Cerita Sebelumnya: It Has Been You
Terlalu takut untuk memulai. Begitulah aku. Seharusnya aku yang mulai mendekatinya. Tanpa bantuan siapa pun. Seharusnya aku yang terlebih dulu berusaha mendekatinya. Aku ini kan seorang pria, tapi nyatanya aku memang pecundang.
Suatu malam Gita menghubungiku. Menariknya lagi, dia terus menerus memulai sebuah topik. Aku jelas tidak terlalu banyak merespon. Tapi, aku sangat bahagia karenanya. Ternyata dia sangat perhatian.
Hingga saatnya pada waktu itu sepulang sekolah aku mendapatkan sebuah pesan dari Gita. Dia menembakku. Dia bertanya maukah aku jadi pacarnya. Hal ini membuatku terkesan, apakah dia yang terlalu agresif atau aku yang terlalu banyak diam dan tidak berbuat apa-apa untuk memilikinya? Sepertinya Gita sudah tertarik padaku dan tidak tahan dengan sikapku yang tak acuh padanya.
Kami berdua jadian. Awalnya Gita manis sekali dan sangat perhatian padaku. Kami sering saling menelpon dan bertemu, tetapi tidak bertatapan langsung, kami hanya saling memandang dalam diam lewat kejauhan. Sekadar melepas rindu yang bersarang di hati kami. Kami memiliki banyak kesamaan. Sama-sama menyukai bahasa Inggris, film action dan adventure, menyukai musik, dan masih banyak lagi.Tetapi lama kelamaan dia mulai banyak membuat aturan yang ditujukan padaku, yang tak ayal membuatku geram pada tingkahnya itu.
Aku kadang malas menanggapi ketika dia memarahiku karena terlalu lama bermain game dan menonton kartun, katanya aku terlalu kenakan. Dia sendiri tak pernah mau diatur. Aku juga tidak ingin dia merasa terikat. Aku tahu dia juga memiliki dunianya sendiri. Aku sangat mengerti dia. Dan aku sangat mencintainya.
Segala yang dia butuhkan aku penuhi, tanpa peduli bahwa aku juga sebenarnya membutuhkan itu. Aku tak pernah meminta banyak padanya, dan memperhitungkan segala sesuatu yang telah kuberikan padanya. Aku ikhlas. Semuanya adalah bentuk pengorbananku.
Hubungan kami berjalan hanya sebulan lebih karena dia memutuskan semuanya. Alasan yang dia berikan cukup kuterima. Ingin konsen belajar katanya. Tapi aku sangat tidak bisa terima dengan kejujuran yang diungkapnya hari itu juga. Dia tidak pernah serius padaku. Dia hanya ingin memanfaatkan harta dan kebaikanku dengan terus menerus meminta pulsa.
Aku tak tahu harus berbuat apa waktu itu. Aku hanya menitihkan air mata tanpa suara. Betapa aku tidak pernah memperhitungkan apapun padanya. Aku hanya ingin dia mencintaiku dan merasakan seberapa besar cintaku. Itu saja. Tidak pernah lebih. Entah mengapa air mataku ini tidak mau berhenti. Bukan aku menyimpan benci padanya, bukan. Aku tidak akan bisa benci padanya. Aku hanya merasa sangat kecewa. Tapi aku bisa apa? Semuanya sudah terjadi. Tak ada penyesalan di hatiku.
Terakhir kali aku melihatnya, ketika esoknya aku akan pindah ke Surabaya. Aku hanya menatap setiap geraknya. Setiap senyum yang disunggingkannya, untuk pria yang berjalan di sampingnya. Entah apa yang kurasakan kini. Bukan benci, mungkin seperti rasa cemburu. Sesak sekali. Aku hanya bisa tersenyum masam melihatnya. Begitu cepat dia melupakanku. Atau mungkin, memang dia tidak pernah mengingatku? Entahlah.
Hingga sekarang. Saat ini. Detik ini. Aku masih dengan perasaan yang sama. Rasa cinta yang tidak pernah berubah. Mungkin telah beku oleh formalin. Atau memang hanya miliknya seorang. Andaikan saja dia tahu bahwa aku masih mencintainya dan hanya untuk dialah hatiku ini kujaga.
Aku tahu kini dia benar-benar menyesal atas masa lalu. Tapi aku tak pernah menyimpan sebersit benci di hatiku. Aku sangat mencintainya, sampai saat ini. Mungkin aku pecundang, karena aku sangat takut disakiti untuk yang kedua kalinya oleh Gita.
Aku hanya ingin menunggunya, hingga aku benar-benar pantas menjadikannya pendampingku untuk selamanya.
TAMAT
Read More
Terlalu takut untuk memulai. Begitulah aku. Seharusnya aku yang mulai mendekatinya. Tanpa bantuan siapa pun. Seharusnya aku yang terlebih dulu berusaha mendekatinya. Aku ini kan seorang pria, tapi nyatanya aku memang pecundang.
Suatu malam Gita menghubungiku. Menariknya lagi, dia terus menerus memulai sebuah topik. Aku jelas tidak terlalu banyak merespon. Tapi, aku sangat bahagia karenanya. Ternyata dia sangat perhatian.
Hingga saatnya pada waktu itu sepulang sekolah aku mendapatkan sebuah pesan dari Gita. Dia menembakku. Dia bertanya maukah aku jadi pacarnya. Hal ini membuatku terkesan, apakah dia yang terlalu agresif atau aku yang terlalu banyak diam dan tidak berbuat apa-apa untuk memilikinya? Sepertinya Gita sudah tertarik padaku dan tidak tahan dengan sikapku yang tak acuh padanya.
Kami berdua jadian. Awalnya Gita manis sekali dan sangat perhatian padaku. Kami sering saling menelpon dan bertemu, tetapi tidak bertatapan langsung, kami hanya saling memandang dalam diam lewat kejauhan. Sekadar melepas rindu yang bersarang di hati kami. Kami memiliki banyak kesamaan. Sama-sama menyukai bahasa Inggris, film action dan adventure, menyukai musik, dan masih banyak lagi.Tetapi lama kelamaan dia mulai banyak membuat aturan yang ditujukan padaku, yang tak ayal membuatku geram pada tingkahnya itu.
Aku kadang malas menanggapi ketika dia memarahiku karena terlalu lama bermain game dan menonton kartun, katanya aku terlalu kenakan. Dia sendiri tak pernah mau diatur. Aku juga tidak ingin dia merasa terikat. Aku tahu dia juga memiliki dunianya sendiri. Aku sangat mengerti dia. Dan aku sangat mencintainya.
Segala yang dia butuhkan aku penuhi, tanpa peduli bahwa aku juga sebenarnya membutuhkan itu. Aku tak pernah meminta banyak padanya, dan memperhitungkan segala sesuatu yang telah kuberikan padanya. Aku ikhlas. Semuanya adalah bentuk pengorbananku.
Hubungan kami berjalan hanya sebulan lebih karena dia memutuskan semuanya. Alasan yang dia berikan cukup kuterima. Ingin konsen belajar katanya. Tapi aku sangat tidak bisa terima dengan kejujuran yang diungkapnya hari itu juga. Dia tidak pernah serius padaku. Dia hanya ingin memanfaatkan harta dan kebaikanku dengan terus menerus meminta pulsa.
Aku tak tahu harus berbuat apa waktu itu. Aku hanya menitihkan air mata tanpa suara. Betapa aku tidak pernah memperhitungkan apapun padanya. Aku hanya ingin dia mencintaiku dan merasakan seberapa besar cintaku. Itu saja. Tidak pernah lebih. Entah mengapa air mataku ini tidak mau berhenti. Bukan aku menyimpan benci padanya, bukan. Aku tidak akan bisa benci padanya. Aku hanya merasa sangat kecewa. Tapi aku bisa apa? Semuanya sudah terjadi. Tak ada penyesalan di hatiku.
Terakhir kali aku melihatnya, ketika esoknya aku akan pindah ke Surabaya. Aku hanya menatap setiap geraknya. Setiap senyum yang disunggingkannya, untuk pria yang berjalan di sampingnya. Entah apa yang kurasakan kini. Bukan benci, mungkin seperti rasa cemburu. Sesak sekali. Aku hanya bisa tersenyum masam melihatnya. Begitu cepat dia melupakanku. Atau mungkin, memang dia tidak pernah mengingatku? Entahlah.
Hingga sekarang. Saat ini. Detik ini. Aku masih dengan perasaan yang sama. Rasa cinta yang tidak pernah berubah. Mungkin telah beku oleh formalin. Atau memang hanya miliknya seorang. Andaikan saja dia tahu bahwa aku masih mencintainya dan hanya untuk dialah hatiku ini kujaga.
Aku tahu kini dia benar-benar menyesal atas masa lalu. Tapi aku tak pernah menyimpan sebersit benci di hatiku. Aku sangat mencintainya, sampai saat ini. Mungkin aku pecundang, karena aku sangat takut disakiti untuk yang kedua kalinya oleh Gita.
Aku hanya ingin menunggunya, hingga aku benar-benar pantas menjadikannya pendampingku untuk selamanya.
TAMAT