Surat itu tergeletak di atas meja belajarku ketika aku masuk
kamar. Di luar gerimis belum juga reda. Aku memutuskan mandi karena badanku
yang sudah basah kuyup begini.
Aku
melihat surat itu dari ujung mataku ketika melewati kamar mandi. Masih jaman
banget ya ngirim surat, umpatku tak habis pikir. Aku membanting badanku di atas
kasur. Membenamkan seluruh kelelahan hari ini dalam dunia kapuk. Semakin jauh
aku ingin terlelap, wajah cengengesan itu malah semakin menghantuiku. Aku duduk
seketika, mengingat wajah itu aku jadi teringat kejadian 22 hari yang lalu.
Pagi itu
aku terlambat bangun sampai harus berkejar-kejaran dengan waktu dan akhirnya
keteteran. Kamus, binder, kotak pensil, ipad, semuanya kumasukan paksa ke dalam
tasku. “Ma, aku pergi ya”, pamitku tak jelas setelah memasukan potongan
sandwich ke dalam mulutku.
“Hati-hati
di jalan, Yan!”, suara Mama tak kalah kerasnya. Sambil berlari menuruni tangga,
aku melirik arloji hijau yang melingkar dipergelangan tanganku. Pukul 08.05. Lima
menit lagi aku sudah harus sampai di kampus kalau masih ingin masuk kuliah pagi
dan tidak mendapat amukan dosen.
Aku
berlari lebih cepat ke pangkalan ojek. Tak ada pilihan lain lagi selain naik
kendaraan yang satu ini.
“Ojek,
neng?”, tawar seorang ojek berjaket biru jeans. Tanpa pikir panjang aku
langsung naik dan menyebutkan nama kampusku.
Lambat
sekali rasanya ojek ini. Aku melirik arlojiku lagi. Pukul 08.13. “Bisa lebih
cepat lagi ga sih ini jalannya kayak siput aja!”, amukku. Rasanya ingin sekali
aku mengambil alih kemudi.
“Ini
udah paling cepat kok, neng”.
“Berhenti
disini aja deh!”, aku turun dan memberinya selembar uang lima ribu rupiah.
“Ngga
usah bayar, neng”
“Bukannya
lo ngojek buat nyari uang?!”, aku menatapnya geram, menjatuhkan uang lima ribu
itu dan berlari menuju kampus.
Ketika
aku pulang, ojek yang tadi kutumpangi sudah menunggu di depan gerbang kampus.
Dia menyodorkanku sepucuk surat dengan amplop hijau tosca. “Untuk dibaca di
rumah”. Ia tersenyum dan segera pergi dengan motornya. Sejenak aku terpaku pada
surat itu. Tapi ledekan anak kampus menyadarkanku.
“Ciee yang baru dapat surat”,
celetuk salah seorang gadis di dekat gerbang kampus.
“Secret admirer ya? Hahahah”, anak
yang lain menimpali. Terdengar suara tawa yang membuncah dimana-mana.
Desas-desus yang semakin membuatku panas.
Semestinya aku langsung membuang
surat itu. Tapi tiba-tiba rasa penasaran menghinggapiku. Aku membuka surat itu
di kamar. Deretan huruf miring yang kecil-kecil berbaris rapi menghiasi kertas
kuning. Selain kertas, ada juga selembar uang lima ribuan dalam amplop itu.
Maaf
atas kejadian tadi. Sebenarnya aku sangat berutung hari ini, bisa mengantarkan
seorang bidadari sampai-sampai aku gugup tak bisa menarik gas dalam-dalam.
Uangnya aku kembalikan. Mestinya memang aku menarimanya karena tujuanku bekerja
adalah untuk mencari uang, tapi aku tak bisa menerima upah dari pekerjaan yang
tak tuntas.
Salam,
tukang ojek.
Seusai membacanya, aku mengusutnya
dan melemparnya ke tempat sampah di sudut kamar. Ga penting, pikirku.
Sejak saat itu, dia selalu menunggu
di gerbang kampus dan menyodorkanku sepucuk surat. Disetiap sudut surat
tertulis 1, 2, 3 dan seterusnya. Surat kedua dan ketiga sempat kubaca tapi
isinya sudah tak kuingat lagi. Yanglainnya selalu kubuang.
Aku malu diejek oleh anak kampus.
Setiap hari dikejar-kejar tukang ojek itu. Yang aku tak habis pikir lagi adalah
dia tahu alamat rumahku. Jika aku tak datang di kampus, surat-surat itu selalu
dia antarkan ke rumah. Ingin sekali rasanya aku menamparnya.
“Sebenarnya maumu apa?!”, bentakku
suatu hari ketika Ia memberikan surat, entah yang keberapa.
“Mauku, suratnya dibaca. Itu aja”,
ujarnya sambil tersenyum. Dia lebih rapi hari ini. Menggunakan kemeja
kotak-kotak, meski kepalanya selalu memakai helm.
“Aku sudah punya pacar!”
“Aku sudah tahu”
“Lantas?”. Aku maju beberapa
langkah mendekatinya, semakin geram.
“Ya, tugasku hanya memberimu
surat-surat itu. Selamat membaca”. Ia mengedipkan sebelah matanya dan pergi.
Tanganku mengepal menahan emosi.
Surat itu masih tergeletak di atas
meja. Aku belum membacanya, namun sempat kulihat angka 20 di sudut kiri amplop.
Tiba-tiba aku terperangah. Hatiku mencelos. Tanganku tergerak mengambil surat
itu. Amplopnya sudah sobek. Aku selalu mengabaikan setiap surat. Sudah dua hari
surat ini ada di kamarku rasanya. Mungkinkah pembantuku yang membacanya?
Dengan tangan gemetar aku
mengeluarkan lipatan kertas kuning dari amplop hijau tosca itu; mebacanya.
Selamat!
Kamu telah membaca bagian terakhir dari surat-suratku. Sebuah kisah telah aku
tulis dalam 20 hari sebagai hadiah ulang tahunmu yang ke-20 tahun. Ya, hari ini
umurmu tepat 20 tahun.
Aku
menyukaimu sebagai bidadari. Yang aku tahu aku takkan pernah bisa kamu lihat.
Di
surat yang ke-17 aku pernah mengatakan siapa aku sebenarnya.
Aku
termenung. Ulang tahun? Iya! Dua hari yang lalu ulang tahunku yang ke-20.
Kenapa aku baru membaca surat ini sekarang? Tiba-tiba sebuah misteri hinggap di
kepalaku. Tapi kemana aku harus mencari surat-surat yang lainnya?