Minggu, 16 Desember 2012

Couple Bald

    Pagi itu aku sedang berada di taman, duduk di atas kursi roda yang dengan penuh kutukan dan keterpaksaan kugunakan karena  kakiku masih terasa lemas dan belum mampu terbebani oleh berat badanku. Semilir angin pagi menyapu lembut wajahku. Aku menarik napas dalam-dalam untuk menghirup oksigen yang terkandung disana, kubuang karbondioksida yang dibutuhkan sang tanaman untuk membuat oksigen lagi. Tergambar indah layaknya simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan.

    Aku tak sendirian di taman itu, ada juga pasien-pasien lain. Ada yang di temani perawat, dan ada juga yang hanya sendirian sepertiku, duduk diatas kursi roda juga. Tapi diantara mereka, yang menjadi perhatianku adalah seorang gadis sebayaku yang sedang melukis bunga kamboja di hadapannya. Wajahnya agak pucat, tapi kecantikannya tetap terlukis lewat siluet wajahnya. Rambut panjangnya tergerai indah. Aku terus memperhatikannya.

    Beberapa menit kemudian, datang seorang pria berperawakan bidang, terlihat gagah dengan sebuket bunga di balik punggungnya. Dia menutup mata gadis-yang-sedang-melukis tadi dengan sebelah tangannya. Sang gadis meraba-raba wajah pria itu, dan seperti sudah menghafal si pemilik wajah, Ia menyebutkan namanya. Mereka berpelukan. Ah, sungguh romantis.

    Tak kusangka mereka akan berbalik ke arahku. Aku mengutuki diriku sendiri yang sedari tadi memandang mereka lekat-lekat. Aku tak tahu harus berbuat apa, aku hanya bisa tersenyum canggung. Mereka juga membalas senyumanku, tulus. Entah apa yang mereka pikirkan tentangku. Daripada semakin merasa tidak enak, aku memutuskan kembali ke kamar rawatku.

                                                                               ***

    Selama dua minggu ini aku tak pernah lagi ke taman karena baru saja menjalani operasi sinus yang ke tiga kalinya dan harus menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit. Ketika aku keluar dari kamar rawat diantarkan oleh perawat, aku melihat gadis-pelukis-yang-ada-di-taman-waktu-itu keluar dari kamar kelas 1. Rambutnya tak lagi sepanjang waktu dulu, kini guntingannya pendek se-leher dan lebih tipis dari waktu itu. Aku penasaran. Aku putuskan menyuruh perawat mengantarku ke taman, aku ingin melihat gadis itu lagi.

    Setibanya di taman, aku menyuruh perawat yang mengantarku tadi pergi. Mataku kembali memperhatikan gadis pelukis itu, Ia seperti menggenggam helaian-helaian rambut. Dia mendapatiku lagi dan melambai, aku tersenyum, beringsut mendekatinya.

    Kami kini saling tatap. Betapa kecantikannya benar-benar terpancar dengan radius dekat seperti sekarang ini. Aku mengulurkan tanganku, berkenalan. Disambutnya dengan ramah. Aku kagum, ternyata bukan hanya wajahnya yang cantik, melainkan hatinyapun cantik. Dari cara bertuturnya, tatapan matanya, dan senyumannya, aku bisa melihat jiwa pejuang besar yang terpancar dari dirinya. Ia bilang, namanya Icha.

    Aku masih penasaran, sakit apakah dia?

                                                                               ***

    Semakin lama mengenal Icha, semakin kutahu tentang gadis itu, juga penyakitnya. Kanker. Itulah penyakit yang menyebabkan Icha harus menjalani chemotherapy dan radiasi yang membuat rambutnya terus menerus rontok dan akhirnya gundul sekarang. Tapi dia tak malu harus kehilangan mahkota terindahnya itu. Baginya, bukan mengenai berharganya suatu keindahan yang kita miliki, melainkan betapa kita mensyukuri jika kita tetap terlihat indah tanpa mereka. Sungguh gadis pejuang.

    Kekagumanku bukan hanya terletak pada perjuangan Icha yang tiada henti. Tetapi juga pada kekasihnya. Kekasihnya yang sungguh sangat setia menemani Icha. Kakasih yang menerima apa adanya. Tak banyak pria seperti itu di zaman sekarang. Bayangkan saja, pria mana yang mampu menemani kekasihnya setiap saat? Dia bahkan sudah menjadi kaki saat Icha tak mampu berjalan, menjadi tangan ketika tangan Icha sudah tidak bisa bergerak, menjadi penyokong ketika Icha terjatuh dan masih banyak lagi. Kesabaran yang tiada tara. Semuanya tak pernah terlihat mudah, aku tahu itu.

    Icha pernah menceritakan padaku soal kekasihnya.  Ia bilang kekasihnya itu seperti malaikat, yang hampir tak pernah menyakiti hati Icha. Bahkan Icha bilang, dia sangat takut jika suatu saat ketika kanker itu menyerang otaknya, Ia tak bisa lagi mengingat semua kenangan mereka berdua. Kenangan yang bahkan akan Ia mengemis pada Tuhan agar tetap Ia bawa sampai mati.

    Mengapa dengan sisa umur yang lebih pendek, cinta yang mereka miliki sangat besar dibanding dengan orang sepertiku, yang bahkan masih diberi umur panjang dan bisa sembuh dari penyakit sinus? Mungkin karena mereka tahu, waktu yang mereka miliki tidak banyak untuk tetap bersama. Kita yang justru sehat bugar seperti sekarang ini malah membuang waktu yang begitu berharga.

                                                                               ***

    Suatu ketika, Icha sedang melukis di taman, aku memandanginya dari kejauhan. Objeknya air mancur kolam ikan yang Nampak berkilau terbias sinar matahari yang menghasilkan warna pelangi. Aku bisa merasakan ketakutan terbesar yang tersembunyi dibalik ketegaran itu. Bukan ketakutan untuk kembali, tapi ketakutan untuk kehilangan semuanya.

    Aku kaget setengah mati ketika melihat kekasih Icha berjalan mendekati Icha dengan penampilan berbeda. Ia menggunduli kepalanya. Kini mereka berdua terlihat sama, sama-sama tidak memiliki rambut. Rasa haru menjalariku. Aku menangis, melihat semua pengorbanan yang dilakukan kekasih Icha. Ia melakukan apa saja agar bisa merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Icha.

    Icha terguncang, betapa berharga dia bagi kekasihnya. Sangat berharga. Ia menangis, memeluk kekasihnya itu.

    Aku salut atas apa yang mereka miliki. Cinta, kesetiaan, pengorbanan, kesabaran dan perjuangan, semuanya bukan untuk dilalui sendiri, melainkan mereka lalui berdua.

0 komentar:

Posting Komentar

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger