Sabtu, 12 Januari 2013

Adakah Kebetulan yang Seindah Ini?

        Liburan. Liburan identik dengan kata menghabiskan waktu libur untuk berjalan-jalan atau berkunjung ke berbagai tempat. Tapi tidak semua orang menghabiskan waktu liburnya untuk pergi berlibur. Dan aku adalah bagian kelompok “identik” itu.

        Libur semester dua ini aku habiskan di sebuah kota yang sudah lama tak kukunjungi, Kendari. Sebuah Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara yang terkenal dengan julukan Kota Lulo. Lulo sendiri adalah salah satu tarian khas kota Kendari. Kota ini sekarang sudah berkembang pesat-- tentu saja, namanya saja Provinsi, pasti sudah terjadi otonomi daerah disini dan oleh “tangan-tangan penggerak”-nya kota ini disulap menjadi sebuah kota yang cukup manis. Keadaannya tentu berbeda telak seratus delapan puluh derajat dengan keadaannya enam tahun yang lalu, saat aku berkunjung untuk yang terakhir kalinya.

        Aku berlibur sendirian. Awalnya aku ingin tinggal di rumah sanak keluarga disini, tapi mereka tidak punya kamar lebih untukku dan aku tak mau merepotkan mereka semakin banyak, jadi  aku memutuskan untuk menginap di hotel saja. Dan Swiss-Belhotel adalah pilihanku, ya lebih tepatnya pilihan kedua orang tuaku—mereka bersikeras agar aku aman katanya. Sebenarnya aku kurang setuju, karena biaya menginap hotel ini sangat mahal untuk semalam saja-- berkisar jutaan rupiah-- dan memang pantas harga itu dipasang bila dilihat dari keadaan hotel ini, hotel yang juga masuk “nominasi” hotel terbaik se-Sulawesi Tenggara. Tentu saja aku tidak membantah, karena jujur saja aku sangat nyaman.

        Setiap bepergian aku diantarkan oleh pamanku. Katanya, walaupun Kendari kota kecil tapi kalau belum ngerti jalannya juga pasti kesasar. Dan aku tidak membantah.
   
       
        Hari pertama, aku ingin pergi mencari buku dan novel terbaru di salah satu toko buku yang letaknya di Rabam—salah satu tempat perbelanjaan yang belum pantas disebut Mal. Aku meminta Pamanku untuk tidak menungguku dengan alasan aku sangat lama dalam memilih buku apa yang harus kubeli, dan Pamanku menyetujuinya. Pamanku bilang Ia akan menjemputku setelah aku mengabarinya. Kami sepakat.
   
        Aku masuk ke toko buku itu dan langsung berjalan kea rah rak bertuliskan “Komputer”. Aku mencari sebuah buku tentang Algoritma. Ketika melihat dari kiri ke kanan dan bawah, aku menangkap wujudnya di rak paling atas. Dengan kapasitas tinggi 160 sentimeter tentu saja aku hanya bisa meraih-raih tapi tak teraih. Aku memangil petugas jaganya untuk mengambikannya.
   
        Setelah mendapatkan buku Algoritma, tujuan keduaku adalah novel terbaru. Aku berjalan ke rak bertuliskan “Novel”. Aku mulai melihat dari bagian best seller-nya. Dan kutarik sebuah novel di sana. Sebuah novel dengan sampul kamera dan tongkat peri TinkerBell berada dalam sebuah kotak. Goodbye Happiness, sebuah novel karya Arini Putri, salah seorang penulis yang aku sukai cara penuturan ceritanya setelah Morra Quatro. Tanpa ragu, kuambil novel itu dan kudekap di dadaku.
   
        Aku berjalan menyusuri rak dengan novel-novel yang berbaris rapi disana. Tangan dan mataku masih terfokus pada gadgetku yang berisi list novel baru. Ketika berbalik, aku melihat seorang cowok sedang memegang buku Chairul Tanjung, Si Anak Singkong.
   
        Jika dilihat dari postur tubuh bagian belakangnya; tubuh tinggi, postur yang terbentuk dan sedikit kekar, aku menafsirkan dia adalah seorang pemain basket. Masih kutatap punggung itu hingga Ia berbalik ke arahku. Dia melihatku, dan berjalan mendekat. Aku panik minta ampun ketika itu, aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Aku menunduk menatap ujung sepatuku, berpikir mungkin sebaiknya aku tersenyum saja padanya.
   
        Ketika Ia sudah berada satu meter di depanku aku tersenyum—walau sedikit dipaksakan. Dan ternyata… lewat. Dia melewatiku. Aku sangat malu saat itu. Apa dia melihat aku tersenyum padanya? Oh Tuhan, apa yang dia pikirkan tentangku? Gadis tak tahu malu kah?, jeritku sambil bertanya dalam hati.
   
        Untuk beberapa saat aku masih terdiam di tempat dan tersadar dengan bunyi gadgetku. Aku lalu melanjutkan untuk tetap memilih novel. Setengah jam kemudian, aku bergegas keluar dari toko buku dan menuju salah satu tempat bermain, sekadar untuk melampiaskan semua kelelahan yang kupendam selama ini. Tentang semua masalah yang yang hampir membuatku botak.
   
        Aku masuk kesana dan menukar uang dengan kartu bermain. Aku bermain dance-dance—yang  entah nama aslinya apa—yang jelas cara bermainnya dengan menginjak tombol arah di atas papan sesuai petunjuk di monitor. Aku tidak terlalu pandai bermain, yang jelas aku hanya bergerak sebisaku saja. Tapi tetap saja keringatku bercucuran karenanya.
   
        Setelah lelah bermain itu, aku terperangah melihat sosok cowok yang sedang bermain basket itu. Dia adalah cowok yang ada di toko buku tadi. Aku terus mencuri pandang kearahnya. Melihat keringat yang mengucur hingga kaos putihnya basah. Aku suka punggungnya. Punggung kokoh tapi terlihat nyaman.
   
        Aku pura-pura bermain mengambil boneka, agar tidak Nampak sedang memperhatikannya. Aku heran mengapa tanganku basah dan jantungku berdesir hebat ketika aku melihatnya tertawa selepas itu bersama temannya. Renyah dan menggelitik telingaku.
   
        Ketika Ia menuju tempat pertukaran tiket, aku juga pergi kesana. Tiketku yang terlebih dahulu dihitung dan Ia menunggu di sampingku. Aku tahu Ia sempat berbalik kearahku meski tak lama. Jantungku kini berdetak seperti keluar dari tubuhku. Entahlah mungkin pipiku sudah merah karena malu.
   
        “248, Mbak. Silahkan pilih dengan apa anda akan menukarnya”, jelas seorang petugas dari balik etalase kaca dengan sedikit nada banci.
   
        Aku mencoba mencari-cari sesuatu yang menarik, tanpa melepaskan kupingku untuk mendengarkan cowok itu. Dan aku memilih sebuah pulpen berbalut pita ungu dengan boneka Barbie di atasnya, tulisannya 246.
   
        “248, Mas. Silahkan dipilih”, ucap petugas bernada banci tadi pada cowok-yang-kutemui-tadi.
   
        Aku langsung menunjuk pulpen yang kupilih dan petugas itu memberikannya. Tiketku tersisa dua. Sementara cowok-yang-kutemui-tadi kulihat berhenti di antara miniatur orang bermain basket. Kalau tidak salah tertulis 248. Pas sekali.
   
        “Mau main lagi atau tiketnya saya kembalikan?”, tanya petugas itu padaku.
   
        “Balikin aja, Mas”, kataku cepat.
   
        Tiketku dikembalikan dua dan petugas itu melayani cowok-yang-kutemui-tadi. Setelah menerima miniaturnya, cowok itu langsung pergi menemui temannya dan keluar dari sana. Aku terdiam.



        This is the second.

                                                 bersambung ke Adakah Kebetulan yang Seindah Ini (END)

2 komentar:

  1. haha kasian mu juga.. si cowok itu ngga pandang kamu keknya. sengaja lewat. hoho

    BalasHapus
  2. hahahha, itu bukan saya, saya hanya menggunakan sudut pandang orang pertama.. namanya jg fiksi, hanya sebagai hiburan bro.

    BalasHapus

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger