelabunya langit, angin berhembus menembus dimensi ruang mengajak dedaunan bernari-nari memacu asa saling beradu. Kami sedang duduk berhadapan, saling memandang dalam bungkam.
    "Dingin ya?", tanyanya.
    Aku mengangguk malu. Wajahku terasa panas. Rasanya seluruh darahku mengalir ke kepala karena jantungku yang bereaksi dan berdetak sangat cepat.
    Ia melepas jaketnya dan mengenakannya padaku. Lalu, Ia merapatkan kedua telapak tangannya, mengadunya dalam arus bolak-balik sehingga menghasilkan panas, kemudian meletakkannya di pipiku.
    "Hangat", aku tersenyum dan melapisi tangannya dengan tanganku.
    "Keenakan ya", dia mendengus dan tergelak.
    Kuhempaskan tangannya kesal dan kujitak kepalanya. Ia ngakak. Aku lari ke balik pohon, dia mengejarku, mendapatku dan menggelitik, aku menggeliat, mencoba melepaskan diri dari serangan tangan nakal yang bertubi-tubi.
    Kami tertawa keras. Dia lalu merangkulku. Aku terdiam. Aku merasakan kehangatan yang menjalari seluruh tubuhku dalam kerapatan yang terjadi.

    Kami berbaring di atas rerumputan, menengadahkan kepala, menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit malam itu.
    "Kau suka bintang?", tanyanya dan melihatku.
    "Ya, aku suka"
    "Baiklah, apa kau mau bermain?"
    "Main apa?"
    "Err, apa ya namanya? Aku tak tahu pasti. Kau ikuti sajalah"
    "Oke", aku menerima tantangannya.
    "Gini, pertama, pikirin satu orang yang paling kau cintai"
    Aku berpikir, dan menatapnya.
    "Udah belom?", tanyanya membuyarkanku.
    "Eh udah kok!", setengah panik kujawab karena tertangkap basah sedang melihatnya dalam.
    "Kedua, lihat ke bintang, trus ilustrasikan bintang-bintang itu jadi inisial orang yang kau cintai. Seperti ini", Ia menunjuk-nunjuk bintang.

    Semenit kemudian Ia memutar lagu David Cook - I Don't Wanna Miss A Thing, tak memperdulikanku dan larut dalam musiknya. Aku mendengus, lalu aku mulai menunjuk-nunjuk bintang, mengombinasikannya menjadi sebuah huruf inisial orang yang kucinta. Ilustrasi bintang-bintangnya hampir sempurna membentuk huruf R. Ray.
    "Huruf apa itu?"
    "Inisial orang yang kucintalah! Bukannya kau yang menyuruhku melakukannya?!"
    "Pasti inisial makhluk tak jelas yang ada di masa lalumu kan?", terpanya masa bodoh.
    "Apa maksudmu? Mantanku ha? Jangan ngaco deh! Negatif mulu"
    "Ya, memang seperti itu. Tak usah mengelak!"
    "Ray, kau tahu? Aku benci saat seperti ini, ketika masa lalu harus menjadi penyebab pertengkaran antara aku dan kau yang berada di dimensi ruang dan waktu yang sudah jelas berbeda dengan mereka, kita berada di masa kini, biarkan saja para mantanku itu menjadi memori masa lalu yang dijadikan pelajaran untuk menata masa kini dan masa depan", sanggahku.
    "Oh, jadi kau sudah berhasil move on ya?"
    "Tentu saja! Aku sudah move on sejak.....", kalimatku terputus. Aku tak rela mengutarakan bahwa dia-lah alasanku berhasil membuka lembaran cinta yang baru.
    "Hahahahhah!", Ray tergelak, tak peduli dengan apa yang ingin kusampaikan lagi. Setelah itu terdiam serius. Menatap bintang lagi.
    "Eh ngomong-ngomong soal bintang ya, kita lombaan aja nunjuk bintang kesukaan kita yuk!", aku mengajukan tantangan.
    "Ayo! Itu mah kecil, preeeeet!"
    "Aku hitung ya, Satu......dua.......tiga!".

    Aku menunjuk bintang yang bersinar paling terang, sedangkan telunjuk Ray tertuju pada bintang yang sinarnya redup.
    "Kau ini, mengapa kau pilih bintang yang paling terang?", ucapnya dan langsung bangun mendekat padaku.
    "Ya, karena cahayanya lebih terang, beda sama yang lain", jawabku standar.
    "Denger ya bodoh, bintang yang paling terang itu adalah bintang yang paling cepat mati"
    "Haaa? Kok bisa, mereka kan...", aku speechless, tak tahu ingin berkata apa, aku bukan pecinta astronomi sepertinya. Salah kata, aku bisa dapat siraman teori darinya. Lebih baik aku diam saja.
    "Bintang yang cahayanya paling terang itu paling cepat mati karena bintang itu arena suhunya paling tinggi dan terbakar dengan cepat. Kalau masanya sudah habis, dia akan meledak dan menjadi black hole atau lubang hitam", jelasnya padaku.
    "Oh begitu ya, makanya kau memilih bintang yang cahayanya redup?"
    "Tentu saja. Aku ingin hidup lebih lama, ingin selalu menjadi bintang yang tak pernah meninggalkan langitnya", ucapnya dengan mata berbinar.
    Aku tersenyum dan melihat bintang yang ditunjuk Ray tadi. Tiba-tiba jemariku disergapi kehangatan dari tangan lain yang kekar, Ray menggenggam tanganku.

    "Mau berdansa?", ajaknya.
    "Tentu".
    Dia meletakkan tangannya di pinggangku, dan kedua tanganku di tengkuknya. Kami bergerak mengikuti arus, seirama dengan detak jantung kami.
   
    Malam itu kami habiskan dengan berdansa.


Cerpen ini telah dibuat parodinya oleh teman saya Rahmat Syawal yaitu Dansa Di Bawah Pohon.
Read More

Selasa, 13 November 2012

TARI YAKU, KAOGE SAKU

Tari yaku, kaoge saku adalah judul dalam bahasa Wolio yang berarti Tarianku, Kebanggaanku. Cerpen ini saya ikutkan pada lomba menulis cerpen remaja tingkat SMA/MA Se-Kota Baubau. Dan alhamdulillah masuk nominasi 10 besar. Meskipun belum juara, tapi saya tidak akan putus asa untuk terus mengembangkan hobi menulis saya. Okey, berikut cerpennya.


     Suara  tabuhan  gendang  berirama  menggema  di  seluruh  sudut  ruangan.  Efa,  Hilda,  Riska,  Rahma  dan  Fira  dengan   lenggaknya  memperagakan  gerakan-gerakan  tari  Kalegoa. Alin  yang  sedang  duduk  di  atas  kursi  roda   memperhatikan  dengan  seksama.  Perlahan  rasa  bersalah  menyelimuti  hatinya.  Dilihatnya  gips  yang  kini  membungkus  kaki  kanannya.
    “Seandainya  kecelakaan  itu  tidak  perlu  menimpaku,  seandainya  aku  tidak  perlu  mengendarai  motor  sendiri,  seandainya  aku  terus  berkonsentrasi  pada  jalanan  di hadapanku,  seandainya  tidak  ada  kendaraan  lain yang  juga  ugal-ugalan.  Ah!  Sudah  terlalu  banyak   seandainya!”,  pekiknya  dalam  hati.
    Riska  yang  selesai  melakukan  gerakan  berputar,  mendapat  wajah  masam  Alin  yang  tertunduk.  Riska  tahu  pasti  Alin  sedang  memikirkan  kecelakaan  motor  dua  hari  lalu  itu  lagi.

    Riska  yang  pada  waktu  itu  juga  sedang  di  perjalanan  menuju  rumah  tiba-tiba  mendapat  sms  dari  Ibu  Alin  yang  mengatakan  bahwa   Alin  ditabrak  mobil  trek.  Riska  sangat  panik  dan  segera  menghubungi  anak  sanggar  yang  lain.  Diapun  segera  memutar  balik  mobilnya  menuju  rumah  sakit.
    Ibu  Alin  sedang  sesegukan  ketika  Riska  tiba  di  rumah  sakit.  Efa  sudah  tiba  disana  lebih  dulu,  dan  sedang  merengkuh  tubuh  Ibu  Alin,  mencoba  menenangkan  beliau.  Riska  menatap  pintu   ruang  UGD  yang  masih  saja  tertutup.  Tak  lama  kemudian  Hilda,  Rahma  dan  Fira  dating,  setengah  berlari  mendekat.
    “Bagaimana  keadaan  Alin?”,  Efa  menatap  Riska,  napasnya  masih  terengah-engah.  Ditatapnya  Ibunda  Alin  yang  sesegukan,  lalu  menatap  lurus  pintu  UDG  yang  bergeming.  Efa  menyerah.  Ia  tahu  jawabannya  dan  mengambil  posisi  duduk  di  samping  Hilda.
     Kurang  lebih  setengah   jam  berikutnya,  keluar  seorang  pria  paruh  baya  berjas  putih  dengan  kacamata  yang  bertengger  di  ujung  hidungnya  dari  ruang  UGD.  Sontak  kami  semua  berdiri. 
    “Bagaimana  keadaan  anak  saya,  Dok?”
    “Dia  belum  sadarkan  diri,  Bu.  Kaki  kanannya  patah,  mungkin  karena  tertimpa  motor  pada  saat  kecelakaan  itu,  tapi  kami  sudah  menanganinya.  Dan dia  harus  dirawat  inap  tiga  sampai  empat   hari  di  sini”.
    “Alin  tidak  perlu  kehilangan  kakinya  kan, Dok?”,  ucap  Hilda  panik.
    “Tentu  tidak.  Kami  sudah  memasang  gips  di  kakinya  dan  itu  akan  memperbaiki  keadaan  tulangnya  yang  patah  seperti  semula.  Hanya  saja  ini  akan  memakan  waktu  empat  bulan.  Setelah  itu,  baru  akan  dijalankan  terapi  untuk  berjalan  agar  kakinya  terbiasa.”
    “Empat  bulan,  Dok?  Apa  tidak  bisa  lebih  cepat  lagi?”,  kini  Riska  yang  berbicara.
    “Sebenarnya  semuanya  tergantung  proses  pemulihannya.  Jika  tulangnya  cepat  pulih,  berarti  akan  lebih  cepat  juga  Alin  bisa  berjalan”.
    “Apa  sekarang  kami  bisa  menengoknya,  Dok?”,  tanya  Ibu  Alin.
    “Iya,  silahkan.  Saya  permisi  dulu”.
    Riska  mendorong  pintu  bagi  Efa  dan  Ibu  Alin,  Rahma,  Fira  dan  Hilda  menyusul di  belakang.  Ibu  Alin  duduk  di  kursi  samping  tempat  tidur.  Ia  menggamit  tangan  anaknya  yang  kini  pucat  dan  dingin.  Dikecupnya  tangan  itu  lembut.  Tak  ada  aroma  parfum  Britney  Fantasy  di sana,  yang  tercium  hanya  aroma  khas  rumah  sakit.  Air  mata  beliau  pun  tumpah ruah,  tak  ada  suara,  bahunya  terguncang  keras.
    Riska  memeluk  Ibu  Alin.  Ibu  Alin  sudah  seperti  ibu  kandung  mereka  sendiri.  Beliau  lah  Ibu  sekaligus  pelatih  di  sanggar  tari  mereka,  juga  seorang  pewaris  gerakan  tarian  dari  kakek  Alin—sang  pendiri  sanggar  tari.  Ibunda  Alin  sengaja  meneruskan  sanggar  tari  tersebut  agar  tari-tarian  Buton  warisan  leluhur  tetap  dilestarikan  oleh  generasi  muda.  Beliau  yakin  bahwa  masih  ada  anak  muda zaman  sekarang  yang  tertarik  untuk  mempelajari  tarian-tarian tradisional.
    “Terima  kasih,  Nak.  Kalian  pulang  saja  nanti  orang  tua  kalian  khawatir,  Bunda  ga  enak”,  ucap  Ibu  Alin  pelan  sambil  mengusap  air  matanya.
     Mereka  bertukar  pandang  dan  akhirnya  mengalah.  Mereka  menyalimi  Ibu  Alin dan  pamit  pulang.  Keluar  dari  ruang  UGD,  Hilda  membuka  percakapan.
“Kasihan  Bunda”,  ucap  Hilda  parau.
      “Iya,  padahal  kan  Alin  anak  satu-satunya.  Cuma  dia  harapan  Bunda  untuk  nerusin  sanggar  lagi dan…jadi  penari  tentunya”,  tambah  Rahma.
    “Hussh!  Kalian  ini  ngomong  apa!  Optimis  dong,  Alin  bisa  sembuh  kok!  Aku yakin  nanti  Alin  bakal  jadi  penari yang hebat”,  ucap  Riska  berkoar-koar.
    “Dan  kita  juga!”,  timpal  Efa  dan  Fira  bersamaan  sambil  tersenyum.
    Mereka  berlima  kemudian  pulang  ke  rumah  masing-masing.

    Selama  tiga  hari  dirawat  inap  di  rumah sakit,  akhirnya  Alin  bisa  pulang.  Ibunda  Alin  menyiapkan  barang-barang  Alin untuk  dibawa  pulang.
     “Ibu,  maafin  Alin”,  suaranya  tercekat,  Ia  tertunduk.
     “Maaf  atas  apa,  Nak?  Alin  ga  salah  apa-apa  sama  Ibu”.
     “Tapi  Alin  udah  ngancurin  harapan  Ibu.  Alin  ga  bisa  nari  lagi  dengan  kondisi  kaki  seperti  ini,  Bu.  Kaki  Alin  masih  lama  sembuhnya,  sementara  Festival   Pulau  Makassar  udah  dekat,  Bu”,  ujar  Alin putus asa.  Hatinya  sakit  bila  harus  mengecewakan  Ibunya.
     “Alin  pasti  sembuh.  Alin  harus  sembuh  buat  Ibu  yah”,  ucap  Ibu  Alin  pelan  lalu  merengkuh  tubuh  putrinya  itu.
     “Alin  janji  akan  menjadi  seseorang  nantinya.  Hanya  untuk  Ibu”.  Alin  mengeratkan  pelukannya.

     Hari  demi  hari  berlalu.  Sudah  selama dua  bulan  Alin  terduduk  di  kursi  roda.  Dan  selama  itu  pula  para  penari  di  sanggar  tari  milik  Ibunya  semakin  rutin  untuk berlatih  gerakan  tari-tari  tradisional.  Mulai  dari  tari  pertunjukan  seperti  tari  Linda  dan  tari  Kalegoa,  tari  pergaulan  seperti  tari  Alionda,  tari  Wabelo  dan  tari Bosu,  dan  tari  hiburan  seperti  tari  Lariangi.  Kebanyakan  tarian  ini  melibatkan  remaja  putri.  Hanya  tari  Alionda  yang  termasuk  tari  berpasangan.
     “Baiklah  anak-anak,  sekarang  Bunda  akan  memilah-milah  kalian  untuk  masuk  dalam  tarian  apa  nantinya.  Efa,  Hilda,  Rahma,  Riska,  Fira,  dan  Alin,  kalian  khusus  menjadi  penari  tari  Kalegoa…”
     “Maaf  Ibu,  Alin  kan  ga  bisa  nari”,  Alin  memotong  pembicaraan  Ibunya.
     “Masih  ada  waktu  satu  bulan  lagi, Lin.  Ibu  yakin  kamu  bisa  sembuh  dalam  kurun  waktu  itu.  Lagipula  Alin  udah  hafal  gerakan  untuk  tari  Kalegoa”,  tutur  Ibunya  lembut.
     “Iya  Bu,  tapi…”  omongannya  kembali  tertelan  melihat  senyum  pengharapan  dari  Ibu  dan  teman-temannya.
     Alin  belajar  optimis  ketika  semua  tumpuan  harapan  itu  dijatuhkan  padanya.  Meskipun  Ia  sendiri  tak  yakin  akan  sembuh  secepat  kilat.  Ia  tersenyum  miris melihat  kakinya  yang  dibalut  gips.  Masih ngilu  bila  dipaksa  untuk  bergerak, gumamnya dalam hati.

     Setiap  usai  latihan,  Ibu  Alin  menyempatkan  untuk  mengantar  Alin  ke  rumah  sakit  untuk  mengontrol  perkembangan  kakinya.  Dan  hari  ini,  gips  di  kaki  kanan  Alin  akan  dibuka.
     “Kaki  Alin  sebentar  lagi  sembuh,  dan  kembali  normal.  Hanya  perlu  latihan  berjalan.  Mungkin  pada  saat  berjalan  memang  masih  ngilu  dan  sering  kram,  tapi  Alin  harus  lawan  rasa  sakitnya  agar  kakinya  terbiasa”,  ujar  Dokter.
     Alin  tersenyum  bahagia.  Sebentar  lagi  kakinya  akan  sembuh.  Itu  tandanya  dia  bisa  menari  lagi  dan  turut  memeriahkan  Festival  Pulau  Makassar.  Baginya,  itu  adalah  sesuatu  hal  yang  bisa  membuatnya  bangga  karena  bisa  memamerkan  tari-tari  tradisional  Buton  kepada  masyarakat  setempat  maupun  masyarakat  pendatang.

     Kurang  dari  satu  minggu  lagi  pembukaan  Festival  Pulau  Makassar  berlangsung.  Riska  dan  penari-penari  lainnya  sedang  memperlancar  lagi  gerakan  tari  Kalegoa.
Sebenarnya  tari  Kalegoa  adalah  suatu  tari  tradisional  yang  menggambarkan  suka  duka  gadis-gadis  Buton  sewaktu  dalam  pingitan  atau  posuo  dengan  spesifikasi  berupa  gerakan  memakai  sapu  tangan.  Posuo sebagai suatu arena tempaan adat bagi mereka yang diikat dengan aturan dan tata krama serta sopan santun yang ketat untuk meninggalkan masa kegadisan bebas dan gembira karena telah dewasa dalam tempaan serta siap menerima kenyataan hidup.
     “Hai  semua”,  sapa seseorang  dari  ambang  pintu.
     Semua  mata  mencari  sumber  suara,  mendapati  bahwa  pemiliknya memasang  cengiran  kelinci.  Alin  berdiri  dengan  kedua  kakinya  tanpa  kursi  roda  lagi.
     “Ayo  kita  latihan,  waktunya  udah  mepet  banget  nih”,  ujarnya  sangat  ceria.
     Semua  orang  masih  terdiam  memperhatikannya,  tapi  sang  penabuh  gendang  mulai  menabuh  lagi  gendangnya.  Alin  pun  segera  masuk  kedalam  barisan  dan  melenggakkan  badannya  memperagakan  tari  Kalegoa.  Teman-temannya  pun  langsung  mengikuti.   Mereka  sangat  lincah.  Alin  sangat  bahagia  bisa  kembali  membaur  dalam  kelompok  tarinya.  Ia  tentu  saja  berharap  bisa  menampilkan yang  terbaik  nantinya.

     Di  ruangan  kecil  dengan  cahaya  temaram,  Alin  sedang  menatap  dirinya  lekat  dalam  sebuah  cermin. Wajahnya  dipoles  dengan  make  up  yang  khas,  rambut  panjangnya  yang  biasanya  terjuntai  kini  disanggul,  Ia  juga  mengenakan  pakaian  adat  Buton—baju  Kombo.
    Baju  Kombo  adalah  pakaian  kebesaran  kaum  wanita  Buton.  Bahan  dasar  baju  adalah  kain  satin  dengan  warna  dasar putih,  penuh  dihiasi  dengan  manik-manik,  benang-benang  berwarna  yang  biasanya  terdiri  dari  benang  emas  atau  benang  perak  serta  berbagai  ragam  hiasan  yang  terbuat  dari  emas,  perak  maupun  kuningan.
    Pakaian  ini  terdiri  dari  satu  pasang,  bagian  atasan  adalah  baju  dengan  bawahan  sarung  yang  disebut  Bia  Ogena  (sarung  besar).  Bia  Ogena  adalah  sarung  yang  terdiri  dari gabungan  beberapa  macam  warna  polos  seperti  merah,  hitam,  hijau,  kuning,  biru  dan  putih  dan  dijahit  secara  bertingkat-tingkat.
    Pada  permukaan  baju  dijahitkan  rangkaian  manik-manik  dengan  formasi  belah  ketupat.  Pada  setiap  petak-petak  belah  ketupat  terdapat  hiasan  dari  perak  atau  kuningan  dengan  motif  Tawana Kapa  (daun  kapas)  dan  pada  ujung  daun  kapas  tersebut  dijahitkan  sekuntum  bunga  yang  berdiri  tegak.
    “Sebentar  lagi”,  gumamnya  setelah  melirik  jam  tua  di  sudut  ruangan  itu.
    Hari  ini  adalah  hari  yang  paling  di  nantikan  Alin  dan  teman-temanya.  Mereka  akan  menampilkan tari Kalegoa  untuk  memeriahkan  pembukaan  Festival  Pulau  Makassar.  Pembukaannya  berlangsung  di  Bukit  Kolema  (Wantiro).
    Jalanan  menuju  ke  Wantiro  sangat  padat.  Banyak  orang  yang  ingin  menonton  dan  melihat  Festival yang  hanya  diadakan  setahun  sekali  ini,  baik  pendatang  maupun  penduduk  Baubau  sendiri.
    Alin  dan  teman-temannya  keluar  dari  mobil  dan  langsung  diterpa  angin  laut   sepoi-sepoi.  Mereka  menunggu  giliran  tampil  di  belakang  panggung  bersama  pengisi  acara  lainnya.
    Sebelum  tampil  mereka  tak  pernah  lupa  untuk  berdoa  kepada  Allah SWT  agar  diberikan  kemudahan  dan  kelancaran.
    “Persembahan  tari  Kalegoa  oleh  sanggar  tari  Keraton  Buton”,  suara  MC  menggema  dan  mereka  segera  naik  ke  atas  panggung  diiringi  tabuhan  gendang.  Dan  mulailah  mereka  menari.  Satu  persatu  gerakan  ditarikan  dengan  lincah  tetapi  tetap  lentur.  Mereka  memang  sudah  terbiasa  untuk  tampil  di  muka  umum,  jadi  semua  merasa  percaya  diri  dalam  memperagakan  setiap gerakan  tarian.
    Setelah  kurang  lebih  tujuh  menit,  kemudian  berakhirlah  tarian  mereka  yang  disambut  dengan  tepuk  tangan  yang  sangat  meriah.  Mereka  memberi  hormat  dan  turun  dari  panggung.
    Rasa  lega,  puas,  bahagia  dan  bangga  mereka  rasakan.  Selesai  sudah  tugas  mereka  untuk  menghibur  dan  menampilkan  kebudayaan  Buton.  Tak  ada  lagi  beban  khusus  bagi  mereka.  Tugas  mereka  kini  hanya  tinggal  memperdalam  dan  terus  melestarikan  tarian-tarian  tradisional Buton,  karena  suatu  kebudayaan  suatu  daerah  merupakan  cirri  khas  daerah  itu  sendiri.
Read More

Senin, 12 November 2012

Terlambat

   
    Di sebuah taman dengan ditemani rinai hujan dan ramainya deru kendaraan, seorang lelaki perawakan tegap dan karismatik sedang memayungi gadis berseragam putih abu-abu yang sedang berderai air mata. Tubuh gadis itu basah kuyup, bibirnya pucat dan pipinya tak bersemu merah lagi. Lelaki itu kemudian tunduk berlutut dan meletakkan payungnya di tanah.
    “Maafkan aku”, ucapnya dan menggamit tangan Wanda. Ia tak tahu sudah yang keberapa kalinya kata itu terucap. Tapi memang benar, hanya kata maaflah yang mampu menebus semua kesalahan yang mungkin takkan termaafkan begitu saja.
    Wanda masih bungkam, tapi air matanya tumpah menyeruak. Dadanya terasa sesak. Hatinya sangat sakit. Seluruh tubuhnya gemetaran. Rasanya sebentar lagi Ia akan terduduk jatuh karena tak mampu menahan semuanya. Mungkin inilah cinta. Ketika kita melepaskan orang yang kita cintai pasti Ia akan kembali jika memang orang itu untuk kita.
    Wanda kembali mengusap air matanya pelan. Ia sebenarnya sudah rela melepaskan Fiko sejak 3 tahun yang lalu, tetapi mengapa pria itu kembali lagi untuk meminta hatinya? Ia tak tahu. Yang jelas, rasa cintanya pada pria itu sudah lenyap.
    “Apa yang membawamu kembali, ko?”, ungkap Wanda akhirnya.
    “Aku merasakan cinta ketika kamu tak ada”. Fiko menatapnya dalam.
    “Sudahlah. Semuanya sudah sangat terlambat”, ucap Wanda dan menghempaskan tangan pria itu.
    Fiko terdiam. Ia tahu betul ini utuh kesalahannya, Ia pun tak tahu bagaimana Ia harus menebus semuanya.
    “Aku pulang dulu”, pamit Wanda.
    “Biar aku antar”
    “Ga perlu. Aku bisa sendiri”.
    Wanda berjalan cepat meninggalkan Fiko di taman menuju tempat pemberhentian bus. Tak lama busnya pun datang.
    Sepanjang perjalanan, Wanda masih memikirkan kejadian tadi. Dari cara Fiko menatapnya, sampai cara Fiko menuturkan semuanya. Ia melihat pria itu juga terluka. Andai saja Fiko melakukan semuanya 3 tahun yang lalu, Ia pasti akan sangat bahagia.
    Rasa cinta tak terbalaskan. “Ya, Fiko tak pernah membalas rasa cintaku. Memperdulikanku saja tidak pernah”, gumamnya dalam hati. Terlambat. Fiko sudah sangat terlambat untuk menyadari semuanya. Kini hanya sebuah penyesalan besar yang bisa Fiko rasakan.
Read More

Minggu, 11 November 2012

Mawar dan Sang Pangeran


        Masih terlalu pagi. Matahari belum menampakkan seluruh dirinya. Udara masih berembun, burung-burung beradu padanya. Aku kerajinan, bangun sangat pagi dan akibatnya harus datang terlalu pagi juga di sekolah. Pukul 06.50. Bisa kuhitung dengan jari murid yang datang pagi itu.

        Aku menyusuri koridor sangat lambat. Tetap mengawasi sekitar dengan ekor mataku. Jujur aku penakut. Pikiranku aneh, terus memikirkan yang tidak-tidak. Aku mencoba rileks dan berharap sudah ada orang di dalam kelasku. Dan benar! Setidaknya ada putri, piket hari ini yang tentunya harus datang lebih awal untuk membersihkan. Aku mengucapkan salam dan menyapanya. Ia tersenyum. Aku tak akrab dengannya, jadi takkan kubuat lagi percakapan yang lebih panjang dan langsung berjalan ke mejaku di pojok kanan kelas.

        Aku terkejut ketika kudapati ada setangkai mawar merah di bangku ku. Dari siapa, pikirku. Aku penasaran karena ini pertama kalinya aku diberikan bunga-something special bagiku. Ingin ku tanyakan pada Putri, tapi aku yakin dia takkan menanggapi banyak. Aku meletakkan tasku di meja dan kuambil mawar itu. Masih segar layaknya baru saja dipetik. Kudekatkan mawar itu ke hidungku, menghirup sedikit keharumannya yang khas. Aku menyukainya. Aku kini mengamankannya dalam laci mejaku.

        Esok hari dan hari-hari berikutnya juga selalu ku temukan setangkai mawar di bangku ku. Tapi, tak hanya mawar merah. Setiap hari warnanya berbeda. Tetap segar dan sewangi yang pertama. Aku selalu merasa spesial. Dan aku semakin menyukai bunga mawar. Tapi permainan ini cukup. Aku tak mau memimpikan seorang pangeran seperti yang ada dalam novel. Aku ingin tahu siapa orang yang membuatku jatuh cinta pada perlakuannya ini. Mulai kucari dimana saja petunjuk akan bunga ini. Aku benar-benar berharap bisa mengetahuinya. Tapi hasilnya nihil. Tak ada petunjuk apapun, secarik kertas untuk inisialpun tak ada. Aku menyerah. Mulai kutanya semua teman-teman sekelasku, tapi sama, nihil, mereka pun tak tahu. Ya sudahlah nanti juga pasti berakhir, pikirku.

        Jika seminggu yang lalu hari-hariku dipenuhi bunga, dalam dua minggu terakhir ini tak ada lagi bunga. Aku merasa ada yang kurang. Aku rindu perlakuan itu, tapi juga bersyukur. Semua kumpulan mawar di kamarku kini layu dan kelopaknya mulai berjatuhan. Kupandangi mereka. Masih mempesonaku. Aku bertanya-tanya, mengapa berhenti? Apa yang terjadi pangeran? Mungkin si pemberi bunga mawar ini benar-benar seorang pangeran dari imajiku hingga Ia tak akan benar ada dalam kehidupan nyata.

        Suatu sore aku duduk di taman sekolah. Lagu Afgan - Terima Kasih Cinta bergema di telingaku lewat headset yang kupasang rapat-rapat. Sore itu aku datang untuk mengambil beberapa objek foto di taman sekolah. Aku mengambil satu gambar pohon palem di dekat kolam ikan. Aku kaget ketika melihat bunga mawar yang tumbuh subur di dekat rumah pohon. Baru kali itu aku kesana dan baru mengetahui ada berbagai warna bunga mawar disana. Aku mengambil gambarnya. Dan segera pulang ketika gerimis mulai turun.

        Sesampainya dirumah aku memindahkan foto tadi ke laptopku. Dan melihatnya satu persatu. Foto terakhir adalah foto kumpulan bunga mawar yang tumbuh subur berlatar rumah pohon. Ku zoom foto itu dan melihat keindahan mereka dari dekat. Tunggu, aku serasa mengenal mereka. Kubalikkan badanku ke arah meja dan kudapati mawar-mawar yang sudah layu. Ah iya, itu mereka. Aku baru menyadarinya, ternyata bunga yang selama ini itu diambil di taman sekolah. Berarti... yang memberikannya juga adalah murid di sekolahku. Aku mendapatkan sedikit petunjuk.

        Esoknya, aku datang lebih cepat lagi di sekolah. Kini adalah untuk menjalankan misiku untuk menemukan siapa pangeran itu sebenarnya.Aku bersembunyi di rumah pohon, dan terus mengamati jika sewaktu-waktu ada seseorang yang datang untuk memetik mawar. Sudah hampir bel masuk, tetapi tak ada seorang pun yang datang ke sana. Aku bilang ini belum selesai dan akan melanjutkan besok. Hal ini kulakukan selama seminggu, tapi sama, pangeran itu tak ada. Aku berjalan mendekati tumbuhan mawar yang subur, dan aku mulai berfikir, jika tak pernah ada bunga lagi di bangku ku, berarti tak akan ada yang datang memetik mawar ini untukku.

        Suatu sore, aku pergi ke taman untuk memetik mawar. Aku benar-benar merindukannya, seperti merindukan untuk bertemu seorang pujaan hati. Meskipun kini memang sudah tiada yang membuat senyumku sumringah tiap pagi, membuatku susah tidur karena takut memimpinya, dan membuatku senang tersenyum sendiri. Aku memetik satu diantara beberapa mawar disana. Merah, dia pilihanku. Kucium baunya dan tersenyum mengingat pertama kali kutemukannya di atas bangku ku. Saat itu, aku merasa diawasi, ada yang memperhatikanku sejak tadi. Aku memcoba mencari seseorang atau sesuatu, tapi tak kutemukan jua. Jantungku mulai berdebar ketakutan, dalam sekejap keringatku meluncur membasahi hampir setengah tubuhku, aku paranoid. Tak ingin sesuatu terjadi, aku bergegas pulang ke rumah.

        Sesampainya di rumah bunga itu kuletakkan pada vas di atas meja kamarku bersama mawar-mawar yang sudah layu. Aku takkan membuang semua mawar ini.

        Besoknya, aku pergi ke taman lagi, dan... ada seseorang disana. Aku seperti mengenalnya, aku memantaunya lewat balik pohon. Dia memetik sebuah mawar merah dengan membelakangi pihakku. Aku terus melihatnya seperti tak berkedip. Detik kemudian, Ia berbalik. Kudapati sesosok makhluk berwujud manusia yang memang kukenal dan kuimpikan. Kakak kelasku yang sangat populer.

        Reno.
Read More

Melupakanmu


        Matahari pagi itu bersinar sangat cerah. Kicauan burung tak terdengar lagi, yang terdengar adalah kicauan siswa-siswi berseragam putih abu-abu di setiap sudut sekolah. Di bawah rindangnya pohon beringin duduk seorang gadis sedang mengotak atik telepon selulernya. Ia nampak serius berkirim pesan kepada Rafi. Kadang Ia tiba-tiba tertawa, tapi kadang juga nampak kesal.

        Rafi adalah mantan pacar Disa, tetapi Disa masih menyayangi Rafi. Makanya Ia selalu perhatian pada pria itu. Disa sangat rajin mengirimi Rafi pesan, kadang menanyakan kabar, kadang mengirimi kata-kata yang dibuatnya sendiri, atau sekedar memberikan sepercik perhatian pada Rafi seperti jangan lupa untuk makan. Tetapi begitulah laki-laki, selalu cuek dan jarang memperhatikan hal-hal kecil, apalagi untuk orang seperti Rafi. Disa tahu betul sifat mantan pacarnya itu, tetapi Ia tak pernah mau menyerah. “Aku harus mendapatkanmu kembali, Fi”, tekadnya.

        Lambat laun Rafi semakin jarang membalas pesan Disa. Sebenarnya Rafi juga masih menyayangi Disa, karena biar bagaimanapun Disa-lah yang membuat Rafi jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Tapi Disa-lah yang memutuskan hubungan mereka dulu. Sampai sekarang Rafi masih tak habis pikir dengan perlakuan itu.

        Sekarang apa maksud Disa memberinya perhatian yang berlebihan seperti itu? Apakah Disa menyesal sudah mengakhiri semuanya? Atau Disa memang hanya mempermainkannya? Entahlah, Ia pun tak tahu. Ia tak pernah ingin mengecewakan Disa, Ia hanya tak ingin terus memberikan harapan semu pada gadis itu sementara Ia sudah tak bisa memiliki Disa lagi. Rasa sayang itu harus dilemparnya jauh-jauh.

        Malam minggu tiba. Ini adalah malam yang sangat menyiksa bagi orang yang tak punya pacar seperti Disa, biasalah galau. Tak tahu harus berbuat apalagi, Ia memutuskan untuk menelepon Rafi. Berniat untuk mengatakan bahwa Ia masih menyayangi Rafi.

        “Assalamu ‘alaikum, Fi”. Dibukanya percakapan telepon itu dengan salam.

        “Waalaikum salam. Kenapa Dis? Tumben kamu nelepon aku”.

        “Hm… Aku mau ngomongin sesuatu, Fi”, dengan ragu kalimat itu diucapkan. Jantung Disa mulai berdebar tak keruan.

        “Ngomong aja”, ucap Rafi enteng.

        “Sebenernya… Aku masih sayang sama kamu. Aku minta maaf udah mutusin hubungan kita. Waktu itu aku belum serius pacarannya. Tapi aku sadar, hanya kamu yang aku sayang Rafi”. Semakin tak tenanglah Disa. Apa yang akan Rafi katakan?

        “Masa?”, kata Rafi singkat. Tak ada nada kaget sedikit pun yang terdengar.

        “Iya… Hm, gimana?”, tanya gadis itu penasaran.

        “Gimana apanya?”

        “Ya… Kamu masih mau balikan?”

        “Maaf banget ya Cha, aku udah ga bisa”. Tanpa sengaja Rafi memanggilnya dengan panggilan ‘Cha’ alias ‘Dicha’—panggilan kesayangan Rafi pada Disa.

        Sebulir air mata Disa seketika meluncur begitu saja disusul dengan tangis yang tak tertahankan. Ia sesegukan menahan suara tangisnya. Kemudian Disa menutup telepon itu tanpa permisi. Rafi tahu Disa pasti menangis. Tapi apa boleh buat, tak ada pilihan lain lagi. Ia juga tak ingin berlarut-larut dengan masa lalunya.

        Dua jam berlalu sejak telepon itu berakhir, Disa masih terduduk di kasurnya dengan tatapan kosong. Air matanya masih mengalir seperti air. Dadanya terasa sangat sesak, sulit untuk mencari oksigen hingga memenuhi paru-parunya. Rasanya hatinya sudah hancur menjadi serpihan debu, sulit untuk disatukan lagi.

        “Mengapa aku begitu bodoh? Mengapa aku harus mengatakan hal itu? Mengapa Rafi menolakku?”, masih banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk dikepalanya yang semakin lama semakin menghancurkan dirinya sendiri. Ia merasa sangat bodoh. Rafi sudah jelas tidak mencintainya lagi, dari cara membalas pesan-pesan yang dikirimnya. Disa malu. Biar bagaimanapun Ia adalah wanita, dan yang dilakukannya itu bukanlah kodratnya.

        “Aku janji, aku ga bakal ngejar Rafi lagi. Aku harus bisa buktiin kalau aku bisa hidup tanpa dia. Kalau dia bisa, kenapa aku ga. Rafi hanya masa laluku”, tekadnya. Ia menghapus semua air matanya. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskan pelan. Lalu Ia beranjak tidur.

        Tidak mudah bagi Disa untuk melupakan Rafi. Rafi dan seluruh kenangan mereka masih terus menari-nari di kepalanya. Tapi, jika Ia mengingat kejadian malam itu, Disa merasa sangat benci kepada Rafi.

        Hari-hari berlalu. Apa yang Disa lakukan selalu berantakan. Ia lebih banyak diam, menyendiri dan melamun. Keluarga bahkan teman-temannya turut prihatin dengan keadaan Disa, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa, hanya Disa-lah yang bisa merubah dirinya.

        Hampir setiap malam Disa menangis mengingat Rafi. Rasanya susah untuk melepaskan. Tetapi Disa pun tak mau terus berlarut-larut dengan apa yang sudah menjadi masa lalunya. Ia merasa sudah saatnya untuk merubah masa kini dan menata masa depannya. Ia harus bangkit. Ia kemudian banyak mencari kegiatan atau hal-hal positif yang membuatnya tak ada waktu untuk memikirkan laki-laki.

        Berangsur-angsur Disa mulai melupakan Rafi. Sekarang Ia sudah kembali ceria dan lebih tegar.
Read More

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger