Minggu, 23 Desember 2012

Ragu-ragu

    Suara berat seorang Diva Indonesia, Anggun dengan Mimpi-nya memenuhi seluruh sudut ruangan dalam volume yang tak terlalu besar, tanda sebuah pesan masuk di telepon seluler Popy. Dinginnya angin dini hari menusuk hingga ke tulang membuatnya malah menarik selimutnya tinggi-tinggi hingga menutupi seluruh tubuhnya.  Rasanya begitu malas untuk bergerak mencari telepon selulernya. Semenit berlalu, kembali senyap.

    Tapi si pengirim pesan tidak kapok. Lima menit kemudian telepon seluler Popy kembali berdering. Ya, sekarang sudah dua pesan masuk. Popy mengalah. Ia menggeliat, berusaha meluruskan posisi tubuhnya. Ia mulai meraba-raba permukaan terpat tidur dengan mata terpejam, mencari suara Anggun yang membahana. Didapatkannya telepon seluler itu di bawah bonekanya. Ia membuka mata, membaca nama pengirim; Gilang, matanya membulat sempurna, bibirnya mencibir.

    “Woy, pemalas! Buku gua jangan lupa lu bawa ntar ke sekolahan, awas lu kalo lupa”

    Setengah mati Popy menahan untuk tidak berteriak. Mukanya merah dan sepertinya sebentar lagi akan muncul tanduk di kepalanya. Lagi-lagi Gilang mengajaknya ribut.

    “Kalo gua lupa mau apa lu hah?! Ngajak ribut lu ya”. Ia membalas pesan itu dengan cepat kemudian melempar asal-asalan telepon selulernya. Ia kembali menarik selimutnya.

    Baru saja Ia hendak tidur lagi, suara lantang memanggilnya. Kamarnya dibuka, selimutnya ditarik. Jendela kamar dibuka oleh Ibu, sinar mentario menerobos masuk ke dalam kamar. Menyilaukan.

    “Hei bangun pop, udah setengah delapan ini, Nak”, suara lembut Mama belum menghipnotisnya untuk beranjak. Ia malah meringkuk.
    “Popy! Lu mau bareng gua ga? Gua udah mau cabut nih”, suara teriakan Titan, kakak laki-laki Popy sangat membantu, Popy segera loncat dari tempat tidurnya, mengambil handuk dan mengikat rambutnya asal-asalan.
    “Tungguin gua, Bang!”, teriaknya dari dalam kamar mandi. Ibu yang melihatnya hanya menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan anak gadisnya itu.

    Lima belas menit kemudian Popy sudah siap. Ia berlari menuju tangga, dan meloncati tiga anak tangga sekaligus.

    “Bu, Si Abang mana?”, tanyanya dengan napas terengah-engah.
    “Baru aja pergi”, jawab Ibu tenang, masih serius mengoleskan selai coklat diatas roti tawar.
    “Hah? Terus aku naik apaan dong, Bu? Lagian juga Si Abang ga mau nunggu bentaran”, katanya kesal, bibirnya maju beberapa senti.
    “Daripada ngomel mulu, mending naik angkot aja, tuh udah jam 8, Nak”.

    Popy melirik arlojinya. Terlambat. Tanpa berpikir panjang Ia menyambar roti yang tersedia, berlari kencang ke pangkalan ojek.

    Sesampainya di sekolah, ternyata gerbang sudah ditutup. Ketika melihat penjaga tidak ada, dipanjatinya pagar sekolah setinggi 3 meter itu. Ia berhasil lolos, sekarang tinggal memikirkan bagaimana caranya masuk ke dalam kelas tanpa diketahui oleh guru.

    Ia berlari sekencang mungkin menuju kelasnya. Tiba-tiba… “BRRUUUKKKKKKK”. Ia bertabrakan dengan seseorang. Baru saja Ia hendak melarikan diri, tetapi tasnya ditahan oleh orang itu. Ketika Ia berbalik, ternyata penjaga sekolah.

    “Eh Bapak, maaf Pak, ga sengaja”, katanya sambil cengar-cengir.
    “Mau kemana kamu? Ayo ikut Bapak”, kata Penjaga Sekolah dengan muka garang.

    Popy dibawa ke Dewan Guru seperti akan disidang. Dan putusannya adalah Ia mendapat hukuman berdiri di tengah lapangan basket hingga bel istirahat. Sungguh miris.

                                                                                       ***

    Popy baru saja memasuki kelas, dan langsung menghantam kepala Gilang dengan buku tulis.

    “Makasih”, kata Popy sambil melengos pergi tak perduli dengan apa yang dikatakan Gilang padanya. Kedengarannya seperti sebuah cacian.

    Ia duduk di bangkunya dan mengorek isi sakunya bermaksud mengambil telepon selulernya, tapi tidak ada. Ia mulai mengobrak-abrik isi tasnya, tapi tak ada juga disana. Ia memutar kembali ingatannya, mencoba mencari petunjuk tentang keberadaan telepon selulernya. Ia mengingat terakhir kali melemparnya asal-asalan setelah membaca pesan Gilang. Ia berdiri, berjalan kea rah Gilang yang sedang bercakap dengan Tomy.

    “Gara-gara lo nih, gua sampe lupa bawa handphone”
    “Lho, kok gua? Kan yang punya handphone elu. Makanya, tuaan sih lu, pikun!”, Gilang menjitaknya.
    “Ya jelas lu lah, karena sms lu yang ga penting itu gua jadi ngelempar handphone gua asal-asalan”, bantahku tak mau kalah.
    “Oh lu curhat nih sama gua? HAHAHAH! Ternyata selain pikun, lu tuh ceroboh ya dan bisanya cuman nyalahin orang doang. Jelas-jelas itu salah lu sendiri. Nyadar Mbak!”
    “Siapa yang curhat sama lu, cih! Orang gua….”. Perkataan Popy terpotong saat guru fisika masuk. Segenap siswa pun langsung diam. Pelajaran berlangsung dalam hening.

                                                                                       ***

    Hari yang cukup sial untuk Popy, dan Ia menganggap semua kesialan itu dimulai dari Gilang. Mereka berdua tak pernah akur. Selalu saja bertengkar seperti Tom dan Jerry dalam serial kartun anak. Ia merasa sangat lelah hari ini, langkahnya menuju kamar sangat gontai.

    Popy langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan tarikan napas panjang. Tak lama kemudian, suara Anggun-Mimpi menggema memekik telinganya. Ia mencari sumber suara, dan menemukan telepon selulernya yang berada di bawah tempat tidur.

    Dibacanya sebuah pesan masuk dari nomor yang tak di kenalinya.


    “Siang”
    Tiada pencantuman nama atau keterangan lain dalam pesan itu. Ia penasaran, dan meladeninya.
    “Siang, tapi siapa ya?”
    “Gilang. Ini nomer gua yang lain, special buat ngehubungin lu”

    Matanya melotot membacanya. Speechless dan tidak menyangka. Gilang punya nomor lain? Spesial untuk menghubunginya?

                                                                bersambung ke Ragu-ragu II

0 komentar:

Posting Komentar

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger