Tari yaku, kaoge saku adalah judul dalam bahasa Wolio yang berarti Tarianku, Kebanggaanku. Cerpen ini saya ikutkan pada lomba menulis cerpen remaja tingkat SMA/MA Se-Kota Baubau. Dan alhamdulillah masuk nominasi 10 besar. Meskipun belum juara, tapi saya tidak akan putus asa untuk terus mengembangkan hobi menulis saya. Okey, berikut cerpennya.
Suara tabuhan gendang berirama menggema di seluruh sudut ruangan. Efa, Hilda, Riska, Rahma dan Fira dengan lenggaknya memperagakan gerakan-gerakan tari Kalegoa. Alin yang sedang duduk di atas kursi roda memperhatikan dengan seksama. Perlahan rasa bersalah menyelimuti hatinya. Dilihatnya gips yang kini membungkus kaki kanannya.
“Seandainya kecelakaan itu tidak perlu menimpaku, seandainya aku tidak perlu mengendarai motor sendiri, seandainya aku terus berkonsentrasi pada jalanan di hadapanku, seandainya tidak ada kendaraan lain yang juga ugal-ugalan. Ah! Sudah terlalu banyak seandainya!”, pekiknya dalam hati.
Riska yang selesai melakukan gerakan berputar, mendapat wajah masam Alin yang tertunduk. Riska tahu pasti Alin sedang memikirkan kecelakaan motor dua hari lalu itu lagi.
Riska yang pada waktu itu juga sedang di perjalanan menuju rumah tiba-tiba mendapat sms dari Ibu Alin yang mengatakan bahwa Alin ditabrak mobil trek. Riska sangat panik dan segera menghubungi anak sanggar yang lain. Diapun segera memutar balik mobilnya menuju rumah sakit.
Ibu Alin sedang sesegukan ketika Riska tiba di rumah sakit. Efa sudah tiba disana lebih dulu, dan sedang merengkuh tubuh Ibu Alin, mencoba menenangkan beliau. Riska menatap pintu ruang UGD yang masih saja tertutup. Tak lama kemudian Hilda, Rahma dan Fira dating, setengah berlari mendekat.
“Bagaimana keadaan Alin?”, Efa menatap Riska, napasnya masih terengah-engah. Ditatapnya Ibunda Alin yang sesegukan, lalu menatap lurus pintu UDG yang bergeming. Efa menyerah. Ia tahu jawabannya dan mengambil posisi duduk di samping Hilda.
Kurang lebih setengah jam berikutnya, keluar seorang pria paruh baya berjas putih dengan kacamata yang bertengger di ujung hidungnya dari ruang UGD. Sontak kami semua berdiri.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?”
“Dia belum sadarkan diri, Bu. Kaki kanannya patah, mungkin karena tertimpa motor pada saat kecelakaan itu, tapi kami sudah menanganinya. Dan dia harus dirawat inap tiga sampai empat hari di sini”.
“Alin tidak perlu kehilangan kakinya kan, Dok?”, ucap Hilda panik.
“Tentu tidak. Kami sudah memasang gips di kakinya dan itu akan memperbaiki keadaan tulangnya yang patah seperti semula. Hanya saja ini akan memakan waktu empat bulan. Setelah itu, baru akan dijalankan terapi untuk berjalan agar kakinya terbiasa.”
“Empat bulan, Dok? Apa tidak bisa lebih cepat lagi?”, kini Riska yang berbicara.
“Sebenarnya semuanya tergantung proses pemulihannya. Jika tulangnya cepat pulih, berarti akan lebih cepat juga Alin bisa berjalan”.
“Apa sekarang kami bisa menengoknya, Dok?”, tanya Ibu Alin.
“Iya, silahkan. Saya permisi dulu”.
Riska mendorong pintu bagi Efa dan Ibu Alin, Rahma, Fira dan Hilda menyusul di belakang. Ibu Alin duduk di kursi samping tempat tidur. Ia menggamit tangan anaknya yang kini pucat dan dingin. Dikecupnya tangan itu lembut. Tak ada aroma parfum Britney Fantasy di sana, yang tercium hanya aroma khas rumah sakit. Air mata beliau pun tumpah ruah, tak ada suara, bahunya terguncang keras.
Riska memeluk Ibu Alin. Ibu Alin sudah seperti ibu kandung mereka sendiri. Beliau lah Ibu sekaligus pelatih di sanggar tari mereka, juga seorang pewaris gerakan tarian dari kakek Alin—sang pendiri sanggar tari. Ibunda Alin sengaja meneruskan sanggar tari tersebut agar tari-tarian Buton warisan leluhur tetap dilestarikan oleh generasi muda. Beliau yakin bahwa masih ada anak muda zaman sekarang yang tertarik untuk mempelajari tarian-tarian tradisional.
“Terima kasih, Nak. Kalian pulang saja nanti orang tua kalian khawatir, Bunda ga enak”, ucap Ibu Alin pelan sambil mengusap air matanya.
Mereka bertukar pandang dan akhirnya mengalah. Mereka menyalimi Ibu Alin dan pamit pulang. Keluar dari ruang UGD, Hilda membuka percakapan.
“Kasihan Bunda”, ucap Hilda parau.
“Iya, padahal kan Alin anak satu-satunya. Cuma dia harapan Bunda untuk nerusin sanggar lagi dan…jadi penari tentunya”, tambah Rahma.
“Hussh! Kalian ini ngomong apa! Optimis dong, Alin bisa sembuh kok! Aku yakin nanti Alin bakal jadi penari yang hebat”, ucap Riska berkoar-koar.
“Dan kita juga!”, timpal Efa dan Fira bersamaan sambil tersenyum.
Mereka berlima kemudian pulang ke rumah masing-masing.
Selama tiga hari dirawat inap di rumah sakit, akhirnya Alin bisa pulang. Ibunda Alin menyiapkan barang-barang Alin untuk dibawa pulang.
“Ibu, maafin Alin”, suaranya tercekat, Ia tertunduk.
“Maaf atas apa, Nak? Alin ga salah apa-apa sama Ibu”.
“Tapi Alin udah ngancurin harapan Ibu. Alin ga bisa nari lagi dengan kondisi kaki seperti ini, Bu. Kaki Alin masih lama sembuhnya, sementara Festival Pulau Makassar udah dekat, Bu”, ujar Alin putus asa. Hatinya sakit bila harus mengecewakan Ibunya.
“Alin pasti sembuh. Alin harus sembuh buat Ibu yah”, ucap Ibu Alin pelan lalu merengkuh tubuh putrinya itu.
“Alin janji akan menjadi seseorang nantinya. Hanya untuk Ibu”. Alin mengeratkan pelukannya.
Hari demi hari berlalu. Sudah selama dua bulan Alin terduduk di kursi roda. Dan selama itu pula para penari di sanggar tari milik Ibunya semakin rutin untuk berlatih gerakan tari-tari tradisional. Mulai dari tari pertunjukan seperti tari Linda dan tari Kalegoa, tari pergaulan seperti tari Alionda, tari Wabelo dan tari Bosu, dan tari hiburan seperti tari Lariangi. Kebanyakan tarian ini melibatkan remaja putri. Hanya tari Alionda yang termasuk tari berpasangan.
“Baiklah anak-anak, sekarang Bunda akan memilah-milah kalian untuk masuk dalam tarian apa nantinya. Efa, Hilda, Rahma, Riska, Fira, dan Alin, kalian khusus menjadi penari tari Kalegoa…”
“Maaf Ibu, Alin kan ga bisa nari”, Alin memotong pembicaraan Ibunya.
“Masih ada waktu satu bulan lagi, Lin. Ibu yakin kamu bisa sembuh dalam kurun waktu itu. Lagipula Alin udah hafal gerakan untuk tari Kalegoa”, tutur Ibunya lembut.
“Iya Bu, tapi…” omongannya kembali tertelan melihat senyum pengharapan dari Ibu dan teman-temannya.
Alin belajar optimis ketika semua tumpuan harapan itu dijatuhkan padanya. Meskipun Ia sendiri tak yakin akan sembuh secepat kilat. Ia tersenyum miris melihat kakinya yang dibalut gips. Masih ngilu bila dipaksa untuk bergerak, gumamnya dalam hati.
Setiap usai latihan, Ibu Alin menyempatkan untuk mengantar Alin ke rumah sakit untuk mengontrol perkembangan kakinya. Dan hari ini, gips di kaki kanan Alin akan dibuka.
“Kaki Alin sebentar lagi sembuh, dan kembali normal. Hanya perlu latihan berjalan. Mungkin pada saat berjalan memang masih ngilu dan sering kram, tapi Alin harus lawan rasa sakitnya agar kakinya terbiasa”, ujar Dokter.
Alin tersenyum bahagia. Sebentar lagi kakinya akan sembuh. Itu tandanya dia bisa menari lagi dan turut memeriahkan Festival Pulau Makassar. Baginya, itu adalah sesuatu hal yang bisa membuatnya bangga karena bisa memamerkan tari-tari tradisional Buton kepada masyarakat setempat maupun masyarakat pendatang.
Kurang dari satu minggu lagi pembukaan Festival Pulau Makassar berlangsung. Riska dan penari-penari lainnya sedang memperlancar lagi gerakan tari Kalegoa.
Sebenarnya tari Kalegoa adalah suatu tari tradisional yang menggambarkan suka duka gadis-gadis Buton sewaktu dalam pingitan atau posuo dengan spesifikasi berupa gerakan memakai sapu tangan. Posuo sebagai suatu arena tempaan adat bagi mereka yang diikat dengan aturan dan tata krama serta sopan santun yang ketat untuk meninggalkan masa kegadisan bebas dan gembira karena telah dewasa dalam tempaan serta siap menerima kenyataan hidup.
“Hai semua”, sapa seseorang dari ambang pintu.
Semua mata mencari sumber suara, mendapati bahwa pemiliknya memasang cengiran kelinci. Alin berdiri dengan kedua kakinya tanpa kursi roda lagi.
“Ayo kita latihan, waktunya udah mepet banget nih”, ujarnya sangat ceria.
Semua orang masih terdiam memperhatikannya, tapi sang penabuh gendang mulai menabuh lagi gendangnya. Alin pun segera masuk kedalam barisan dan melenggakkan badannya memperagakan tari Kalegoa. Teman-temannya pun langsung mengikuti. Mereka sangat lincah. Alin sangat bahagia bisa kembali membaur dalam kelompok tarinya. Ia tentu saja berharap bisa menampilkan yang terbaik nantinya.
Di ruangan kecil dengan cahaya temaram, Alin sedang menatap dirinya lekat dalam sebuah cermin. Wajahnya dipoles dengan make up yang khas, rambut panjangnya yang biasanya terjuntai kini disanggul, Ia juga mengenakan pakaian adat Buton—baju Kombo.
Baju Kombo adalah pakaian kebesaran kaum wanita Buton. Bahan dasar baju adalah kain satin dengan warna dasar putih, penuh dihiasi dengan manik-manik, benang-benang berwarna yang biasanya terdiri dari benang emas atau benang perak serta berbagai ragam hiasan yang terbuat dari emas, perak maupun kuningan.
Pakaian ini terdiri dari satu pasang, bagian atasan adalah baju dengan bawahan sarung yang disebut Bia Ogena (sarung besar). Bia Ogena adalah sarung yang terdiri dari gabungan beberapa macam warna polos seperti merah, hitam, hijau, kuning, biru dan putih dan dijahit secara bertingkat-tingkat.
Pada permukaan baju dijahitkan rangkaian manik-manik dengan formasi belah ketupat. Pada setiap petak-petak belah ketupat terdapat hiasan dari perak atau kuningan dengan motif Tawana Kapa (daun kapas) dan pada ujung daun kapas tersebut dijahitkan sekuntum bunga yang berdiri tegak.
“Sebentar lagi”, gumamnya setelah melirik jam tua di sudut ruangan itu.
Hari ini adalah hari yang paling di nantikan Alin dan teman-temanya. Mereka akan menampilkan tari Kalegoa untuk memeriahkan pembukaan Festival Pulau Makassar. Pembukaannya berlangsung di Bukit Kolema (Wantiro).
Jalanan menuju ke Wantiro sangat padat. Banyak orang yang ingin menonton dan melihat Festival yang hanya diadakan setahun sekali ini, baik pendatang maupun penduduk Baubau sendiri.
Alin dan teman-temannya keluar dari mobil dan langsung diterpa angin laut sepoi-sepoi. Mereka menunggu giliran tampil di belakang panggung bersama pengisi acara lainnya.
Sebelum tampil mereka tak pernah lupa untuk berdoa kepada Allah SWT agar diberikan kemudahan dan kelancaran.
“Persembahan tari Kalegoa oleh sanggar tari Keraton Buton”, suara MC menggema dan mereka segera naik ke atas panggung diiringi tabuhan gendang. Dan mulailah mereka menari. Satu persatu gerakan ditarikan dengan lincah tetapi tetap lentur. Mereka memang sudah terbiasa untuk tampil di muka umum, jadi semua merasa percaya diri dalam memperagakan setiap gerakan tarian.
Setelah kurang lebih tujuh menit, kemudian berakhirlah tarian mereka yang disambut dengan tepuk tangan yang sangat meriah. Mereka memberi hormat dan turun dari panggung.
Rasa lega, puas, bahagia dan bangga mereka rasakan. Selesai sudah tugas mereka untuk menghibur dan menampilkan kebudayaan Buton. Tak ada lagi beban khusus bagi mereka. Tugas mereka kini hanya tinggal memperdalam dan terus melestarikan tarian-tarian tradisional Buton, karena suatu kebudayaan suatu daerah merupakan cirri khas daerah itu sendiri.