Kamis, 28 Februari 2013

Topeng [END]

Cerita Sebelumnya: Topeng [III]

    Suatu kebahagiaan aku bisa mengenalnya. Saling mengetahui bahwa kami saling mencintai.

                                                                                       ***

    “Persetan dengan siapa dan dimana aku menghabiskan waktuku semalam!”. Wajah merah legam dengan mata melotot penuh peluh itu hanya berjarak dua senti dari wajahku. Deri sudah seperti halnya lucifer yang mencari mangsa. Aku hanya bisa mengeluarkan air mata dan mendorong Deri menjauh dengan sisa tenaga yang kukumpulkan mati-matian. Deri mengerang. Aku berjalan menjauh. Derapan langkah berlari terdengar memecah ombak di pesisir pantai. Aku merasakan lenganku digenggam erat dan diputar menghadapnya.

    “Sakit”, desisku sambil berusaha melepaskan diri. Kurasakan kuku tajamnya menembus kulitku. Airmataku jatuh perlahan.

    “Sakit?”, ucapnya sambil mendekat kepadaku. Mengangkat tanganku yang digenggamnya tadi dan menyentuh bekas kuku yang tergambar. Wajahnya seketikaberubah menjadi semula. Dia memelukku. “Maafkan aku”, ucapnya di telingaku.

    “Antar aku pulang”. Aku masih malas berbicara dengannya setelah apa yang terjadi.

                                                                                       ***

    To: MyDeri
    Yang dimana?
    Delivered

    Pesanku tidak dibalas dan teleponku pun tidak dijawab olehnya. Entah kemana lagi dia.

    Pikiranku melayang-layang pada ucapan Putri, “Kata Roy, Deri semalam ga pulangkarna dia ke tempat PSK”. Apa dia kesana lagi? Pertanyaanku menggantung di tenggorokan.

                                                                                       ***

    Berbulan-bulan menjalani kebersamaan, aku pikir kita saling mengenal. Ternyata tidak. Semua dugaanku dulu ternyata salah. Mendapatkan fakta bahwa dia kasar, suka pulang larut dan bermain dengan PSK membuatku tidak tinggal diam. Aku bergerak mencari bukti.

    Aku mencari tahu bersama Roy. Kami pergi ke tempat PSK itu pada siang hari. Belum sampai ke dalam rumahnya Si PSK itu malah sudah hampit berbuat yang tidak-tidak dengan Roy. Aku dan Roy sudah tahu apa jawabannya. Dan kami pulang.

                                                                                       ***

    “Kita putus. Aku tahu kamu siapa. Dan aku tidak bias terus jalan sama kamu”, ucapku dari ujung telepon. Aku mendengar hembusan napas gusar disana.

    “Itu hak kamu. Aku minta maaf”. Bayangkan saja dengan mudahnya Ia mengucapkan kata maaf. Mungkin dia pikir aku ini seperti wanita PSK yang biasa dimintai maaf dan kembali lagi.

    Sungguh aku tak ingin berhubungan dengan orang seperti dia lagi. Harga diriku sudah diinjak-injak. Rasa benci terhadap kelakuannya dan muak akan tampangnya membuatku harus benar-benar membakar tuntas seluruh kenangan.

    Dia adalah orang dengan peran terbaik di depan ternyata setelah topengnya terbuka, dia tidak jauh berbeda deng para PSK itu. Sungguh sekarang aku yang telah mengoyak topengnya. Dan dia tidak akan bisa menggunakan topeng yang sudah rusak tersebut.

                                                                                       ***

    Aku sedang berada di rumah Putri, duduk berayun diatas ayunan besi di taman depan rumahnya. Sudah sebulan sejak kasus putusku dengan Deri. Aku merasa biasa saja. Mungkin hampa. Ponselku berbunyi pesan masuk. Sebuah nomor yang kukenal meski tanpa nama terpampang dilayar ponselku.

    From: 089976899xxx
    Aku kasih kamu kesempatan kedua, Priska Natasya.

   
    Darahku naik setelah membaca pesan itu. Apa maksudnya kesempatan kedua? Kapan aku meminta kesempatan kedua? Oh Tuhan.. berfikir saja aku tak mau. Betapa kepedeannya makhluk ini.

                                                                                     TAMAT
Read More

Selasa, 26 Februari 2013

Perjalanan Mencapai Sebuah Hasil

                    Kehidupan adalah sebuah perjalanan yang tiada henti. Menanam dan menuai. Berjalan untuk berusaha menyeimbangkan. Jatuh dan bangkit. Penuh perjuangan. Seperti halnya hari ini. Saya baru saja melakukan perjalanan terjauh dan penuh perjuangan demi sebuah pencapaian "nilai" pada akhirnya.

                    Mengejar nilai di zaman sekarang sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan siswa siswi, bahkan mahasiswa. Hal ini dikarenakan terkadang, nilai menjadi keharusan dalam menyelesaikan sesuatu. Contohnya saja untuk kelulusan mata pelajaran. Saya juga sedang melakukannya.

                    Proses "mengejar" nilai tersebut juga tidak mudah. Perlu perjuangan tentunya.

                    Nah, seminggu yang lalu guru biologi pertanian memberikan tugas untuk menanam tumbuhan di polibag dengan tumbuhan yang sudah ditetapkan. Ada yang mendapatkan tugas untuk menanam strawberry, ada yang terong, cabai merah dan tomat. Kelompokku mendapatkan tugas menanam tumbuhan tomat.

                    Setelah dijelaskan bagaimana proses menanamnya, kami mulai berusaha menyelesaikan setiap tahapan. Tahapan yang pertama yaitu menyiapkan bibit, polibag, tanah dan pupuk kandang. Untuk bibitnya, dalam satu deret kami patungan untuk membelinya. Harganya Rp. 20.000. Dan yang pergi membelinya adalah Ical. Polibag besar sebanyak 3 lembar dengan harga Rp. 1.000 per lembarnya.

                     Selanjutnya, kami pergi mencari tanah. Tempatnya di Wakonti-- sekitar 7 kilometer dari pusat kota Baubau-- yaitu di rumah teman kami, Muniar. Kami pergi berlima selepas olahraga. Saya, Ulfa, Muniar, Rustam dan Aslam. Perjalanannya sangat jauh mungkin sekitar 20 menit.

                    Setelah sampai disana, Rustam dan Aslam bergantian untuk mencangkul tanah dengan linggis dan skop. Setelah berpeluh-peluh untuk mencangkul dan memenuhi dua kantong besar, kami berhenti dan pulang. Sebenarnya belum pulang, karena kami akan pergi mengambil pupuk.

                    Untuk pupuk kandang, kami sedikit menghemat-- sebenarnya memang sangat menghemat. Kami mengambil kotoran sapi di lapangan lembah hijau di samping sekolah kami. Aslam harus pulang karena tantenya sudah menunggu. Kami tinggal bertiga. Dengan menahan malu kami mencari kotoran sapi yang sudah mengering, mengoreknya dan memasukkannya dalam kantong plastik. Yang berperan dalam proses ini adalah Rustam sebagai "pengorek" dan saya yang memegang kantong plastiknya. Bau kotoran sapi yang sangat menyengat membuat salah satu teman saya Ulfa lari karena tidak tahan dengan baunya. Bukan hanya itu, saat kami masih mencari, ada segerombolan pemuda yang sedang bermain bola meledek kami dengan berkata "Dek, disini juga masih banyak kotoran sapi buat kalian". Kami hanya tertawa kecil sambil menahan malu. Setelah itu saya harus pulang naik ojek karena Aslam sudah pulang.

                    Perjuangan belum terhenti sampai disana. Setibanya di rumah saya, kami harus melakukan beberapa tahapan lagi. Yang pertama, mengayak tanah. Saya, Ulfa dan Rustam bergantian untuk mengayak tanah, seperti halnya mengayak pasir. Pada proses ini kami lebih banyak tertawa sehingga tak ayal kami
melepaskan ayakan yang berat berisi tanah itu. Berat sekali sehingga membuat tangan saya iritasi karena pengayaknya yang mirip jala. Memang disini kami lebih mirip kuli bangunan sebenarnya.

                    Setelah itu kami harus mengayak kotoran sapi yang kering agar menjadi halus. Ayakan kami agak sedikit ringan dibandingkan saat mengayak tanah tadi. Setelah itu kami mulai bermain-main dengan tanah untuk mencampurnya dengan kotoran sapi yang sudah halus tersebut. Setelah sudah rata, kami memasukkannya ke dalam polibag. Harus didiamkan selama satu hari agar keasamannya berkurang, begitu kata guru kami.

                    Kami bertiga menyelesaikan semuanya hingga magrib menyapa. Sebenarnya belum selesai, karena masih ada proses penyemaian bibit lagi. Tapi besok saja, kami sudah sangat lelah dengan perjalanan dan perjuangan hari ini.

                    Untuk mencapai sesuatu, memang diperlukan kesabaran dan perjuangan keras agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Read More

Rabu, 13 Februari 2013

My Sweet 17th

               Hari ini, tanggal 13 Februari 2013, tepat 17 tahun saya hidup. Yang artinya juga, jatah hidup saya di dunia semakin berkurang. Ya, kan umurnya semakin bertambah. Dan saya sangat bersyukur masih diberi kesempatan hidup oleh Allah SWT sampai sekarang.

               Hari ini sangat spesial. Sejak semalam banyak ucapan "selamat ulang tahun" serta doa-doa mereka untuk saya. Mereka membuat saya merasa berharga.

               Tadi padi saat di sekolah, guru biologi, bu Aida Erlita mengucapkan selamat ulang tahun, awalnya katanya beliau mau mengerjai saya, tapi tidak jadi karena beliau ada urusan mendadak. Lalu pelajaran matematika, guru saya, bu Eli Sumarni, memberikan saya "1 wish". Awalnya saya meminta wish untuk kami sekelas yaitu "tunda ulangan matematika", karena sebagian besar belum paham materinya. Tetepi beberapa menit kemudian, mereka berkata bahwa "ulangannya hari ini saja, kalau hari jum'at nanti bersamaan dengan ulangan biologi, nanti pikiran terbagi". Nah, kemudian bu guru bertanya apakah saya ingin meralat "! wish" saya itu, dan saya bilang YA. Dan wish saya yang terkabul adalah "Ulangan Matematika".

               Pagi berlalu. Saat sore hari ke sekolah untuk mempersiapkan acara Pra Olimpiade esok hari belum terjadi apa-apa. Dan selepas maghrib inilah puncaknya. Lepas shalat maghrib saya mulai mendekorasi panggung untuk acara pembukaan, tetapi saya membutuhkan perekat, akhirnya saya pergi membelinya. Setelah tiba lagi di sekolah dan mencari bu Asni--pembina dekorasi, saya malah dimarahi habis-habisan oleh bu Sam--pembina OSIS. Awalnya saya masih bisa membela diri atas tuduhan saya pergi terlalu lama, tetapi lama kelamaan bu Sam belum berhenti memarahi saya hingga mengeluarkan kata-kata yang agak menggores hati saya. Air mata pun menetes. Saya menangis sesegukan untuk waktu yang lama, hingga ketika saya tertunduk semua orang telah mengelilingi saya dan Wilda--sahabat saya, memegang sebuah kue ulang tahun dengan penerangan lilin di atasnya. Mereka semua--teman OSIS, teman sekelas Unggulan, dan RSBI, tersenyum menatapku yang masih membekap mulut. Bukannya berhenti menangis, malah rasa haru mulai menusuk relung hati saya, tangisan saya semakin menjadi. Mereka semua mengucapkan "Happy Sweet Seventeen EBY!" yang lain meneriakkan "make a wish", "Potong kuenya" "tiup lilin" dan sebagainya. Saya pun menutup mata saya, sejenak bermunajat kepada Allah atas apa yang saya inginkan. Dan saya meniup lilinnya. Selanjutnya kami makan kuenya, rainbow cake hehhe.

               Oh iya, ini adalah surprise pertama yang pernah saya dapatkan:)







               Eh, iya satu lagi. Saya dapat hadiah dari adik saya Ichal yang sudah susah payah membuat logo di bawah ini yang saya minta sebagai hadiah ulang tahun saya (saya sudah pakai). Dia juga membuatkan postingan tentang hari ulang tahun saya. Ini linknya. Terima kasih Ichal, besok bawakan klepon hehehew :p

Ucapan terima kasih:
Yang pertama tentunya saya sangat berterima kasih kepada Allah SWT. yang telah menghidupkan saya dan memberikan segala sesuatunya. Tanpa-Nya saya bukan apa-apa.
Yang kedua buat kedua orang tua saya, mereka semangat hidup saya.
Saudara saya, kakak Ryan, adik Alif dan adik Dhita, mereka yang selalu dekat. Adik Alif juga ulang tahun yang ke-6 hari ini. Usia kami terpaut jauh, 11 tahun.
Dan teman-teman saya, yang mengucakan selamat ulang tahun. Dan teman-teman yang sempat-sempatnya memberikan surprise di tengah kesibukan mengurus Pra Olimpiade yang akan diadakan besok.
Mereka semuanya adalah sesuatu yang sangat spesial yang diberikan Allah kepada saya.
I love them so much!
Jujur saya sangat berterima kasih kepada siapapun yang mungkin pernah mengingat nama saya dan tanggal ulang tahun saya. Terbersit sedikit saja, saya sudah bersyukur. Karena itu berarti mereka mengingat saya.

"There are always the unforgettable moments in my life. And this is one of them. Cause every little things are special"
Read More

Sabtu, 09 Februari 2013

Topeng [III]

Cerita sebelumnya: Topeng [II]

    Aku memangku daguku sambil menunggu coklat panas yang aku pesan. Hamparan laut lepas terpapar bebas sejauh mata memandang. Angin laut berhembus agak kencang membuat mataku sedikit menyipit agar dapat melihat. Aroma coklat samar-samar menggelitik hidungku. Aku tersenyum membayangkan rasanya yang manis menggerogoti tenggorokanku.
   
    Tepukan di bahu kiriku membuatku menengok ke arah si pemilik tangan. Deri.
   
    “Hai Pris”, sapanya kepadaku. Ia memasang senyum termanisnya. “Sendirian aja? Aku duduk sini ya?”. Tanpa aku persilahkan dia langsung menarik kursi di hadapanku. Aku hanya bisa diam menatap kelakuannya.
   
    “Apa kabar kamu?”. Aku tahu dia sedang berusaha membuka percakapan agar aku tidak terus diam. “Baik”, jawabku sejujur mungkin. Kediaman mulai menyelimuti kami.
   
    “Kemana aja? Baru muncul nih. Ada apa?” pertanyaan ini murni apa adanya. Sejak tadi memang aku ingin menanyakan ini.
   
    “Aku bawa hati”. Dia berucap ringan sekali. Bahkan matanya masih menyorotkan ketenangan. Seseorang yang dulu pergi dan kini kembali dengan membawa sebuah hati. Hatinya? Aku hanya menatapnya penuh kebingungan.
   
    “Aku mau minta hati kamu sebagai pelengkap hatiku ini”, sambungnya. “Would you?”, dia kini menggamit tangan kananku. Digenggamnya erat-erat. Alisku naik sebelah. Jatungku berdebar tak keruan.
   
    “Kamu mau jadi pacarku?”, katanya lagi. Mungkin karena masih melihat ekspresi bingung di wajahku. “Please…” Dan sekarang dia memohon. Aku menatapnya sekali lagi. Menatap jauh ke dalam matanya. Mencari sebuah makna. Apakah benar itu disana? Ketulusan. Dan aku melihatnya. Begitu teduh, dan terlihat pantas untuk dinaungi. “Yes I would”, jawabku  akhirnya.
                                                                      ***   
    Aku duduk di samping Deri. Memainkan ujung kakiku untuk menghilangkan kegugupan. Citra—adik Deri menatapku penuh antusias. Aku hanya tersenyum kaku.
   
    Seorang wanita paruh baya kini duduk di hadapanku dan Deri.
   
    “Dia pacar kamu Der?”. Wanita itu menatapku lurus-lurus. “Dia manis ya. Kamu ga salah pilih”. Wanita itu tersenyum.
   
    “Iya dong, Ma. Deri!!”, ucap Deri antusias. Aku hanya tersenyum. Citra dan Mamanya tergelak.
   
    “Sekolah dimana?”
   
    “Sama kayak Citra kok, Ma. Dia adik kelas aku”, Citra menyambar untuk menjawab.
   
    Mama Deri banyak bertanya padaku. Mungkin sekadar melakukan pendekatan denganku sebagai pacar Deri, anaknya. Deri bilang Mamanya senang denganku.
   
    Setelah ngobrol cukup panjang akupun pamit pulang.

                                                                      bersambung
Read More

Jumat, 08 Februari 2013

Topeng [II]

Cerita sebelumnya: Topeng

    “Permisi, Putri ada?”, tanya pria berkulit sawo matang dengan suara bassnya. Aku menengok. Ada tamu ternyata. Aku segera berjalan mendekat. Menatap orang yang berdiri diambang pintu itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mengingat kata terakhirnya aku jadi ingat dia mencari siapa.

    “Tunggu sebentar”. Aku masuk ke dalam tanpa mempersilahkan orang itu masuk ke rumah.

    “Put, ada yang nyari di luar”, ucapku setelah tiba di kamar Putri.

    “Siapa?”. Putri menghentikan kegiatannya menyisir rambut.

    “Tau”, ucapku tak acuh. Segera kulanjutkan bermain organ di kamar. Putri mendengus menatapku. Ia lalu merapikan sedikit bajunya dan berjalan keluar.

    Jemariku menggelayut mesra di atas tuts organ. Memainkan lagu Geisha-Cobalah Mengerti. Aku mencoba menggelamkan masalahku dengan Rayan lewat musik.

                                                                                            ***

    Hubunganku dengan Rayan baru saja berakhir. Aku mencoba terbiasa tanpanya.

                                                                                            ***

    “Temenku yang kemaren dateng itu minta nomor kamu. Aku kasih?”, ucap Putri sambil menutup pintu kamarku. Kali ini dia yang menginap di rumahku. Rencananya kami akan mengadakan movie night.

    “Yaudah”, ucapku masih sibuk mencari kaset yang bagus.

    “Eh iya, emang kamu udah putus sama Rayan?”

    “Udah”

    “Si Deri itu temennya Rayan juga lho, Pris”, sambung Putri. Aku terdiam. Tanpa ekspresi. Masih bermain-main bersama bayangan masa lalu. Rayan. Deri. Keduanya bergantian muncul di kepalaku.

    “Pris?” ucapan Putri kali ini membuyarkan lamunanku. Aku kembali mencari kaset.

    “The Unborn. Awalnya bagus. Cukup mengerikan. Aku belum nonton sampe habis”, ucapku sambil mengacungkan sebuah kaset bergambar wajah seorang wanita cantik dan anak kecil dibelakangnya.

    “Horor? Putar aja”. Putri sibuk dengan ponselnya, aku berbarung di sampingnya. Tak berapa lama, sebuah pesan masuk ke ponselku.

    From: 089976899xxx
    Malam Priska. Lagi movie night ya? Aku ganggu ga?

    Dahiku berkerut membaca pesan itu. Aku segera melirik Putri yang segera tersenyum padaku. Aku tahu ini ulahnya.

    “Balas gih”

    To: 089976899xxx
    Ini Deri?

    Delivered

    From: 089976899xxx
    Iya. Eh Pris aku ganggu ga?

    Kami terus berkirim pesan hingga aku tidak memperhatikan film yang sedang terputar di kamarku. Putri sudah tidur sejak sejam yang lalu. Aku pun tertidur pulas setelah Deri mengucapkan selamat tidur.

                                                                                            ***

    Putri bilang, Deri anak baik-baik. Rajin sholat, rajin belajar, tidak pernah keluar malam atau berfoya-foya. Dia juga orang yang jujur dan terbuka. Memang nampaknya seperti itu.

    Tapi, kedekatanku dengan Deri berakhir dengan lost contact. Kami tidak pernah berhubungan lagi selama beberapa tahun.
                                                                      bersambung ke Topeng [III]
Read More

Rabu, 06 Februari 2013

Topeng

    Suasana teriakan bocah dan keadaan ramai membuatku sudah terbiasa jika ada acara kumpul keluarga—dalam rangka merayakan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW—seperti sekarang ini. Maklum saja hampir separuh sepupuku itu masih generasi balita. Hanya aku, Putri, dan adiknya Dika yang sudah beranjak dewasa.
   
    Aku baru saja minta diantarkan Putri untuk mengganti pakaianku di kamarnya. Dan setelah aku selesai, Putri sudah menghilang entah kemana.
   
    Aku mencarinya kemana-mana dan setelah beberapa lama berkeliling di rumah yang seluas istana ini, aku mendapat pencerahan karena melihat Tante Rum—Ibu Putri.
   
    “Tante, Putri mana?”, tanyaku dengan napas tak teratur.
   
    “Itu ada di teras depan”
   
    Setelah mendapatkan jawaban Tante Rum, aku langsung menuju teras depan.
   
    “Put…” Aku sudah melangkah ke teras tapi sontak mundur kembali dan terpaku di balik jendela. Aku masih shock dengan apa saja yang barusan kulihat. Untuk apa dia kesini?
   
    “Priska” Suara Putri menghentikan kerja otakku sebelum berputar lebih jauh. Aku langsung keluar dan duduk di samping putri tanpa menatap makhluk di hadapan kami. Akupun memilih diam memainkan ponsel dan membiarkan mereka berdua saja yang bercengkrama.
   
    Aku memang terkejut dengan kehadirannya lagi. Tapi tak terjadi apa-apa denganku. Aku baik-baik saja. Hatiku bahkan tidak merasakan apapun. Mungkin lebih tepatnya kosong. Aku tidak menganggapnya siapa-siapaku lagi. Bukan teman, mantan, apalagi pacar. Ya, biasa saja.
   
    “Pris, aku pulang dulu”, terdengar suara bass yang sudah akrab di telingaku.
   
    Aku mendongak melihat wajah yang tidak begitu jelas terlihat karena menutup cahaya lampu. Tapi aku tetap menghafal siluetnya. Dia tersenyum canggung padaku. Aku hanya mengangguk tanpa sepatah katapun.

                                                                                           ***

    Tanpa kuminta, bayangan Deri mulai menari-nari di kepalaku. Semakin lama, semakin jelas dan semakin menggangguku tentunya. Mulai dari saat pertama kami bertemu di rumah ini—rumah Putri. Waktu itu aku sedang menginap di rumah Putri.



                                                               bersambung ke Topeng [II]
Read More

Jumat, 01 Februari 2013

Pelabuhan Hati

        “Mungkin, waktunya sekarang buat pisah”. Aku meneguk ludahku keras-keras. Aku memberanikan diri mengatakan hal yang tak pernah ingin kukatakan.
 
        Dia menatapku lemah dengan mata nanar. Aku memalingkan wajahku untuk menghindari rasa bersalah yang semakin menusuk ke hati. Tak sepersekian detik, kudengar tarikan nafas yang tertahan. Dan kudapati dia menangis hingga bahunya terguncang hebat. Aku beku.

        Sungguh tiada maksud hati menghancurkanmu, karena jika aku melakukannya berarti aku juga sudah menghancurkan diriku sendiri, ucapku dalam hati.

        “Kalau misalnya nanti setelah pendidikan kamu dijodohin sama orang tua kamu, aku ikhlas kok”. Suaranya bergetar hebat dan air matanya terus saja mengalir.

        “Kamu ngaco deh”, kataku menepis semua pikiran buruknya. Dia hanya menatapku dengan mata sembabnya yang terus dialiri air mata. Aku benar-benar tak kuat melihatnya menangis seperti ini.

        Keheningan menyelimuti kami berdua untuk waktu yang terasa sangat lama. Kuperhatikan setiap gerak-geriknya. Mulai menghapus air matanya dan menarik napas dalam-dalam.

        “Semoga sukses dan jaga dirimu baik-baik. Aku mencintaimu”. Dia beranjak dari duduknya. Tersenyum padaku. Senyum yang terakhir kalinya mungkin. Mulai berjalan pergi. Aku hanya dapat membuang napasku gusar.

        Aku termangu menatap punggung yang berjalan semakin menjauh. Jilbabnya berkelebat dikibas angin. Dan punggung itu kini benar-benar menghilang. Air mata masih menggenang di pelupuk mataku. Aku yang enggan menangis. Ini sebuah pilihan. Dan aku tahu betul apa konsekuensinya. Aku yakin dia tahu betul apa maksudku meminta berpisah darinya.
   
        Hubungan jarak jauh, atau yang gaulnya itu katanya LDR (Long Distance Relationship). Medan-Makassar bukan jarak yang dekat. Dan empat tahun bukan waktu yang cepat. Sangat tak mudah bagiku untuk berhubungan dengannya nanti karena aku akan melanjutkan pendidikan di PIP (Politeknik Ilmu Pelayaran) Makassar. Buat bawa ponsel saja tak boleh, dan lagi waktu keluar hanya saat pesiar Jum'at-Minggu. Tantangannya juga sangat banyak dan pasti tidak mudah. Mulai dari rasa ragu, penasaran, rindu, hingga rasa tidak percaya pun ada. Jujur, sebenarnya aku yang tidak mampu menjalaninya. Karena rindu pastinya. Aku juga tidak tahan dengan rasa ragunya yang sangat besar padaku.
   
        Merasakan hari ini yang terakhir untuk bertemu dengannya membuatku semakin hancur.
Read More

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger