Minggu, 11 November 2012

Melupakanmu


        Matahari pagi itu bersinar sangat cerah. Kicauan burung tak terdengar lagi, yang terdengar adalah kicauan siswa-siswi berseragam putih abu-abu di setiap sudut sekolah. Di bawah rindangnya pohon beringin duduk seorang gadis sedang mengotak atik telepon selulernya. Ia nampak serius berkirim pesan kepada Rafi. Kadang Ia tiba-tiba tertawa, tapi kadang juga nampak kesal.

        Rafi adalah mantan pacar Disa, tetapi Disa masih menyayangi Rafi. Makanya Ia selalu perhatian pada pria itu. Disa sangat rajin mengirimi Rafi pesan, kadang menanyakan kabar, kadang mengirimi kata-kata yang dibuatnya sendiri, atau sekedar memberikan sepercik perhatian pada Rafi seperti jangan lupa untuk makan. Tetapi begitulah laki-laki, selalu cuek dan jarang memperhatikan hal-hal kecil, apalagi untuk orang seperti Rafi. Disa tahu betul sifat mantan pacarnya itu, tetapi Ia tak pernah mau menyerah. “Aku harus mendapatkanmu kembali, Fi”, tekadnya.

        Lambat laun Rafi semakin jarang membalas pesan Disa. Sebenarnya Rafi juga masih menyayangi Disa, karena biar bagaimanapun Disa-lah yang membuat Rafi jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Tapi Disa-lah yang memutuskan hubungan mereka dulu. Sampai sekarang Rafi masih tak habis pikir dengan perlakuan itu.

        Sekarang apa maksud Disa memberinya perhatian yang berlebihan seperti itu? Apakah Disa menyesal sudah mengakhiri semuanya? Atau Disa memang hanya mempermainkannya? Entahlah, Ia pun tak tahu. Ia tak pernah ingin mengecewakan Disa, Ia hanya tak ingin terus memberikan harapan semu pada gadis itu sementara Ia sudah tak bisa memiliki Disa lagi. Rasa sayang itu harus dilemparnya jauh-jauh.

        Malam minggu tiba. Ini adalah malam yang sangat menyiksa bagi orang yang tak punya pacar seperti Disa, biasalah galau. Tak tahu harus berbuat apalagi, Ia memutuskan untuk menelepon Rafi. Berniat untuk mengatakan bahwa Ia masih menyayangi Rafi.

        “Assalamu ‘alaikum, Fi”. Dibukanya percakapan telepon itu dengan salam.

        “Waalaikum salam. Kenapa Dis? Tumben kamu nelepon aku”.

        “Hm… Aku mau ngomongin sesuatu, Fi”, dengan ragu kalimat itu diucapkan. Jantung Disa mulai berdebar tak keruan.

        “Ngomong aja”, ucap Rafi enteng.

        “Sebenernya… Aku masih sayang sama kamu. Aku minta maaf udah mutusin hubungan kita. Waktu itu aku belum serius pacarannya. Tapi aku sadar, hanya kamu yang aku sayang Rafi”. Semakin tak tenanglah Disa. Apa yang akan Rafi katakan?

        “Masa?”, kata Rafi singkat. Tak ada nada kaget sedikit pun yang terdengar.

        “Iya… Hm, gimana?”, tanya gadis itu penasaran.

        “Gimana apanya?”

        “Ya… Kamu masih mau balikan?”

        “Maaf banget ya Cha, aku udah ga bisa”. Tanpa sengaja Rafi memanggilnya dengan panggilan ‘Cha’ alias ‘Dicha’—panggilan kesayangan Rafi pada Disa.

        Sebulir air mata Disa seketika meluncur begitu saja disusul dengan tangis yang tak tertahankan. Ia sesegukan menahan suara tangisnya. Kemudian Disa menutup telepon itu tanpa permisi. Rafi tahu Disa pasti menangis. Tapi apa boleh buat, tak ada pilihan lain lagi. Ia juga tak ingin berlarut-larut dengan masa lalunya.

        Dua jam berlalu sejak telepon itu berakhir, Disa masih terduduk di kasurnya dengan tatapan kosong. Air matanya masih mengalir seperti air. Dadanya terasa sangat sesak, sulit untuk mencari oksigen hingga memenuhi paru-parunya. Rasanya hatinya sudah hancur menjadi serpihan debu, sulit untuk disatukan lagi.

        “Mengapa aku begitu bodoh? Mengapa aku harus mengatakan hal itu? Mengapa Rafi menolakku?”, masih banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk dikepalanya yang semakin lama semakin menghancurkan dirinya sendiri. Ia merasa sangat bodoh. Rafi sudah jelas tidak mencintainya lagi, dari cara membalas pesan-pesan yang dikirimnya. Disa malu. Biar bagaimanapun Ia adalah wanita, dan yang dilakukannya itu bukanlah kodratnya.

        “Aku janji, aku ga bakal ngejar Rafi lagi. Aku harus bisa buktiin kalau aku bisa hidup tanpa dia. Kalau dia bisa, kenapa aku ga. Rafi hanya masa laluku”, tekadnya. Ia menghapus semua air matanya. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskan pelan. Lalu Ia beranjak tidur.

        Tidak mudah bagi Disa untuk melupakan Rafi. Rafi dan seluruh kenangan mereka masih terus menari-nari di kepalanya. Tapi, jika Ia mengingat kejadian malam itu, Disa merasa sangat benci kepada Rafi.

        Hari-hari berlalu. Apa yang Disa lakukan selalu berantakan. Ia lebih banyak diam, menyendiri dan melamun. Keluarga bahkan teman-temannya turut prihatin dengan keadaan Disa, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa, hanya Disa-lah yang bisa merubah dirinya.

        Hampir setiap malam Disa menangis mengingat Rafi. Rasanya susah untuk melepaskan. Tetapi Disa pun tak mau terus berlarut-larut dengan apa yang sudah menjadi masa lalunya. Ia merasa sudah saatnya untuk merubah masa kini dan menata masa depannya. Ia harus bangkit. Ia kemudian banyak mencari kegiatan atau hal-hal positif yang membuatnya tak ada waktu untuk memikirkan laki-laki.

        Berangsur-angsur Disa mulai melupakan Rafi. Sekarang Ia sudah kembali ceria dan lebih tegar.

4 komentar:

© 2013 Faisyah Febyola : )

Powered by Blogger