Kamis, 15 November 2012

Dansa Bersama Bintang


    Di atas bukit di temani ribuan bintang dalam kelabunya langit, angin berhembus menembus dimensi ruang mengajak dedaunan bernari-nari memacu asa saling beradu. Kami sedang duduk berhadapan, saling memandang dalam bungkam.
    "Dingin ya?", tanyanya.
    Aku mengangguk malu. Wajahku terasa panas. Rasanya seluruh darahku mengalir ke kepala karena jantungku yang bereaksi dan berdetak sangat cepat.
    Ia melepas jaketnya dan mengenakannya padaku. Lalu, Ia merapatkan kedua telapak tangannya, mengadunya dalam arus bolak-balik sehingga menghasilkan panas, kemudian meletakkannya di pipiku.
    "Hangat", aku tersenyum dan melapisi tangannya dengan tanganku.
    "Keenakan ya", dia mendengus dan tergelak.
    Kuhempaskan tangannya kesal dan kujitak kepalanya. Ia ngakak. Aku lari ke balik pohon, dia mengejarku, mendapatku dan menggelitik, aku menggeliat, mencoba melepaskan diri dari serangan tangan nakal yang bertubi-tubi.
    Kami tertawa keras. Dia lalu merangkulku. Aku terdiam. Aku merasakan kehangatan yang menjalari seluruh tubuhku dalam kerapatan yang terjadi.

    Kami berbaring di atas rerumputan, menengadahkan kepala, menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit malam itu.
    "Kau suka bintang?", tanyanya dan melihatku.
    "Ya, aku suka"
    "Baiklah, apa kau mau bermain?"
    "Main apa?"
    "Err, apa ya namanya? Aku tak tahu pasti. Kau ikuti sajalah"
    "Oke", aku menerima tantangannya.
    "Gini, pertama, pikirin satu orang yang paling kau cintai"
    Aku berpikir, dan menatapnya.
    "Udah belom?", tanyanya membuyarkanku.
    "Eh udah kok!", setengah panik kujawab karena tertangkap basah sedang melihatnya dalam.
    "Kedua, lihat ke bintang, trus ilustrasikan bintang-bintang itu jadi inisial orang yang kau cintai. Seperti ini", Ia menunjuk-nunjuk bintang.

    Semenit kemudian Ia memutar lagu David Cook - I Don't Wanna Miss A Thing, tak memperdulikanku dan larut dalam musiknya. Aku mendengus, lalu aku mulai menunjuk-nunjuk bintang, mengombinasikannya menjadi sebuah huruf inisial orang yang kucinta. Ilustrasi bintang-bintangnya hampir sempurna membentuk huruf R. Ray.
    "Huruf apa itu?"
    "Inisial orang yang kucintalah! Bukannya kau yang menyuruhku melakukannya?!"
    "Pasti inisial makhluk tak jelas yang ada di masa lalumu kan?", terpanya masa bodoh.
    "Apa maksudmu? Mantanku ha? Jangan ngaco deh! Negatif mulu"
    "Ya, memang seperti itu. Tak usah mengelak!"
    "Ray, kau tahu? Aku benci saat seperti ini, ketika masa lalu harus menjadi penyebab pertengkaran antara aku dan kau yang berada di dimensi ruang dan waktu yang sudah jelas berbeda dengan mereka, kita berada di masa kini, biarkan saja para mantanku itu menjadi memori masa lalu yang dijadikan pelajaran untuk menata masa kini dan masa depan", sanggahku.
    "Oh, jadi kau sudah berhasil move on ya?"
    "Tentu saja! Aku sudah move on sejak.....", kalimatku terputus. Aku tak rela mengutarakan bahwa dia-lah alasanku berhasil membuka lembaran cinta yang baru.
    "Hahahahhah!", Ray tergelak, tak peduli dengan apa yang ingin kusampaikan lagi. Setelah itu terdiam serius. Menatap bintang lagi.
    "Eh ngomong-ngomong soal bintang ya, kita lombaan aja nunjuk bintang kesukaan kita yuk!", aku mengajukan tantangan.
    "Ayo! Itu mah kecil, preeeeet!"
    "Aku hitung ya, Satu......dua.......tiga!".

    Aku menunjuk bintang yang bersinar paling terang, sedangkan telunjuk Ray tertuju pada bintang yang sinarnya redup.
    "Kau ini, mengapa kau pilih bintang yang paling terang?", ucapnya dan langsung bangun mendekat padaku.
    "Ya, karena cahayanya lebih terang, beda sama yang lain", jawabku standar.
    "Denger ya bodoh, bintang yang paling terang itu adalah bintang yang paling cepat mati"
    "Haaa? Kok bisa, mereka kan...", aku speechless, tak tahu ingin berkata apa, aku bukan pecinta astronomi sepertinya. Salah kata, aku bisa dapat siraman teori darinya. Lebih baik aku diam saja.
    "Bintang yang cahayanya paling terang itu paling cepat mati karena bintang itu arena suhunya paling tinggi dan terbakar dengan cepat. Kalau masanya sudah habis, dia akan meledak dan menjadi black hole atau lubang hitam", jelasnya padaku.
    "Oh begitu ya, makanya kau memilih bintang yang cahayanya redup?"
    "Tentu saja. Aku ingin hidup lebih lama, ingin selalu menjadi bintang yang tak pernah meninggalkan langitnya", ucapnya dengan mata berbinar.
    Aku tersenyum dan melihat bintang yang ditunjuk Ray tadi. Tiba-tiba jemariku disergapi kehangatan dari tangan lain yang kekar, Ray menggenggam tanganku.

    "Mau berdansa?", ajaknya.
    "Tentu".
    Dia meletakkan tangannya di pinggangku, dan kedua tanganku di tengkuknya. Kami bergerak mengikuti arus, seirama dengan detak jantung kami.
   
    Malam itu kami habiskan dengan berdansa.


Cerpen ini telah dibuat parodinya oleh teman saya Rahmat Syawal yaitu Dansa Di Bawah Pohon.

2 komentar:

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger