Rabu, 09 Januari 2013

Polaris

        Di atas atap rumah berbaring dua orang anak yang sedang memandangi langit ditemani rembulan dan segerombol bintang-bintang. Semua terlihat jelas dengan keadaan langit yang secerah itu. Matahari benar-benar menyinarkan cahayanya secara sempurna kepada sang rembulan.
       
        “Bintang yang itu terang banget!”, ujar Vega sambil menunjuk sebuah bintang.

        “Oh.. Itu Polaris”, tanya Sandi memecah keheningan.

        “Polaris?”

        “Iya. Polaris itu bintang yang selalu ada di langit utara. Kau tahu? Dulu pada tahun 1856, Polaris digunakan sebagai acuan magnitudo karena terlihat di semua observatorium di belahan langit utara. Bintang ini diberi magnitudo 2 dan bintang lainnya dibandingkan dengan bintang Polaris ini, begitulah menurut Pogson. Namun tahun 1911 Si Hertzspurg mendapatkan bahwa variabel cahaya polaris berubah-ubah—sekitar 0,1 magnitudo. Makanya sekarang, acuan magnitudo bukan lagi Polaris, melainkan bintang-bintang di berbagai daerah di langit hasil pengukuran Johnson dan Morgan pada tahun 1953”, jelas Sandi panjang lebar.
       
        Vega berusaha menyimak, menelaah satu persatu teori yang diungkapkan oleh Sandi.
       
        “Bentar deh San, aku belum ngerti. Magnitudo itu apa?”, tanya Vega. Semilir angin menyapu kulitnya, merangsang bulu-bulunya berdiri.
       
        “Kamu lupa ya, inikan pelajaran astronomi, Ve. Magnitudo itu ukuran terang bintang yang kita lihat atau terang semu bintang, hal ini karena faktor jarak yang harus diperhitungkan. Makanya kalau ada bintang yang tampak lemah cahayanya, itu bukan berarti benar-benar lemah cahayanya, karena mungkin saja bintang itu tampak lemah karena jaraknya yang jauh. Begitupun sebaliknya jika kamu melihat bintang yang benar benar terang, berarti itu karena jaraknya dekat”.
       
        “Kalau aku punya teropong, aku bisa melihat semua bintang sama terang, San?”, tanya Vega polos.
       
        Sandi melihat Vega, tersenyum lalu mengiyakan.
       
        “Aku ingin punya teropong San, biar bisa lihat bintang terus”.
       
        “Kamu kan udah punya kamera”, kata Sandi sambil mengerling pada kamera yang tergantung dileher Vega.
       
        “Tapi lensa kamera cuma bisa mengabadikan bintang jadi gambar foto San, ga bisa gerak, kalau pake teropong kan bisa juga lihat bintangnya berkerlip”.
       
        “Nanti kalo aku udah punya duit, aku beliin kamu teropong bias, buat lihat bintang”.
       
        “Teropong bias? Emang beda sama teropong lain? Hm… Memangnya ada berapa jenis teropong San?”
       
        “Teropong itu ada 2 jenis. Pertama teropong bias, seperti teropong bintang, nah teropong ini punya dua lensa, yang pertama lensa objektif yang menggunakan lensa cembung untuk membiaskan cahaya dan lensa okuler. Jadi kita bisa lihat benda yang jauh itu menjadi lebih jelas. Yang kedua, teropong pantul yaitu teropong yang menggunakan cermin cekung untuk membentuk bayangan”.
       
        “Hooaaaaammmmm.. Teropong apapun, yang jelas bisa buat lihat bintang deh”, Vega menguap, matanya mulai berkaca-kaca.
       
        Sandi masih menatap dalam ke langit. Ia seperti melihat lukisan wajah orang tuanya di antara gugusan bintang-bintang itu. Ia merindukan orang tuanya. Sudah 7 tahun mereka tak bertemu, karena maut yang merenggut nyawa kedua orang tuanya saat kecelakaan. Kecelakaan itu terjadi saat orang tua Sandi pulang dari luar kota. Mobil yang dikendarai ayahnya tak dapat dikendalikan dan terjatuh ke jurang. Mobil itu meledak, menghanguskan kedua orang tuanya. Sandi menangis histeris ketika mendapati jenazah orang tuanya yang hangus tak berbentuk lagi. Ada luka yang sangat dalam yang dirasakannya. Kini Ia tinggal bersama keluarga Vega, yang kebetulan adalah teman dekat ayahnya dulu.
       
        “Ve, apa kedua orang tuaku bahagia tanpa aku disana? Tidakkah mereka merindukanku?”, mata Sandy menyiratkan kepedihan mendalam.
       
        “Sandy… Jangan terlalu larut dalam kesedihanmu. Mereka malah tidak akan bahagia jika melihatmu terpuruk seperti ini. Ikhlaskanlah, mereka tidak pernah benar-benar meninggalkanmu. Mereka selalu ada di sini”, Vega menunjuk dada Sandy.
       
        “Sulit. Sangat sulit! Karena kamu ga pernah merasa apa yang aku rasain”
       
        Vega berbalik ke arah Sandi.“Aku ga pernah bilang mudah. Jika semua terlihat mudah, masihkah ada orang yang mau berjuang? Masihkah ada yang mau terjatuh sebelum bangkit?”
       
        Sandy terdiam. Vega benar. Tapi Ia tetap merasa sendirian.
       
        “See? Sekarang aku cuman sendirian Ve, aku ga tahu harus hidup untuk siapa!”, Ia tersenyum miris.
       
        “Kamu salah! Kamu hidup untuk dirimu dan orang-orang di sekitarmu, San. Kalau kamu berkata seperti itu kamu sama saja tidak menghargai kami, orang yang sangat mencintaimu. Kamu harus seperti Polaris itu, yang tetap berada di langit Utara meski tak banyak yang memintanya. Dan aku akan tetap memuja Polarisku… Kamu”.

        Sandy terpana dengan kata-kata Vega. Sekarang pikirannya terbuka, bahwa masih banyak yang menyayanginya dan menginginkannya, Vega salahsatunya. Ia melihat lukisan wajah itu lagi, yang tersenyum memandangnya diantara bintang-bintang. Ia tersenyum.


                                                                                    Ketika kamu merasa sendiri,
                                                                                    sesungguhnya kamu tidak pernah benar-benar sendirian.

12 komentar:

  1. ntar malam sy baca dah. mumpung blum ada pr. [lagi di warnet nh]

    BalasHapus
  2. ahaii pinter banget Mbak Faisyah. ada iptek di balik cerita. iya nih mantep banget kalo semua cerita bisa kayak gini. bisa bikin mengawang2 sekaligus riil di pikiran. salut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe, makasih bang Zach. wah, makasih, makasih banyak nih

      Hapus
  3. Haha, rsa gk mood hri ini gw membaca

    BalasHapus
  4. terbang ke bintang yuk mbak :DDDD :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehhe, asik. tapi kapan nyampenya ya mas?

      Hapus

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger